News Komoditi & Global ( Selasa, 5 Agustus 2025 )
News Komoditi & Global
( Selasa, 5 Agustus 2025 )
Harga Emas Global Naik Beruntun, Didorong Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Harga emas dunia melanjutkan reli untuk hari ketiga berturut-turut pada Senin (4/8/2025), setelah data ekonomi Amerika Serikat (AS) memicu ekspektasi kuat akan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve pada September mendatang.
Melansir Reuters, harga emas spot naik 0,3% menjadi US$ 3.372,15 per troi ons pada pukul 01.46 siang waktu setempat (17.46 GMT), level tertinggi sejak 24 Juli. Sementara itu, emas berjangka AS ditutup menguat 0,8% ke level US$ 3.426,40 per troi ons.
“Peluang pemangkasan suku bunga pada September kini makin besar, dan bahkan lebih tinggi lagi untuk Desember. Ditambah tekanan inflasi, ini menjadi sentimen bullish bagi emas,” kata Daniel Pavilonis, Senior Market Strategist di RJO Futures.
Data ketenagakerjaan AS pada Jumat lalu menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja Juli lebih lemah dari perkiraan, dengan revisi besar terhadap data Mei dan Juni yang dipangkas total 258.000 pekerjaan.
Hal ini memperkuat persepsi bahwa kondisi pasar tenaga kerja memburuk signifikan.
Selain itu, data inflasi pilihan The Fed, yakni PCE (Personal Consumption Expenditures), naik 0,3% pada Juni, setelah revisi naik 0,2% pada Mei, didorong oleh kenaikan harga akibat tarif baru.
Menurut CME FedWatch Tool, probabilitas pemangkasan suku bunga pada September kini mencapai 87,8%, naik dari sekitar 63% sepekan lalu.
Emas biasanya berkinerja baik di lingkungan suku bunga rendah, dan juga dipandang sebagai lindung nilai terhadap inflasi.
Sementara itu, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menyebutkan bahwa tarif impor yang diberlakukan Presiden Donald Trump pekan lalu kemungkinan akan tetap berlaku dalam waktu dekat.
Tarif itu mencakup: 35% untuk barang dari Kanada, 50% untuk Brasil, 25% untuk India, 20% untuk Taiwan, dan 39% untuk Swiss.
Tarif-tarif ini dinilai turut memperbesar tekanan biaya yang berdampak pada harga konsumen di AS.
Harga perak (spot silver) naik 0,9% menjadi US$ 37,35 per troi ons, Platinum menguat 1,3% ke level US$ 1.332,20, dan Palladium turun 1,6% ke US$ 1.188,90, setelah sempat menyentuh level terendah tiga pekan
Meski menurun, Pavilonis menyebut palladium masih memiliki potensi rebound, dengan support kuat di US$ 1.180 dan potensi breakout di US$ 1.230 per ounce.
Harga Minyak Dunia Turun, OPEC+ Tambah Produksi dan Picu Kekhawatiran Oversupply
Harga minyak dunia turun ke level terendah dalam sepekan pada perdagangan Senin (4/8/2025), setelah OPEC+ sepakat menaikkan produksi secara signifikan pada September.
Keputusan tersebut menambah kekhawatiran pasar atas potensi kelebihan pasokan, apalagi di tengah data konsumsi bahan bakar AS yang mengecewakan.
Melansir Reuters, Kontrak berjangka Brent turun 91 sen atau 1,3% ke level US$ 68,76 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) merosot US$ 1,04 atau 1,5% menjadi US$ 66,29 per barel.
Kedua harga acuan ini menyentuh level penutupan terendah dalam sepekan, setelah sebelumnya ambles hampir 3% pada Jumat lalu.
Pada Minggu (3/8), OPEC dan sekutunya (OPEC+) sepakat menaikkan produksi sebesar 547.000 barel per hari (bph) untuk bulan September.
Ini merupakan bagian dari percepatan pemulihan produksi yang telah dilakukan sejak awal tahun, dan mencerminkan pembalikan penuh dari pemangkasan terbesar mereka sebelumnya sebesar 2,5 juta bph setara dengan sekitar 2,4% dari permintaan global.
Meski OPEC+ menyatakan kondisi pasar masih sehat, data pemerintah AS menunjukkan bahwa permintaan bensin domestik pada Mei, awal musim mengemudi musim panas adalah yang terlemah sejak pandemi COVID-19 pada 2020.
Selain itu, produksi minyak AS juga menyentuh rekor tertinggi bulanan pada Mei, memperburuk kekhawatiran kelebihan pasokan global.
Pelaku pasar kini mulai mengantisipasi kemungkinan tambahan kenaikan pasokan dari OPEC+. Dalam pertemuan berikutnya pada 7 September, kelompok ini disebut bakal membahas penghapusan tambahan pemangkasan sebesar 1,65 juta bph.
“OPEC+ masih memiliki kapasitas cadangan produksi yang besar, dan pasar kini mencermati apakah mereka akan menggunakannya atau tidak,” ujar analis StoneX, Alex Hodes. “Belum ada sinyal jelas soal itu, tapi potensi tetap terbuka,” tambahnya.
Analis Goldman Sachs memperkirakan, tambahan pasokan riil dari delapan negara anggota OPEC+ yang telah menaikkan produksi sejak Maret hanya sekitar 1,7 juta bph.
Hal ini karena beberapa anggota lain justru mengurangi output setelah sebelumnya memproduksi melebihi kuota.
