News Forex, Index & Komoditi ( Jumat, 16 Mei 2025 )

News  Forex,  Index  &  Komoditi

(  Jum’at,  16 Mei 2025  )

Harga Emas Global  Naik,  Dipicu Lesunya Dolar dan Data Ekonomi AS

 

Harga emas naik lebih dari 1% pada Kamis (15/5), didorong oleh pelemahan dolar AS dan data ekonomi yang mengecewakan.

Selain itu, ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam perundingan damai juga memicu aksi beli emas sebagai aset lindung nilai.

Melansir Reuters, harga emas spot tercatat naik 1,3% ke level US$3.218,89 per troi ons pada pukul 13.51 waktu setempat (17.51 GMT), setelah sempat menyentuh posisi terendah dalam lebih dari satu bulan di awal sesi perdagangan.

Sementara itu, kontrak berjangka emas AS (U.S. gold futures) ditutup naik 1,2% ke US$3.226,60.

Indeks dolar AS melemah 0,1%, sehingga membuat emas yang dihargakan dalam dolar menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang asing.

Data ekonomi yang dirilis menunjukkan harga produsen (PPI) AS secara tak terduga turun pada April, sementara pertumbuhan penjualan ritel juga melambat.

Sebelumnya, data inflasi konsumen (CPI) juga tercatat naik di bawah ekspektasi pada bulan yang sama.

Kondisi ini memperkuat spekulasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September mendatang. Suku bunga yang lebih rendah biasanya meningkatkan daya tarik emas, karena logam mulia ini tidak memberikan imbal hasil.

“Data hari ini memberi ruang lebih bagi The Fed untuk memangkas suku bunga, dan ekspektasi pasar cenderung lebih dovish,” kata Peter Grant, Wakil Presiden sekaligus analis logam senior di Zaner Metals.

"Ketidakhadiran Putin dalam perundingan damai di Turki menurunkan ekspektasi terhadap tercapainya kesepakatan damai, dan saya kira ini turut menopang harga emas hari ini," tambahnya.

Putin memilih untuk mengirim tim negosiator tingkat kedua dalam perundingan damai dengan Ukraina di Turki, menolak tantangan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy untuk hadir langsung dalam pertemuan.

Para analis menilai investor tetap berhati-hati di tengah ketegangan perdagangan global, meskipun AS dan China telah sepakat untuk menunda penerapan tarif tambahan selama 90 hari ke depan.

Di pasar logam mulia lainnya: harga perak spot naik 0,8% menjadi US$32,47 per ons troi, harga platinum menguat 1,3% ke US$989,01, dan harga palladium naik 1,2% ke US$962,33.

Pasar palladium yang sebelumnya mengalami defisit sepanjang 2012–2024 diperkirakan akan seimbang tahun ini. Didorong penurunan permintaan akibat menurunnya produksi kendaraan berbahan bakar bensin serta meningkatnya kegiatan daur ulang di China, menurut laporan Johnson Matthey.

 

 

 

 

 

Harga Minyak Dunia Turun, Ekspektasi Kesepakatan Nuklir AS-Iran

 

 Harga minyak dunia ditutup melemah sekitar 2% pada Kamis (15/5), dipicu oleh ekspektasi tercapainya kesepakatan nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Iran yang berpotensi melonggarkan sanksi dan menambah pasokan minyak ke pasar global.

Melansir Reuters, harga minyak Brent ditutup turun US$1,56 atau 2,36% ke level US$64,53 per barel.

Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun US$1,53 atau 2,42% menjadi US$61,62 per barel.

Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa negosiasi dengan Iran "hampir mencapai kesepakatan", dan menyebut Teheran “semacam” telah menyetujui syarat-syarat perjanjian tersebut.

Seorang pejabat Iran mengatakan kepada NBC News bahwa Iran bersedia mencapai kesepakatan dengan AS asalkan sanksi ekonomi dicabut.

