News Forex, Index & Komoditi ( Selasa, 26 September 2023 )
News Forex, Index & Komoditi
( Selasa, 26 September 2023 )
Wall Street raih keuntungan karena investor amati prospek suku bunga
Wall Street membukukan keuntungan pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), ketika imbal hasil obligasi pemerintah semakin meningkat dan investor menantikan data ekonomi dan pernyataan para pengambil kebijakan Federal Reserve pada minggu ini untuk mendapatkan kejelasan mengenai arah kenaikan suku bunga.
Indeks Dow Jones Industrial Average terangkat 43,04 poin atau 0,13 persen, menjadi menetap di 34.006,88 poin. Indeks S&P 500 menguat 17,38 poin atau 0,40 persen, menjadi berakhir pada 4.337,44 poin. Indeks Komposit Nasdaq bertambah 59,51 poin atau 0,45 persen, menjadi ditutup di 13.271,32 poin.
Di antara sektor-sektor utama S&P 500, energi memimpin kenaikan dengan terangkat 1,3 persen, sementara sektor material naik 0,8 persen. Sektor-sektor defensif tertinggal, dengan kelompok konsumen bahan pokok melemah 0,4 persen.
Investor bergulat dengan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah ke level tertinggi dalam 16 tahun setelah The Fed memberikan prospek suku bunga jangka panjang yang hawkish. S&P 500 rebound pada Senin (25/9/2023) setelah minggu lalu mengalami penurunan mingguan terbesar sejak Maret.
Ada "tarik tarik menarik antara investor yang tampaknya semakin khawatir mengenai 'suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama'... dan pembeli bertanya-tanya mungkin kita telah melihat koreksi dan kita dapat mulai membangun dari level yang lebih tinggi ini," kata Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services, dikutip dari Reuters.
Dengan semakin dekatnya akhir kuartal ketiga, investor mengatakan pergerakan pasar mungkin relatif tenang sampai perusahaan melaporkan hasil kuartalan dalam beberapa minggu mendatang.
S&P 500 telah turun sekitar 5,5 persen sejak akhir Juli tetapi tetap naik sekitar 13 persen pada tahun ini.
"Tidak ada urgensi untuk secara agresif membeli kemunduran di dunia (suku bunga) yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama dan itulah yang harus dihadapi pasar dalam beberapa bulan mendatang," kata Angelo Kourkafas, ahli strategi investasi senior di Edward Jones.
Investor sepanjang minggu ini akan memantau data termasuk data barang tahan lama dan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi untuk Agustus, dan Produk Domestik Bruto kuartal kedua, serta pernyataan para pengambil kebijakan The Fed, termasuk Ketua Jerome Powell.
Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee mengatakan dalam sebuah wawancara dengan CNBC pada Senin (25/9/2023) bahwa inflasi yang tetap berada di atas target The Fed sebesar 2,0 persen tetap merupakan risiko yang lebih besar dibandingkan kebijakan ketat bank sentral yang memperlambat perekonomian lebih dari yang diperlukan.
Dalam berita perusahaan, saham Amazon.com naik 1,7 persen setelah raksasa e-commerce tersebut mengatakan akan berinvestasi hingga 4 miliar dolar AS pada startup Anthropic untuk bersaing dengan pesaing cloud yang berkembang dalam kecerdasan buatan.
Sekitar 9,1 miliar lembar saham berpindah tangan di bursa AS, dibandingkan dengan rata-rata harian sebanyak 10 miliar lembar saham dalam 20 sesi terakhir.
Bursa Asia Melemah Pada Perdagangan Selasa (26/9) Pagi
Bursa Asia melemah pada perdagangan Selasa (26/9) pagi. Oukul 08.11 WIB, indeks Nikkei 225 turun 296,95 poin atau 0,91% ke 32.382,19, Kospi turun 25,83 poin atau 1,03% ke 2.468,99, ASX 200 turun 27,13 poin atau 0,38% ke 7.049,40.
Bursa Asia melemah di tengah kenaikan dolar AS dan imbal hasil US treasury, menandakan investor belum sepenuhnya mengkalibrasi ekspektasi suku bunga.
Mengutip Bloomberg, kenaikan imbal hasil obligasi juga terjadi di pasar Asia, dimana imbal hasil di Australia dan Selandia Baru juga meningkat.
"Harga akan tetap tinggi," kata Wei Li, kepala strategi investasi global BackRock Investment Institute dalam sebuah catatan.