Di sisi lain, investor juga mencermati dampak tarif baru AS terhadap ekspor dari sejumlah negara mitra dagang, serta potensi sanksi tambahan terhadap Rusia. Presiden AS Donald Trump kembali mengancam akan menerapkan tarif sekunder 100% bagi pembeli minyak Rusia, dalam upaya menekan Moskow agar menghentikan perang di Ukraina.
Trump juga mengisyaratkan bakal menaikkan tarif terhadap India, menyusul laporan bahwa negara tersebut akan terus membeli minyak Rusia meski menghadapi ancaman tarif.
Analis ING menyebut, sekitar 1,7 juta bph pasokan minyak mentah global bisa terdampak jika India menghentikan pembelian dari Rusia. Hal inilah yang sempat membatasi tekanan penurunan harga minyak.
“Fokus pasar kini tertuju pada keputusan Presiden Trump akhir pekan ini, apakah ia akan memberlakukan sanksi atau tarif sekunder terhadap pembeli minyak Rusia,” ujar analis UBS, Giovanni Staunovo.
Wall Street Bangkit, Tiga Indeks Utama Catat Kenaikan Harian Tertinggi Sejak Mei
Tiga indeks utama Wall Street mencatatkan kenaikan harian tertinggi sejak 27 Mei pada perdagangan Senin (4/8) waktu setempat.
Kenaikan ini dipicu aksi beli investor setelah aksi jual besar-besaran pada Jumat, serta meningkatnya harapan akan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve pada September mendatang.
Melansir Reuters, Dow Jones Industrial Average melonjak 585,06 poin atau 1,34% ke level 44.173,64. S&P 500 menguat 91,93 poin atau 1,47% menjadi 6.329,94.
Sementara Nasdaq Composite naik signifikan 403,45 poin atau 1,95% ke 21.053,58.
Analis menilai pergerakan hari ini sebagai aksi "dip-buying" setelah data ketenagakerjaan AS yang lemah memicu aksi jual pada sesi sebelumnya.
“Hari ini adalah aksi beli saat harga murah. Ini pertanda bahwa investor masih mencari peluang masuk,” ujar Mike Dickson, Kepala Riset Horizon Investments di Charlotte, North Carolina.
“Pasar tenaga kerja memang terlihat lebih lemah dari yang diperkirakan, tapi itu juga jadi pemicu ekspektasi pemangkasan suku bunga.”
Menurut data CME FedWatch, peluang penurunan suku bunga pada September kini mencapai 84%, dengan proyeksi setidaknya dua kali pemangkasan masing-masing 25 bps sebelum akhir tahun.
Saham Tesla Inc naik 2,2% setelah mengumumkan pemberian 96 juta saham senilai sekitar US$ 29 miliar kepada CEO Elon Musk.
Saham Spotify melonjak 5% setelah mengumumkan rencana menaikkan harga langganan individu di beberapa pasar mulai September.
Joby Aviation meroket 18,8% setelah mengumumkan akuisisi unit bisnis penumpang milik Blade Air Mobility senilai hingga US$ 125 juta. Saham Blade juga terbang 17,2%.
Sementara itu, saham Kelas A Berkshire Hathaway turun 2,7% usai perusahaan mengumumkan rugi penurunan nilai (write-down) sebesar US$ 3,8 miliar serta penurunan laba operasional kuartalan.
Investor juga mencermati dinamika politik. Pada Jumat lalu, Presiden AS Donald Trump memecat Kepala Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), Erika McEntarfer, dengan tuduhan bahwa ia “memalsukan” data ketenagakerjaan Juli yang lemah.
Pemecatan ini terjadi bersamaan dengan pengunduran diri Gubernur The Fed Adriana Kugler, yang menambah ketidakpastian arah kebijakan moneter ke depan.
Dari sisi perdagangan, Trump menyatakan akan menaikkan tarif secara signifikan terhadap produk asal India terkait pembelian minyak Rusia oleh negara tersebut.
Pemerintah India mengecam langkah ini dan menyebutnya sebagai tindakan yang tidak berdasar, serta berjanji akan melindungi kepentingan nasionalnya.
Sementara musim laporan keuangan kuartal II mulai mereda, investor kini menanti laporan dari sejumlah emiten besar, termasuk Walt Disney yang dijadwalkan pekan ini.
Trump Akan Umumkan Calon Pengganti Pejabat The Fed dalam Beberapa Hari ke Depan
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan akan segera mengumumkan kandidat untuk mengisi posisi kosong di Dewan Gubernur Federal Reserve (The Fed) dalam beberapa hari ke depan.
Pernyataan ini disampaikan Trump pada Minggu (3/8/2025), menyusul pengunduran diri lebih awal Gubernur The Fed Adriana Kugler, yang diumumkan pada Jumat.
Keputusan ini membuka peluang bagi Trump, yang selama ini dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan The Fed, untuk menempatkan sosok pilihannya di bank sentral AS.
Sementara itu, Gubernur The Fed Bank of New York John Williams menyatakan dalam wawancara dengan The Wall Street Journal bahwa ia akan memasuki rapat kebijakan moneter September dengan “pikiran yang sangat terbuka” terkait kemungkinan pemangkasan suku bunga.
Dalam wawancara terpisah dengan Newsmax yang ditayangkan Jumat lalu, Trump juga menyinggung masa depan Ketua The Fed Jerome Powell.