“Setiap pelonggaran sanksi yang terjadi segera setelah kesepakatan nuklir dapat membuka tambahan 800.000 barel per hari minyak Iran ke pasar global ini tentu saja menjadi faktor bearish bagi harga,” kata analis SEB, Ole Hvalbye.

Meski demikian, ketegangan tetap tinggi. Departemen Keuangan AS pada Rabu mengumumkan sanksi baru terhadap upaya Iran memproduksi komponen rudal balistik secara domestik.

Sanksi ini menyusul pembatasan pada jaringan sekitar 20 perusahaan yang dituduh menyalurkan minyak Iran ke China.

Sanksi tersebut muncul setelah putaran keempat pembicaraan AS-Iran di Oman dalam upaya menyelesaikan perselisihan seputar program nuklir Iran.

“Kita melihat fluktuasi besar: dari Trump yang ingin memangkas ekspor Iran hingga nol, hingga kini membicarakan kemungkinan mengembalikan Iran ke komunitas internasional. Ancaman pasokan datang dari dua arah — bisa dari minyak Iran yang diselundupkan atau dari kembalinya produksi Iran sepenuhnya ke pasar. Ini yang memicu volatilitas harga,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital, New York.

Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin menolak undangan bertemu langsung dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy di Turki, meredupkan harapan akan tercapainya perdamaian.

Zelenskiy menyebut keputusan Putin yang hanya mengirim delegasi “dekoratif” menunjukkan bahwa pemimpin Rusia itu tidak serius mengakhiri perang.

“Sikap Putin ini cenderung mendukung harga, karena salah satu argumen bearish adalah jika konflik Ukraina-Rusia mereda, maka pasokan Rusia bisa kembali ke pasar global,” ujar Kilduff.

Sementara itu, Badan Energi Internasional (IEA) menaikkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025 menjadi 740.000 barel per hari (bph), naik 20.000 bph dari laporan sebelumnya, didorong prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi serta harga minyak yang lebih rendah.

Namun, untuk sisa tahun ini, IEA memperkirakan permintaan hanya akan tumbuh 650.000 bph, menurun dari pertumbuhan hampir 1 juta bph pada kuartal pertama, karena tekanan ekonomi dan peningkatan penjualan kendaraan listrik.

Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya dalam OPEC+ masih terus menambah pasokan.

Namun, OPEC memangkas perkiraan pertumbuhan pasokan dari AS dan negara-negara non-OPEC+ lainnya pada tahun ini.

Menambah tekanan pada harga, data Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS naik 3,5 juta barel menjadi 441,8 juta barel pada pekan lalu jauh di atas ekspektasi analis dalam survei Reuters yang memperkirakan penurunan sebesar 1,1 juta barel.

Sementara itu, ekspor minyak CPC Blend dari wilayah Laut Hitam diperkirakan mencapai 1,6 hingga 1,7 juta bph pada Juni, lebih tinggi dibandingkan 1,5 juta bph yang dijadwalkan untuk Mei, menurut beberapa sumber perdagangan kepada Reuters.

 

Wall Street Ditutup Bervariasi, Saham Cisco Naik dan UnitedHealth Anjlok

 

Wall Street ditutup bervariasi pada Kamis (15/5), didorong lonjakan saham Cisco Systems setelah memberikan proyeksi positif.

Sementara saham UnitedHealth anjlok menyusul laporan penyelidikan pidana terhadap perusahaan asuransi tersebut.

Melansir Reuters, indeks S&P 500 naik 0,41% menjadi 5.916,93 poin, Nasdaq turun 0,18% ke posisi 19.112,32 poin, dan Dow Jones Industrial Average menguat 0,65% menjadi 42.322,75 poin.

Dari 11 sektor dalam indeks S&P 500, delapan sektor mengalami kenaikan, dipimpin oleh sektor utilitas yang naik 2,1%, disusul oleh sektor barang konsumsi non-diskresioner yang naik 2%.

Meskipun pulih, indeks S&P 500 masih berada sekitar 4% di bawah rekor penutupan tertingginya pada 19 Februari.