"Meningkatnya imbal hasil obligasi jangka panjang menunjukkan pasar sedang menyesuaikan diri terhadap risiko dalam rezim baru dengan volatilitas makro dan pasar yang lebih besar.
Kini, fokus perhatian investor Asia tertuju pada tanda-tanda gejolak baru bagi pengembang properti China, setelah enam saham mereka anjlok ke level terendah dalam sembilan bulan pada Senin (25/9) lantaran Grup Evergrande melewatkan pembayaran utang dan mantan eksekutifnya ditahan.
Hal ini menambah kekhawatiran mengenai tumbukan utang di sektor properti dan meningkatkan kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi global akan terhenti karean mesin perekonomian China melemah.
Korut kembali buka pintu untuk warga asing
Korea Utara pada Senin mengumumkan bahwa mereka telah mengizinkan warga negara asing memasuki negaranya untuk pertama kalinya sejak pandemi COVID-19, kata media resmi China, CCTV.
Langkah itu diambil saat Pyongyang mulai kembali membuka perbatasannya setelah ditutup sejak awal 2020 akibat COVID-19.
Adapun kebijakan tersebut berlaku secara efektif pada hari yang sama pengumuman itu dibuat.
Warga negara asing yang memasuki Korea Utara akan diwajibkan menjalani karantina selama dua hari, menurut CCTV.
Beberapa agen perjalanan China yang mengatur perjalanan ke Korea Utara melaporkan pada Senin bahwa mereka belum menerima pemberitahuan mengenai izin bagi warga negara asing untuk memasuki negara tetangganya itu.
Namun, pada 22 Agustus maskapai penerbangan milik pemerintah Korea Utara, Air Koryo, sudah kembali membuka penerbangan penumpang internasional yang menghubungkan Pyongyang dan Beijing.
Lima hari berselang, kantor berita pemerintah Korea Utara KCNA mengatakan bahwa warga Korea Utara yang berada di luar negeri akan diizinkan untuk pulang kembali ke negara tersebut dengan masa karantina selama satu pekan.
Namun, laporan tersebut tidak secara spesifik merujuk pada warga negara asing.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un sebelumnya melakukan perjalanan ke Timur Jauh Rusia awal bulan ini dan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Itu merupakan perjalanan pertama Kim ke luar negeri sejak wabah virus corona.
Jurnalis Al Jazeera soroti banyak media Barat enggan kritik Ukraina
Jurnalis Al Jazeera Stephanie Vaessen menyoroti kecenderungan media-media Barat yang enggan mengkritik Ukraina, terutama dalam konteks perang Rusia di Ukraina.
Vaessen, yang pernah meliput perang Rusia di Ukraina, menyebut bahwa banyak media Barat yang sejak awal meliput perang tampak kompak dan bekerja sama untuk tidak melaporkan sesuatu yang negatif tentang Ukraina. Barat yang terdiri dari Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya memang merupakan pendukung Ukraina yang hingga saat ini terus memberikan bantuan militer kepada Kiev.
“Saya sebenarnya tidak terlalu senang dengan cara banyak media Barat sejak awal meliput perang ini karena mereka seperti bekerja sama … yang menurut saya tidak menguntungkan mereka,” ujar Vaessen dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan FPCI di Jakarta, Senin.
“Saya kira Ukraina bisa menerima kritik. Mereka ingin menjadi bagian dari Uni Eropa dan menjadi negara demokratis dengan kebebasan berpendapat,” sambung dia.
Tak hanya soal itu, Vaessen juga menyoroti lemahnya kebebasan pers di Rusia terutama dalam konteks perang Rusia dan Ukraina.
Dia menuturkan bahwa jurnalis yang meliput di Rusia berisiko ditahan atau diusir karena melaporkan perang secara bebas. Kondisi itu membuat para jurnalis kesulitan untuk menyajikan laporan yang netral.
“Saat ini tidak ada cara untuk mendapatkan laporan yang netral dari Rusia jika Anda berbasis di Rusia. Anda berada dalam banyak ancaman,” ucap Vaessen yang pernah bertugas di Rusia selama setahun.
“Hal ini tidak terjadi di Ukraina. Anda tidak diusir atau ditahan karena melaporkan cerita tersebut. Namun, ada batasan yang serius,” kata dia menambahkan.
Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2022 memberlakukan aturan terkait berita bohong terutama terkait pemberitaan yang memuat aksi militer Rusia di Ukraina. Pelaku yang melanggar akan menerima hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Seorang jurnalis dari surat kabar Amerika Serikat The Wall Street Journal Evan Gershkovich, misalnya, sudah enam bulan ditahan atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata untuk Washington.
Penahanan ini adalah tindakan paling keras yang dilakukan Moskow terhadap jurnalis asing sejak Rusia menyerang Ukraina.
Berdasarkan hukum Rusia, aksi mata-mata diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Menurut laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia oleh Reporters Without Borders (RSF), sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, hampir semua media independen dilarang, diblokir dan/atau dinyatakan sebagai “agen asing” atau “organisasi yang tidak diinginkan”. Media-media tunduk pada pengawasan dan sensor militer.
Laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 sebagai indikator baik buruknya ekosistem pers di 180 negara menempatkan indeks kebebasan pers Rusia pada 2023 berada di peringkat ke-164 dengan angka indeks 34,77.
Rusia: Armenia Membuat Kesalahan Besar Karena Dekati Barat
Rusia mengatakan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan harus bertanggung jawab terkait kemenangan Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh. Karena Pashinyan cenderung untuk mendekati Barat daripada bekerja sama dengan Rusia dan Azerbaijan untuk perdamaian.
Pashinyan mengatakan, Rusia telah mengecewakan Armenia karena tidak memberikan lebih banyak bantuan untuk mencegah krisis di wilayah yang memisahkan diri tersebut. Pashinyan harus mengubah aliansi keamanan Armenia. Kementerian Luar Negeri Rusia membalas pernyataan Pashinyan dengan serangan keras.
“Kami yakin bahwa kepemimpinan Yerevan membuat kesalahan besar dengan sengaja mencoba menghancurkan hubungan multi-aspek Armenia dengan Rusia yang telah terjalin selama berabad-abad dan menjadikan negara itu sebagai sandera permainan geopolitik Barat,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia.
Azerbaijan merebut Karabakh dalam serangan kilat pekan lalu. Langkah ini menyebabkan ribuan etnis Armenia melarikan diri ke Armenia. Azerbaijan telah berjanji untuk melindungi hak-hak sekitar 120.000 warga Armenia yang tinggal di Karabakh, tetapi banyak yang menolak untuk menerima jaminan tersebut.
Karabakh secara internasional dipandang sebagai wilayah Azerbaijan. Rusia memiliki sekitar 2.000 pasukan penjaga perdamaian di wilayah tersebut. Rusia mengatakan, Pashinyan berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab atas kegagalannya terkait kebijakan dalam dan luar negeri dengan menyalahkan Moskow.
"Pernyataan Pashinyan tentang transformasi aliansi menunjukkan bahwa ia bersiap untuk beralih dari aliansi Armenia dengan Moskow ke arah Barat," kata Kementerian Luar Negeri Rusia.
Rusia mengatakan, Pashinyan menghindari kerja sama dengan Rusia dan Azerbaijan dan malah lari ke Barat untuk menyelesaikan krisis Karabakh. Rusia menambahkan, pihak berwenang di Yerevan telah memicu histeria anti-Rusia di media Armenia.
Moskow membantah tuduhan bahwa mereka terlibat dalam protes di Yerevan. Rusia memperingatkan Pashinyan bahwa, Moskow tidak mengobarkan revolusi, namun negara-negara Barat yang melakukannya.
“Kepala pemerintahan Armenia harus menyadari bahwa Moskow tidak terlibat dalam hal-hal seperti itu, tidak seperti Barat yang cukup mahir dalam mengorganisir ‘revolusi warna’,” kata Rusia.
Rusia menyalahkan Amerika Serikat yang memicu revolusi warna di beberapa negara republik pasca-Soviet termasuk Ukraina.
Korea Utara sebut kerja samanya dengan Rusia 'wajar' sebagai tetangga
Korea Utara pada Senin mengecam Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol lantaran mengkritik kerja sama antara Pyongyang dan Moskow usai Pemimpin Korut Kim Jong Un mengunjungi Rusia pekan lalu.
Korut menegaskan bahwa adalah sikap yang "wajar" dan "normal" bagi negara-negara tetangga untuk menjaga hubungan erat.
Yoon, ketika berbicara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu, menganggap Rusia melakukan "provokasi langsung" jika membantu Korut meningkatkan program senjata dengan imbalan mendapat bantuan perang di Ukraina.