Meski mengatakan Powell “kemungkinan besar” akan tetap menjabat hingga masa tugasnya berakhir, Trump menegaskan bahwa dirinya akan menggantikan Powell “dalam sekejap” jika tidak mengganggu pasar keuangan.
“Dia akan selesai dalam tujuh atau delapan bulan lagi, dan saya akan menempatkan orang lain,” ujar Trump.
Trump kembali mengkritik tingkat suku bunga The Fed yang dinilainya terlalu tinggi, sembari menegaskan bahwa banyak pihak memperingatkan bahwa pencopotan Powell secara tiba-tiba bisa menimbulkan gejolak pasar.
Begini Tanggapan India atas Ancaman Sanksi AS Terkait Minyak Rusia
Pada Sabtu (2/8/2025), para pejabat India mengonfirmasi bahwa negara tersebut tidak akan mengubah kebijakan dan akan terus membeli minyak dari Rusia, meskipun ada ancaman "sanksi" finansial dari Presiden AS Donald Trump.
Melansir United Press International (UPI) yang mengutip laporan New York Times, Pemerintah India belum memberikan arahan apa pun kepada kilang minyak negara tersebut untuk menghentikan atau mengurangi jumlah minyak mentah Rusia.
Trump awal pekan ini mengatakan akan mengenakan "sanksi" finansial kepada negara Asia Selatan tersebut jika tidak mengurangi ketergantungannya pada minyak Rusia. Sanksi tersebut akan menjadi tambahan tarif Amerika sebesar 25% untuk barang-barang India.
Presiden tidak merinci besaran "sanksi" finansial tambahan tersebut.
"Ingat, meskipun India adalah teman kita, selama bertahun-tahun kita hanya berbisnis relatif sedikit dengan mereka karena Tarif mereka terlalu tinggi, termasuk yang tertinggi di dunia, dan mereka memiliki Hambatan Perdagangan non-moneter yang paling berat dan menjengkelkan dibandingkan negara mana pun," kata Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social.
"Selain itu, mereka selalu membeli sebagian besar peralatan militer mereka dari Rusia, dan merupakan pembeli ENERGI terbesar Rusia, bersama dengan Tiongkok, di saat semua orang ingin Rusia MENGHENTIKAN PEMBUNUHAN DI UKRAINA," lanjutnya.
Trump pada hari Jumat mengatakan bahwa menurut pemahamannya India tidak akan lagi membeli minyak dari Rusia.
"Itulah yang saya dengar. Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Itu langkah yang baik. Kita lihat saja nanti," katanya.
Para pejabat India mengatakan kepada New York Times bahwa negara itu belum memberikan arahan apa pun kepada perusahaan-perusahaan minyak untuk mengubah arah.
Secara terbuka, para pejabat India mengatakan mereka sedang mempertimbangkan berbagai opsi tanpa mengonfirmasi atau membantah laporan Times.
"Kami telah memperhatikan sanksi tersebut, dan kami sedang mempelajarinya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Shri Randhir Jaiswal, dalam konferensi pers pada hari Jumat di New Delhi.
"Mengenai pertanyaan lain tentang usulan penjualan minyak, dll... begini, saya ingin mengatakan bahwa saya tidak memiliki komentar untuk disampaikan dalam masalah khusus ini. Mengenai pemenuhan kebutuhan energi kami, Anda sangat memahami pendekatan umum kami, artinya pendekatan dan sikap kami secara keseluruhan. Kami mengambil keputusan berdasarkan harga minyak yang tersedia di pasar internasional dan bergantung pada situasi global saat itu. Mengenai hal spesifik dari pertanyaan Anda, saya tidak mengetahuinya. Saya tidak memiliki detail spesifik tersebut," paparnya.
Jaiswal juga berusaha menghindari eskalasi situasi lebih lanjut.
"Saya juga ingin menggarisbawahi poin khusus ini bahwa ini adalah kasus yang sensitif dan kompleks, dan oleh karena itu, saya menghimbau semua pihak untuk berhati-hati bahwa laporan media yang didasarkan pada spekulasi dan misinformasi sama sekali tidak membantu," ujarnya kepada para wartawan.
"Sejauh laporan yang mengklaim telah terjadi perkembangan tertentu, dll., laporan tersebut tidak benar. Mohon tunggu pembaruan dari kami, ini adalah masalah sensitif, dan kami mengimbau semua pihak untuk menjauhi misinformasi."
Citigroup, JP Morgan, dan Goldman Sachs Pimpin Investasi TradFi di Startup Blockchain
Raksasa keuangan global seperti Citigroup, JPMorgan Chase, Goldman Sachs, dan SBI Group dari Jepang tercatat sebagai pemain paling aktif dalam mendukung startup blockchain dari sektor keuangan tradisional (TradFi).
Melansir laman Cointelegraph pada Senin (4/8), hal ini terungkap dalam laporan terbaru Ripple yang disusun bersama CB Insights dan UK Centre for Blockchain Technologies.
Dalam periode 2020 hingga 2024, perbankan global tercatat terlibat dalam 345 investasi ke perusahaan blockchain, sebagian besar pada tahap pendanaan awal.
Citigroup dan Goldman Sachs memimpin dengan masing-masing mencatatkan 18 transaksi. Sementara itu, JP Morgan dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) menyusul dengan 15 investasi.
Fokus utama bank-bank besar ini adalah pada mega-rounds, yakni pendanaan senilai US$100 juta atau lebih.