Indeks S&P 500 telah pulih sepenuhnya dari tekanan jual besar-besaran yang terjadi pada April akibat perang dagang global yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump.

Investor kini bertaruh bahwa Washington akan mencapai kesepakatan untuk mencabut tarif tinggi yang dikhawatirkan para ekonom dapat mendorong inflasi harga konsumen.

“Orang-orang berpikir akan ada kesepakatan, jadi mereka mulai masuk lebih dulu dan enggan mengambil posisi jual. Saya menyebutnya sebagai ‘antisipasi kesepakatan’,” ujar Dennis Dick, trader di Triple D Trading.

Saham Cisco Systems melonjak hampir 5% setelah perusahaan jaringan tersebut menaikkan proyeksi tahunan mereka, seiring lonjakan permintaan yang didorong oleh booming kecerdasan buatan (AI).

Sementara itu, UnitedHealth Group anjlok 11% ke level terendah dalam lima tahun setelah Wall Street Journal melaporkan bahwa Departemen Kehakiman AS sedang melakukan penyelidikan pidana terhadap dugaan penipuan Medicare oleh perusahaan.

UnitedHealth menyatakan bahwa mereka belum menerima pemberitahuan resmi mengenai penyelidikan tersebut dari jaksa federal.

Saham Walmart melemah 0,5% setelah raksasa ritel itu memperingatkan akan mulai menaikkan harga pada akhir bulan ini akibat tarif, meskipun penjualan kuartal pertama di AS masih melampaui ekspektasi.

Sementara itu, Amazon yang juga terpapar signifikan terhadap tarif impor AS, turun 2,4% dan membebani indeks Nasdaq.

Walmart tidak memberikan proyeksi laba kuartal kedua, mengikuti jejak sejumlah perusahaan lain lintas sektor yang telah menyesuaikan atau menarik panduan keuangan mereka karena ketidakpastian akibat kebijakan tarif.

Sebelumnya pada hari yang sama, data menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel AS melambat pada April.

Sementara laporan terpisah menunjukkan harga produsen secara tak terduga menurun. Ini melanjutkan tren data inflasi konsumen yang cenderung jinak pada awal pekan.

“Kami masih menunggu lonjakan inflasi itu. Belum terjadi, tapi kami tetap menantikan,” kata John Augustine, Chief Investment Officer di Huntington National Bank.

 

 

 

Negosiasi Nuklir AS-Iran: Trump Klaim Kesepakatan Kian Dekat

 

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada hari Kamis menyatakan bahwa AS sangat dekat untuk mengamankan kesepakatan nuklir dengan Iran.

Dalam kunjungannya di kawasan Teluk, Trump mengatakan bahwa Iran “secara garis besar” telah menyetujui syarat-syarat yang diajukan oleh pihak Amerika. Ia menyebutkan bahwa negosiasi berlangsung sangat serius dan bertujuan untuk mencapai perdamaian jangka panjang di kawasan yang selama ini penuh ketegangan.

Trump menegaskan ada dua pilihan dalam proses penyelesaian konflik ini, yakni langkah damai dan langkah kekerasan. “Kami mungkin akan mencapai kesepakatan tanpa harus mengambil jalur kekerasan,” ujar Trump, menandakan bahwa opsi militer masih ada namun diupayakan dihindari.

Kendala dan Perbedaan Pandangan dalam Negosiasi Nuklir

Meski optimisme Trump tinggi, sumber dari pihak Iran yang memahami jalannya negosiasi menyampaikan bahwa masih terdapat beberapa celah besar yang harus dijembatani oleh kedua pihak.

Pembicaraan terbaru antara negosiator Iran dan AS yang digelar di Oman pada Minggu lalu berakhir tanpa kesepakatan final, namun rencana pertemuan lanjutan telah dijadwalkan.

Pemerintah Iran secara terbuka menegaskan akan tetap melanjutkan program pengayaan uranium yang menjadi pusat sengketa.