Melalui artikel yang dilansir kantor berita KCNA, Korut mengecam Yoon karena dengan "parah" memfitnah kerja sama persahabatannya dengan Rusia. Korut juga menyebut Yoon sebagai "pengeras suara" bagi Amerika Serikat.
"Wajar dan normal bagi negara bertangga untuk saling menjaga hubungan dekat, dan tidak ada alasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut," katanya.
Kim kembali ke tanah air usai melakukan kunjungan sepekan ke Rusia. Selama lawatan itu, dia dan Presiden Vadimir Putin sepakat untuk memperkuat kerja sama militer dan ekonomi.
Para pejabat AS dan Korea Selatan menyampaikan kekhawatiran bahwa Rusia kemungkinan berupaya memperoleh amunisi dari Korut untuk menambah stok amunisi mereka yang menipis akibat perang di Ukraina.
Di sisi lain, Pyongyang dicurigai sedang berupaya mencari bantuan teknologi untuk program nuklir dan rudal miliknya.
Setiap kegiatan yang membantu program senjata Korea Utara dilarang berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Kebijakan luar negeri DPRK .. tidak ada kaitannya dengan apa pun dan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan tetangga dekat akan terus berkembang lebih kuat," menurut artikel itu, dan menyebut DPRK sebagai nama resmi Korea Utara.
Akankah Saudi dan Israel benar-benar membuka hubungan diplomatik?
Tak begitu bergemuruh di dunia Arab dan Muslim, tapi gempita di Barat dan Israel, prakarsa normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi-Israel, terlihat lebih diinginkan Israel ketimbang Arab Saudi.
Dalam beberapa hari belakangan, penguasa de facto Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman yang akrab disapa MbS, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, berbalas pesan rekonsiliatif.
Pada 20 September lalu, dalam wawancara dengan stasiun televisi Fox di Amerika Serikat, MbS mengungkapkan bahwa Saudi dan Israel kian dekat mencapai kesepakatan.
"Setiap hari kami semakin mendekat. Sepertinya untuk pertama kalinya kesepakatan itu benar-benar serius," kata MbS.
Penerus tahta Raja Salman itu yakin sebuah pakta yang disebutnya kesepakatan bersejarah terbesar sejak Perang Dingin, bakal segera diwujudkan.
Dua hari kemudian, saat Sidang Majelis Umum PBB di New York, Netanyahu menguatkan pernyataan MbS bahwa Saudi, Israel, dan AS "sudah berada di titik puncak" untuk mencapai kesepakatan.
Netanyahu bahan menaksir akan ada kesepakatan yang disebutnya sebagai "lompatan kuantum".
Sampai pada titik itu, kebanyakan negara-negara Arab dan Muslim, tak begitu bergembira dengan kabar tersebut.
Mungkin karena menganggap hal itu mustahil terjadi atau karena terlalu berat untuk membayangkan bagaimana mungkin negara yang menjadi garda terdepan dunia Islam mesti berbaikan dengan negara yang selama ini dianggap menyengsarakan Palestina.
Namun, jika melihat dari seringnya MbS berbicara tentang prospek membuka hubungan dengan Israel, maka rekonsiliasi Saudi-Israel bukan lagi soal retorika.
MbS, bahkan disebut sejumlah media global setidaknya sudah satu kali menggelar pertemuan rahasia dengan Netanyahu.
Israel sendiri memandang Saudi sebagai kunci untuk perdamaian menyeluruh dengan dunia Arab dan Muslim.
Walaupun Israel memiliki hubungan diplomatik dengan Mesir dan Turki yang berpengaruh di dunia Islam, selain dengan Yordania yang berstatus "pelindung tempat-tempat suci umat Islam, termasuk Masjidil Aqsa", Israel menaruh bobot lebih besar kepada Saudi.
Bobot Saudi itu juga pastinya jauh lebih berat ketimbang Uni Emirat Arab, Sudan, Maroko, dan Bahrain yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel duta tahun silam dalam kerangka Abraham Accord.
Pintu gerbang perdamaian
Hubungan diplomatik dengan Saudi adalah pintu gerbang Israel untuk hubungan baik serupa dengan negara-negara yang selama ini tak mengakui eksistensinya, sehingga otomatis dapat melepaskan isolasi global kepada negara ini yang terjadi sejak Israel berdiri pada 1948.
Netanyahu yang menghadapi tentangan hebat di dalam negeri akibat kebijakan-kebijakan kontroversialnya, termasuk amandemen yang mengamputasi sistem peradilan Israel, bakal mendapatkan insentif politik besar jika sukses mewujudkan perdamaian dengan Saudi.