Dalam rentang empat tahun tersebut, bank-bank besar ikut serta dalam 33 mega-rounds, dengan penempatan dana ke startup yang bergerak di bidang infrastruktur perdagangan, tokenisasi aset, kustodian aset digital, serta solusi pembayaran berbasis blockchain.
Beberapa investasi yang menonjol termasuk pendanaan ke CloudWalk, perusahaan asal Brasil, yang mengumpulkan lebih dari US$750 juta dalam dua putaran dengan partisipasi Banco Itaú dan investor lainnya.
Contoh lain adalah Solaris dari Jerman yang berhasil meraih pendanaan lebih dari US$100 juta dari SBI Group dan kini menjadi target akuisisi mayoritas.
Trump 'Siap' untuk Perang Nuklir Lawan Rusia
Presiden AS Donald Trump tidak bisa menganggap enteng pembicaraan tentang senjata nuklir. AS, kata Trump, harus selalu siap sepenuhnya menghadapi potensi konfrontasi apa pun.
Penegasan Trump disampaikan untuk menanggapi pernyataan mantan kepala negara Rusia Dmitry Medvedev.
Dalam konferensi pers di Gedung Putih, Trump menjelaskan perintahnya untuk mengerahkan dua kapal selam nuklir pada Jumat pagi. Ia telah berjanji untuk mengirim kapal-kapal selam tersebut ke tempat yang ia sebut 'wilayah tepat'.
"Yah, kami harus melakukan itu. Kami hanya harus berhati-hati. Sebuah ancaman telah dilontarkan, dan kami pikir itu tidak pantas," kata Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social sebagai tanggapan atas pernyataan Medvedev di media sosial dikutip RT.
"Jadi saya melakukan itu atas dasar keselamatan rakyat kami. Sebuah ancaman telah dilontarkan oleh mantan presiden Rusia, dan kami akan melindungi rakyat kami."
Awal pekan ini, Medvedev telah bereaksi terhadap penolakan Trump terhadap komitmen New Delhi untuk bergantung pada energi Rusia.
"Tentang 'dead economist' (hubungan ekonomi yang berlangsung lama) antara India dan Rusia yang kini 'memasuki wilayah sangat berbahaya' – baiklah, biarkan dia (Donald Trump) mengingat film-film favoritnya tentang orang mati berjalan (zombie), serta betapa berbahayanya 'Dead Hand' atau Perimeter (sebuah senjata sistem kendali senjata nuklir Rusia) yang legendaris itu," tulis Medvedev.
Perselisihan ini memanas setelah Trump menyebut Medvedev sebagai pemimpin yang gagal dan memperingatkannya untuk berhati-hati dengan ucapannya.
Medvedev, yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, menanggapi dengan pesan pedas yang memperingatkan agar tidak memprovokasi Moskow terlalu jauh. Hal itu merujuk pada sistem pembalasan nuklir otomatis 'Perimeter' Rusia yang legendaris dan berasal dari era Soviet. Senjata itu diperkirakan masih ada di Rusia.
Meskipun Rusia belum pernah secara resmi mengonfirmasi keberadaan sistem tersebut, para analis Barat secara luas meyakini bahwa sistem ini berfungsi sebagai pencegah terakhir jika terjadi serangan terhadap kepemimpinan Rusia.
Trump mengecam retorika mantan pemimpin Rusia tersebut sebagai bodoh dan provokatif. Ia memperingatkan bahwa kata-kata sangat penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Gedung Putih dan Pentagon belum memberikan komentar lebih lanjut, dan klaim Trump tentang penempatan kembali kapal selam tersebut.
Sepakati Tarif Dagang AS Buat UE jadi Ketergantungan Energi Fosil
Organisasi lingkungan hidup mengkritik kesepakatan perdagangan baru yang dapat menyebabkan Uni Eropa (UE) menghabiskan lebih dari USD750 miliar (12,2 kuadriliun rupiah) untuk impor bahan bakar fosil dari Amerika Serikat (AS) selama tiga tahun ke depan dan memperingatkan bahwa hal tersebut dapat merusak target iklim blok tersebut.
"Hal ini berisiko mengungkung Eropa dalam ketergantungan bahan bakar fosil selama beberapa dekade, membuat tagihan energi menjadi fluktuatif, dan mengakselerasi kebakaran hutan serta banjir yang telah menimbulkan petaka di seluruh benua," kata Andreas Sieber, direktur asosiasi kebijakan dan kampanye di organisasi iklim, 350.org.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen menyebut kesepakatan dagang AS-UE sebagai "kesepakatan terbesar yang pernah ada", dan dia menambahkan energi dari AS akan menggantikan minyak dan gas Rusia, "yang tidak lagi kita inginkan."
Sebaliknya, Eropa akan membeli gas alam cair (LNG) yang "lebih terjangkau harganya dan lebih baik" dari AS, kata von der Leyen.
Kesepakatan yang mencegah perang dagang AS-UE tersebut mencakup tarif sebesar 15% pada ekspor utama UE ke AS, seperti mobil.
Namun, para kritikus mengatakan kesepakatan ini turut "mengubah arah" kebijakan iklim Eropa.
"Kesepakatan perdagangan AS-Uni Eropa yang baru merupakan perubahan arah yang dramatis terhadap prioritas Komisi Eropa dan Presiden von der Leyen beberapa tahun lalu," kata Esther Bollendorff, koordinator kebijakan gas senior di kelompok iklim, CAN Europe.
"Yakni membangun Kesepakatan Hijau Eropa yang berkesinambungan untuk masa depan melalui ambisi iklim dan percepatan pembangunan energi terbarukan."
Komisi UE di bawah von der Leyen, pada tahun 2019 merilis Kesepakatan Hijau untuk Memerangi Perubahan Iklim, dan mengejar target karbon netral di tahun 2050. Eropa merupakan kawasan dengan pemanasan tercepat di dunia, menurut para ilmuwan. Benua ini pada tahun 2024 mengalami tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah.
Apa dampak kesepakatan belanja bahan bakar fosil UE-AS?
Komisi UE beberapa minggu sebelumnya mengajukan proposal pengurangan 90% emisi gas rumah kaca pada tahun 2040 di seluruh blok, dibanding tingkat emisi di tahun 1990.
Target jangka menengah tersebut, sejalan dengan tujuan netralitas karbon di tahun 2050, dengan langkah-langkah yang mencakup peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi sektor transportasi, dan peningkatan energi hijau. Dalam lima tahun ke depan, blok ini menargetkan 42,5% pasokan energinya berasal dari sumber terbarukan.
Kesepakatan perdagangan AS-UE "bertentangan" dengan komitmen ini, menurut Luke Haywood, Kepala Iklim dan Energi European Environmental Bureau, sebuah jaringan organisasi-organisasi lingkungan.
"Meningkatkan impor energi AS tiga kali lipat hanya dalam tiga tahun, bukan hanya mustahil secara fisik, tetapi juga akan menggagalkan target dekarbonisasi jangka menengah Uni Eropa," tambah Haywood dalam sebuah pernyataan.
Pembakaran minyak dan gas bumi mengeluarkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang memerangkap panas di atmosfer dan makin menghangatkan planet, sehingga memicu cuaca yang lebih ekstrem.
Penggantian gas alam yang disalurkan jaringan pipa dengan LNG dari AS akan semakin meningkatkan emisi di Eropa. Menurut Chris Aylett, peneliti di Pusat Lingkungan dan Masyarakat Chatham House, sebuah lembaga kebijakan independen yang berbasis di Inggris.
Hal ini disebabkan produksi dan transportasi LNG menghasilkan lebih banyak metana, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada CO2, meskipun tidak bertahan lama di atmosfer.
Apa Eropa akan benar-benar membeli energi AS?
Terdapat skeptisisme, apakah Eropa dapat menepati janji barunya membeli energi dari AS. Aylett mengatakan hal itu akan "sangat sulit."
Pada tahun 2024, Uni Eropa mengimpor minyak dan gas senilai sekitar EUR60 miliar (1,1 kuadriliun rupiah) dari AS. EUR24 miliar lainnya (sekitar 453 triliun rupiah) berasal dari Rusia. Jika ditotal, belanja tersebut "jauh" dari jumlah EUR216 miliar (4 kuadriliun rupiah) yang dijanjikan Uni Eropa untuk dibelanjakan setiap tahunnya, ujar Aylett kepada DW.
Komisi Eropa juga tidak dapat memaksa negara-negara anggota UE atau perusahaan-perusahaan untuk membeli energi AS, kata Aylett.
"Ini adalah sebuah harapan. Uni Eropa memiliki sarana untuk mendorongnya [...] tetapi semuanya bersifat sukarela, jadi Komisi sendiri tidak dapat secara langsung melakukan pembelian energi," tambahnya. "Dalam beberapa hal, janji yang dibuat tidak benar-benar dapat diwujudkan oleh Komisi UE sendiri."
Mengganti ketergantungan pada energi Rusia dengan ketergantungan energi pada AS juga dapat juga dapat menjadi "bencana" bagi keamanan energi UE, Aylett memperingatkan.
"Ini akan melanggar aturan pertama di mana Anda tidak boleh hanya bergantung pada satu pemasok," ujarnya kepada DW, seraya menambahkan bahwa hal tersebut akan membuat blok menjadi "sangat rentan."
Lautan Massa di Sydney Serukan Perdamaian untuk Gaza di Tengah Hujan Deras
Puluhan ribu orang menerjang hujan deras untuk mengikuti aksi damai melintasi Jembatan Pelabuhan Sydney pada Minggu 3 Agustus 2025, dalam seruan global untuk perdamaian dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza yang dilanda perang.
Aksi bertajuk "Pawai untuk Kemanusiaan" ini digelar di tengah meningkatnya kekhawatiran atas krisis kemanusiaan di Gaza. Menurut otoritas Palestina, hampir dua tahun konflik telah menewaskan lebih dari 60.000 orang, sementara kelaparan akibat blokade dan kurangnya pasokan bantuan semakin meluas.
Beberapa peserta membawa panci dan wajan sebagai simbol kelaparan yang terjadi di Gaza. “Sudah cukup,” kata Doug, seorang pria berusia 60-an yang turut serta dalam aksi tersebut, seperti dilansir dari Reuters.
“Ketika orang-orang dari seluruh dunia bersatu dan bersuara, kejahatan dapat dihentikan,” sambungnya.
Para demonstran datang dari berbagai latar belakang, mulai dari lansia hingga keluarga dengan anak-anak. Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, juga turut hadir. Banyak yang membawa payung, bendera Palestina, dan meneriakkan “Kita semua orang Palestina”.