Setali tiga uang, Presiden Joe Biden di Amerika Serikat bakal memiliki bekal politik amat berharga yang bisa menaikkan popularitasnya di dalam negeri jika berhasil mendamaikan Saudi dan Israel.
Itu akan menjadi jualan politik besar pada Pemilu 2024 yang kemungkinan berhadapan lagi dengan Donald Trump yang membuat catatan mengesankan di Timur Tengah, karena mendorong empat negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
MbS sendiri cerdik membaca situasi. Dia tahu, Israel dan Amerika Serikat lebih membutuhkan Saudi berdamai dengan Israel, ketimbang keinginan Saudi berdamai dengan Israel.
MbS mungkin tahu gagasan itu tidak populer di negerinya sendiri. Jajak pendapat Arab Youth Survey belum lama ini menunjukkan, hanya 2 persen kaum muda Saudi yang mendukung normalisasi hubungan dengan Israel. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan Uni Emirat Arab dan Mesir di mana masing-masing 75 dan 73 persen kaum mudanya mendukung hubungan diplomatik dengan Israel.
Namun, MbS yang berada dalam rezim berkekuasaan mutlak, dapat mengabaikan ketidaksetujuan publik dengan mengajukan syarat-syarat normalisasi yang menguntungkan Saudi, atau paling tidak melukiskan posisi tawar lebih tinggi yang dimiliki Saudi.
Di antara syarat-syarat itu adalah pakta militer yang lebih kuat dengan AS, sehingga Saudi mendapatkan jaminan perlindungan keamanan penuh jika diserang dari luar, terutama Iran yang di ambang memiliki senjata nuklir, walau Saudi dan Iran sudah menormalisasi hubungan.
Saudi juga menginginkan AS membantunya mengembangkan program nuklir sipil. Di sini, Saudi tak meminta AS membantu insinyur-insinyur mereka membangunkan reaktor nuklir, melainkan dalam format di mana Saudi hanya menyediakan lahan, sedangkan operatornya adalah AS, sehingga agak mirip dengan perusahaan minyak raksasa Saudi, Aramco, yang awalnya dikelola oleh AS.
Iran-lah, dan bukannya Israel, yang mendorong MbS berusaha membawa Saudi menguasai kapabilitas nuklir. "Jika mereka menguasai nuklir, kami pun harus menguasainya, kendati untuk saat ini kami tak melihatnya demikian," kata MbS, dalam wawancara dengan Fox itu.
Soal akses Saudi ke energi nuklir ini menjadi dilema bagi AS. Mereka masih sulit membayangkan sebuah negara Islam yang bisa membahayakan posisi Israel, menguasai nuklir.
Namun, jika bercermin dari Pakistan yang juga negara Muslim, kepemilikan nuklir tak membuat Pakistan bertindak gegabah. Sebaliknya, Pakistan tetap dapat dikendalikan AS.
Oleh karena itu, tak ada alasan untuk tak mengabulkan permintaan nuklir dari Saudi, apalagi yang diinginkan Saudi hanyalah program nuklir damai.
Kecuali seberani MbS
Jika AS sulit mengabulkan syarat itu, maka mereka harus rela melihat Saudi yang merupakan sekutu terpercaya di Timur Tengah, berpaling ke China atau Rusia, yang sudah mengutarakan kesiapan membantu Saudi mengembangkan nuklir.
Syarat lain yang diajukan Saudi adalah menyangkut nasib Palestina. Bukan kali ini saja Saudi mengeluarkan syarat ini, karena negara ini pula yang turut andil dalam Prakarsa Perdamaian Arab pada 2002.
Prakarsa 2002 menyatakan prakondisi bagi Arab bahwa hubungan baik dengan Israel hanya terjadi jika Israel mengembalikan wilayah-wilayah Arab yang didudukinya pada Perang 1967. Bukan itu saja, Saudi juga mengharuskan adanya Negara Palestina.
"Bagi kami, masalah Palestina itu sangat penting. Kita (Saudi, Israel, dan AS) mesti mengatasi bagian itu," kata MbS.
Tapi persoalan Palestina bisa menjadi bagian yang paling sulit dijual, baik oleh Netanyahu maupun Biden, di dalam negeri masing-masing.
Netanyahu pasti ditentang oleh mitra-mitra koalisi kanannya, sebaliknya Biden ditentang kubu Republik yang tak mau membayangkan negara selain Israel di Timur Tengah, menguasai nuklir.