Menurut Kepolisian New South Wales, jumlah peserta mencapai 90.000 orang—melampaui perkiraan awal. Sementara itu, penyelenggara dari Palestine Action Group Sydney menyebutkan dalam unggahan Facebook bahwa jumlah massa bahkan bisa mencapai 300.000 orang.
Sebelumnya, Kepolisian dan Perdana Menteri Negara Bagian New South Wales mencoba membatalkan izin penggunaan Jembatan Sydney sebagai lokasi aksi, dengan alasan keselamatan dan potensi gangguan lalu lintas. Namun, Mahkamah Agung negara bagian memutuskan pada Sabtu (2/8) bahwa pawai tetap boleh dilaksanakan.
“Lebih dari seribu personel dikerahkan. Kerumunan besar sempat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya desak-desakan,” ujar Penjabat Wakil Komisaris Polisi Peter McKenna dalam konferensi pers. “Tidak ada yang terluka, tapi saya tak ingin harus mengatur hal semacam ini setiap hari Minggu dengan waktu yang singkat.”
Aksi serupa juga digelar di Melbourne pada hari yang sama.
Tekanan diplomatik terhadap Israel kian meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Pemerintah Prancis dan Kanada menyatakan siap mengakui negara Palestina, sementara Inggris menyampaikan akan mengikuti langkah serupa jika Israel tidak segera menyepakati gencatan senjata dan memperbaiki kondisi kemanusiaan.
Jenderal IRGC Ungkap Alasan Rusia dan China Tak Bantu Iran Melawan Israel
Seorang jenderal Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menjawab pertanyaan kontroversial mengapa Rusia dan China tidak membantu Iran dalam perang 12 hari melawan Israel pada Juni lalu. Jawaban dari pertanyaan itu adalah karena Teheran tidak meminta bantuan militer dari kedua negara yang dianggap sekutu Iran tersebut. Deputi Urusan Politik IRGC Iran, Brigadir Jenderal Yadollah Javani, dalam sebuah video mengatakan Teheran tidak meminta bantuan militer dari China atau pun Rusia. Dia menambahkan bahwa perjanjian kerja sama jangka panjang yang ada dengan kedua kekuatan tersebut tidak mencakup kewajiban pertahanan bersama. Selama perang 12 hari, Amerika Serikat ikut campur dengan ikut mengebom tiga situs nuklir Iran; Natanz, Fordow, dan Isfahan. Baca Juga: Iran Tuntut Kompensasi karena Situs Nuklirnya Dibom, AS: Sungguh Menggelikan “Beberapa orang di masyarakat bertanya selama perang mengapa China dan Rusia, yang memiliki perjanjian kerja sama 25 dan 20 tahun dengan kami, tidak membantu kami,” kata Javani. “Jawabannya adalah bahwa sifat perjanjian-perjanjian ini tidak mencakup pertahanan bersama atau kewajiban bagi salah satu negara untuk memasuki perang atas nama negara lain," paparnya, seperti dikutip dari Iran International, Senin (4/8/2025). Javani menekankan bahwa Iran tidak mencari dukungan militer dari luar selama konflik. “Republik Islam tidak meminta bantuan dari negara mana pun—bahkan dari anggota Poros Perlawanan,” ujarnya, merujuk pada pasukan milisi yang didukung Teheran di seluruh kawasan Timur Tengah. Menanggapi anggapan bahwa perjanjian jangka panjang dengan Beijing dan Moskow menyiratkan dukungan militer bersama, Javani mengatakan: “Ini adalah perjanjian kerja sama yang melibatkan kolaborasi militer, penjualan senjata, dan bidang-bidang lainnya. Namun, tidak seperti pakta keamanan formal, perjanjian ini tidak mewajibkan para pihak untuk saling membela di masa perang.” Dia lantas memberikan analogi: "Misalnya, kita memiliki perjanjian kerja sama militer dengan Moskow, tetapi ketika Rusia memasuki perang dengan Ukraina, kita tidak berkewajiban untuk mendukung mereka, dan demikian pula, mereka tidak berkewajiban untuk bergabung dengan kita dalam konflik apa pun." Komentar tersebut muncul di tengah perdebatan di media dan kalangan politik Iran mengenai apa yang dianggap sebagian orang sebagai tanggapan suam-suam kuku dari mitra strategis Iran. Selama konflik, Rusia mengecam serangan udara AS terhadap target-target Iran sebagai "tidak dapat dibenarkan" dan "agresif", sementara China menyerukan pengendalian diri dan dialog. Keduanya tidak memberikan bantuan material maupun militer apa pun. Media pemerintah dan para pejabat Iran menggambarkan konflik tersebut, yang berlangsung hampir dua minggu, sebagai ujian signifikan bagi kemampuan pertahanan Iran serta aliansi diplomatiknya. Harian Jomhouri-e Eslami dalam editorialnya baru-baru ini mengkritik Kremlin atas sistem pertahanan udara S-400 yang telah lama dijanjikan tetapi belum terkirim. Editorial yang sama mempertanyakan apakah China akan mengambil langkah konkret untuk mengatasi kerentanan pertahanan Iran—atau apakah perjanjian kerja sama strategis 20 tahun itu akan tetap, menurut mereka, "hanya selembar kertas". Meskipun demikian, Javani membela peran Rusia selama perang. "Presiden Vladimir Putin telah melakukan upaya diplomatik dan politik yang luar biasa untuk mendukung Republik Islam di forum-forum internasional," ujarnya. "Tindakan-tindakan seperti inilah yang kami harapkan di tingkat politik, dan beliau telah mewujudkannya," paparnya.
Rusia Tak Gentar Trump Kerahkan 2 Kapal Selam Nuklir AS, Malah Beri Respons
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memerintahkan pengerahan dua kapal selam nuklir ke dekat perbatasan Rusia. Namun, bukannya gentar, Moskow justru memberikan respons yang menohok. Respons Moskow disampaikan anggota Parlemen Rusia, Viktor Vodolatsky, yang mengatakan bahwa negaranya saat ini memiliki lebih banyak kapal selam nuklir yang ditempatkan di lautan dunia daripada Washington. Menurut Vodolatsky, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Pertama Komite Duma Negara untuk Urusan CIS, Integrasi Eurasia, dan Hubungan dengan Rekan Senegara, kapal-kapal selam yang diperintahkan Trump telah lama berada di bawah kendali, dan Moskow tidak perlu menanggapi komentar pemimpin AS tersebut. Baca Juga: Marah Besar! Trump Kirim Kapal Selam Nuklir ke Perbatasan Rusia "Kapal selam [nuklir] kami jauh lebih banyak di lautan dunia, [dan mereka] memiliki senjata terkuat dan terdahsyat. Inilah sebabnya, biarkan dua kapal [Trump] berlayar, mereka sudah lama berada di bawah todongan senjata. Kami tidak bisa memberikan jawaban, karena kami tahu betul siapa Donald Trump. Beberapa bulan terakhir ini menunjukkan bahwa dia berubah pikiran 24 jam sehari," kata Vodolatsky, seperti dikutip dari kantor berita pemerintah Rusia; TASS, Minggu (3/8/2025). Trump mengumumkan langkah tersebut pada hari Jumat di platform media sosialnya sebagai tanggapan atas apa yang disebutnya "pernyataan yang sangat provokatif" dari mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev. "Berdasarkan pernyataan yang sangat provokatif dari mantan presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, saya telah memerintahkan penempatan dua kapal selam nuklir di wilayah yang tepat, untuk berjaga-jaga jika pernyataan bodoh dan provokatif ini lebih dari sekadar itu. Kata-kata sangatlah penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, saya harap ini tidak termasuk. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini," ujar Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social. Trump tidak menyebutkan kapal selam mana yang dikerahkan atau di mana lokasinya. Sementara itu, Vodolatsky menegaskan bahwa akan lebih logis bagi AS untuk berfokus pada upaya yang sedang berlangsung, termasuk pembentukan kelompok negosiasi Rusia-Amerika dan kunjungan delegasi ke Rusia dan Amerika Serikat. "Dan penyusunan perjanjian utama yang harus disepakati antara Rusia dan Amerika agar seluruh dunia tenang dan berhenti membicarakan pecahnya Perang Dunia III," imbuh dia. Pertikaian dimulai ketika Mededev, yang kini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Nasional Rusia, mengunggah postingan di X awal pekan ini dalam bahasa Inggris bahwa "setiap ultimatum baru Trump merupakan ancaman dan langkah menuju perang" antara AS dan Rusia. Mededev menyampaikan komentar tersebut menanggapi Trump yang memperpendek batas waktu gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina dari 50 hari menjadi sepuluh hari, yang akan berakhir pekan depan. “Trump sedang memainkan permainan ultimatum dengan Rusia: 50 hari atau 10 hari. Dia harus mengingat 2 hal: 1. Rusia bukanlah Israel atau bahkan Iran. 2. Setiap ultimatum baru merupakan ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, melainkan dengan negaranya sendiri. Jangan terjebak dalam situasi seperti Sleepy Joe!,” tulis Medvedev di X, mengacu pada mantan presiden AS Joe Biden. Lebih lanjut, pada hari Kamis, dia mengomentari pernyataan Trump tentang ekonomi Rusia dan mendesak pemimpin Amerika tersebut untuk tidak melupakan bahaya "kematian". “Tentang 'ekonomi mati' India dan Rusia dan 'memasuki wilayah berbahaya'-baiklah, biarkan dia mengingat film favoritnya tentang mayat hidup, dan betapa berbahayanya 'Dead Hand' yang legendaris,” tulis Medvedev, mengacu pada sistem komando serangan nuklir semi-otomatis Rusia.