MbS sendiri terlihat cerdik karena melancarkan ofensif diplomatik ketika Israel sedang dikuasai kaum kanan.
Jika saja rezim yang berkuasa di Israel saat ini kelompok kiri atau moderat, proposal Saudi mungkin diterima bulat oleh rezim Israel. Namun, itu pasti akan menimbulkan gejolak dan dilawan habis-habisan oleh kelompok kanan, kalau perlu dengan kekerasan.
Pembunuhan PM Yitzak Rabin pada 4 November 1995 adalah contohnya. Rabin dibunuh oleh ekstremis Yahudi setelah membuat kesepakatan damai dengan Palestina (PLO) yang di antaranya mencantumkan "hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri."
Oleh karena itu, normalisasi hubungan Saudi-Israel lebih menghadirkan tantangan pelik dan besar untuk Israel dan AS, ketimbang pada pihak Saudi.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen memang menyatakan draf kesepakatan normalisasi hubungan Saudi-Israel mungkin sudah tersedia awal 2024, tapi itu tampaknya tak akan menghilangkan potensi krisis di Israel.
Itu pula yang membuat sebagian kalangan skeptis normalisasi hubungan Saudi-Israel bisa terwujud, kecuali AS dan Israel seberani MbS dalam menawarkan terobosan untuk mewujudkan normalisasi hubungan yang dapat mengubah total lanskap geopolitik global itu.
Masalahnya, apakah AS dan Israel siap mengambil langkah seberani dan sejauh dilakukan MbS? Inilah pertanyaan dan aspek yang mungkin paling menentukan dalam mewujudkan normalisasi hubungan Saudi-Israel.
Venezuela dukung inisiatif global pembangunan, peradaban usulan China
Menteri Luar Negeri Venezuela Yvan Gil pada Sabtu (23/9) mengatakan negaranya mendukung inisiatif global terkait pembangunan, keamanan, dan peradaban yang diusulkan China.
Venezuela memuji upaya sejumlah negara yang berkontribusi pada dialog, pemahaman, perdamaian global, dan kemajuan bersama, seperti halnya China, kata Yvan Gil dalam Debat Umum Majelis Umum PBB.
"Venezuela mendukung Inisiatif Pembangunan Global, Inisiatif Keamanan Global, dan Inisiatif Peradaban Global. Melalui upaya bersama, di bawah semangat saling melengkapi, solidaritas, dan kerja sama, kita dapat mengubah arah menuju masa depan bersama yang penuh kemakmuran dan stabilitas bagi seluruh umat manusia," kata dia.
Sebuah dunia multipolar dan multilateral baru yang damai dan sejahtera secara ekonomi, bebas dari hegemoni dan berlandaskan Piagam PBB, harus didasarkan pada nilai-nilai multilateralisme sejati, kerja sama internasional, dan solidaritas.
Dalam hal ini, Venezuela mengakui kontribusi BRICS terhadap geopolitik global saat ini dan demokratisasi hubungan internasional, ungkapnya.
Venezuela sendiri ingin bergabung menjadi anggota BRICS.
Sebuah dunia multipolar dan multilateral baru yang damai dan sejahtera secara ekonomi, bebas dari hegemoni dan berlandaskan Piagam PBB, harus didasarkan pada sejumlah nilai multilateralisme sejati, kerja sama internasional, dan solidaritas, kata Yvan Gil.
Dalam menghadapi krisis ekonomi dan keuangan yang secara khusus berdampak pada negara-negara berkembang, terdapat kebutuhan akan model baru bagi mekanisme tata kelola global, dengan negara-negara Global South memiliki akses yang adil untuk pembiayaan internasional, ujar menlu Venezuela itu.
Sebelum ada reformasi sistem multilateral sejati dan efektif dalam bidang keuangan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dipastikan tidak akan tercapai, tuturnya.
Utang merupakan masalah penting bagi negara-negara berkembang, dan kecil harapannya keadaan akan segera membaik jika sistem yang ada saat ini tidak diubah secara radikal.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan lembaga-lembaga kredit Barat mengenakan suku bunga yang rendah untuk rekan-rekan mereka, namun memberi negara-negara berkembang suku bunga yang tidak dapat dibayar, yang oleh beberapa pakar disebut sebagai kejahatan apartheid keuangan.
Skema perampasan dan ketergantungan neokolonialis ini harus dilenyapkan, ujarnya.