Langgar Perjanjian, Menteri Israel Itamar Ben-Gvir Lakukan Ibadah Yahudi di Kompleks Masjid Al-Aqsa
Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada hari Minggu (3/8/2025). Dia sengaja melakukan ibadah Yahudi di sana, melawan aturan lama di salah satu situs paling sensitif di Timur Tengah. Berdasarkan perjanjian status quo yang telah berlangsung puluhan tahun dengan otoritas Muslim, kompleks Masjid Al-Aqsa dikelola oleh sebuah yayasan keagamaan Yordania dan orang Yahudi dapat berkunjung tetapi tidak boleh beribadah di sana. Video yang dirilis oleh sebuah organisasi Yahudi kecil bernama Temple Mount Administration menunjukkan Ben-Gvir memimpin sekelompok orang berjalan di dalam kompleks masjid tersebut. Baca Juga: Polisi Israel Serbu Al-Aqsa, Tangkap Mufti Besar, dan Gerebek Kantor Masjid Video lain yang beredar daring menunjukkan Ben-Gvir sedang melakukan ibadah Yahudi. Kunjungan ke kompleks situs suci itu, yang dikenal oleh orang Yahudi sebagai Temple Mount, berlangsung pada Tisha B'av—hari puasa untuk berkabung atas hancurnya dua kuil Yahudi kuno, yang berdiri di lokasi tersebut berabad-abad yang lalu. Waqf, yayasan yang mengelola kompleks tersebut, mengatakan Ben-Gvir termasuk di antara 1.250 orang lainnya yang naik ke situs suci tersebut dan berdoa, berteriak, dan menari. Sikap resmi pemerintah Israel menerima aturan yang membatasi ibadah non-Muslim di kompleks tersebut, situs tersuci ketiga umat Islam dan situs paling suci dalam agama Yahudi. Ben-Gvir pernah mengunjungi situs tersebut sebelumnya dan menyerukan agar ibadah bagi orang Yahudi diizinkan di sana, yang mendorong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa hal ini bukanlah kebijakan Israel. Ben-Gvir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia berdoa untuk kemenangan Israel atas kelompok perlawanan Palestina; Hamas, dalam perang di Gaza dan untuk kembalinya sandera Israel yang ditawan di sana. Dia mengulangi seruannya agar Israel menaklukkan seluruh wilayah kantong Palestina tersebut. Kompleks di lereng bukit, di Kota Tua Yerusalem, merupakan salah satu lokasi paling sensitif di Timur Tengah. Saran bahwa Israel akan mengubah aturan di kompleks tersebut telah memicu kemarahan di dunia Muslim dan memicu kekerasan di masa lalu. Tidak ada laporan langsung mengenai kekerasan pada hari Minggu. Juru bicara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh, mengecam kunjungan Ben-Gvir, yang menurutnya "melewati semua batas merah." "Masyarakat internasional, khususnya pemerintah Amerika Serikat, diminta untuk segera turun tangan guna mengakhiri kejahatan para pemukim dan provokasi pemerintah sayap kanan ekstrem di Masjid Al-Aqsa, menghentikan perang di Jalur Gaza, dan mendatangkan bantuan kemanusiaan," ujar Rudeineh dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters.
Arab Saudi Marah Menteri Israel Lakukan Ibadah Yahudi di Kompleks Masjid Al-Aqsa
Kerajaan Arab Saudi marah dan mengecam keras ulah Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir yang melakukan ibadah Yahudi di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki. Menurut kerajaan, itu adalah provokasi pejabat Israel yang berulang di situs suci umat Islam. Ben-Gvir memimpin sekelompok besar pemukim ilegal Israel dalam penyerbuan massal ke kompleks masjid suci pada Minggu dini hari untuk memperingati hari raya Yahudi; Tisha B'Av. "Praktik provokatif yang berulang kali dilakukan oleh pejabat pemerintah pendudukan Israel di Masjid Al-Aqsa hanya akan memicu konflik di wilayah tersebut," kata Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam sebuah pernyataan. Baca Juga: Langgar Perjanjian, Menteri Israel Itamar Ben-Gvir Lakukan Ibadah Yahudi di Kompleks Masjid Al-Aqsa Kerajaan tersebut menekankan bahwa tindakan Ben-Gvir melanggar hukum dan norma internasional dan merusak upaya perdamaian. "Riyadh menegaskan kembali tuntutannya yang berkelanjutan agar komunitas internasional menghentikan praktik pejabat pendudukan Israel dan menyerukan intervensi internasional yang mendesak," lanjut Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, seperti dikutip dari Middle East Monitor, Senin (4/8/2025). Masjid Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam. Umat Yahudi menyebut area tersebut sebagai Temple Mount, dan mengeklaim bahwa area tersebut merupakan lokasi dua kuil Yahudi di zaman kuno. Israel menduduki Yerusalem Timur, tempat Masjid Al-Aqsa berada, selama Perang Arab-Israel 1967. Israel mencaplok seluruh kota Yerusalem pada tahun 1980, sebuah tindakan yang tidak pernah diakui oleh komunitas internasional. Berdasarkan perjanjian status quo yang telah berlangsung puluhan tahun dengan otoritas Muslim, kompleks Masjid Al-Aqsa dikelola oleh sebuah yayasan keagamaan Yordania dan orang Yahudi dapat berkunjung tetapi tidak boleh beribadah di sana. Video yang dirilis oleh sebuah organisasi Yahudi kecil bernama Temple Mount Administration menunjukkan Ben-Gvir memimpin sekelompok orang berjalan di dalam kompleks masjid tersebut. Video lain yang beredar daring menunjukkan Ben-Gvir sedang melakukan ibadah Yahudi. Waqf, yayasan yang mengelola kompleks masjid tersebut, mengatakan Ben-Gvir termasuk di antara 1.250 orang lainnya yang naik ke situs suci tersebut dan berdoa, berteriak, dan menari. Sikap resmi pemerintah Israel menerima aturan yang membatasi ibadah non-Muslim di kompleks masjid tersebut. Ben-Gvir pernah mengunjungi situs tersebut sebelumnya dan menyerukan agar ibadah bagi orang Yahudi diizinkan di sana, yang mendorong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa hal ini bukanlah kebijakan Israel. Ben-Gvir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia berdoa untuk kemenangan Israel atas kelompok perlawanan Palestina; Hamas, dalam perang di Gaza dan untuk kembalinya sandera Israel yang ditawan di sana. Dia mengulangi seruannya agar Israel menaklukkan seluruh wilayah kantong Palestina tersebut.