Sementara itu, Washington meminta Iran untuk menghentikan aktivitas pengayaan tersebut, yang dianggap sebagai "garis merah" oleh Iran karena dianggap sebagai hak kedaulatan negara atas sumber daya nuklirnya.

Ketegangan Politik dan Retorika Balasan dari Iran

Presiden Iran dan pejabat tinggi negara tersebut merespons pernyataan Trump dengan kritik keras.

Masoud Pezeshkian, seorang pejabat senior Iran, menyebut Iran sebagai “kekuatan paling destruktif” di Timur Tengah versi Trump, dan menuding Amerika Serikat sebagai penyebab utama ketidakstabilan dan konflik di kawasan tersebut.

Pezeshkian juga menuduh Trump menggunakan pendekatan sanksi dan ancaman untuk melemahkan Iran serta menciptakan ketegangan internal, mempertegas bahwa retorika politik masih menjadi hambatan besar dalam dialog kedua negara.

Isu Inti: Pengayaan Uranium dan Sanksi Ekonomi

Dalam negosiasi, salah satu isu krusial adalah pengayaan uranium. Iran menegaskan tidak akan menyerah pada permintaan untuk menghentikan pengayaan, namun menunjukkan kesediaan untuk menurunkan kadar pengayaan uranium yang selama ini diproduksi.

Mereka juga siap mengurangi jumlah uranium yang sangat diperkaya (highly enriched uranium) yang disimpan, tetapi dengan ketentuan bahwa jumlahnya tidak boleh lebih rendah dari batas yang disepakati dalam perjanjian nuklir 2015, yang kemudian ditinggalkan oleh pemerintahan Trump.

Sumber dari Iran menegaskan bahwa walau mereka siap memberikan sejumlah konsesi, masalah utama yang menghambat adalah ketidaksiapan Amerika Serikat untuk mencabut sanksi ekonomi utama secara substansial sebagai imbalan. Sanksi-sanksi tersebut telah sangat menekan perekonomian Iran dalam beberapa tahun terakhir.

Perbedaan Pandangan Mengenai Pengelolaan Uranium

Selain itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai cara dan tujuan pengurangan uranium yang sangat diperkaya. Iran mengusulkan agar proses pengurangan dilakukan secara bertahap, sementara AS menolak metode tersebut.

Kontroversi juga muncul terkait tujuan akhir dari pengiriman uranium tersebut, di mana kedua pihak belum mencapai kesepakatan.

 

Sanksi Dicabut Trump, Suriah Kini Jadi Incaran Investor Global

 

Penghapusan sanksi Amerika Serikat terhadap Suriah diprediksi akan menandai babak baru bagi ekonomi Suriah yang hancur akibat perang selama 13 tahun.

Langkah ini membuka peluang besar bagi masuknya investasi dari diaspora Suriah, Turki, serta negara-negara Teluk yang mendukung pemerintahan baru di Damaskus. Para pelaku bisnis, menteri keuangan Suriah, dan analis pasar sepakat bahwa aliran modal akan meningkat signifikan setelah sanksi dicabut, meskipun tantangan politik dan keamanan masih tetap menghantui.

Investor Diaspora Suriah dan Pengusaha Internasional Optimistis

Pengusaha miliarder Suriah, Ghassan Aboud, yang bermukim di Uni Emirat Arab, mengungkapkan rencananya untuk berinvestasi kembali di tanah airnya. Ia menilai penghapusan sanksi menghilangkan risiko hukum yang selama ini membuat para investor ragu untuk beroperasi di Suriah.

Aboud mengajukan rencana multi-miliar dolar untuk pengembangan seni, budaya, dan pendidikan Suriah sebagai bagian dari upaya pemulihan nasional.

Menurutnya, pasar Suriah kini sangat potensial dan siap menerima investasi besar, karena "setiap benih yang ditanam hari ini akan berbuah hasil yang menguntungkan di masa depan." Sentimen serupa juga muncul dari pengusaha Suriah lainnya yang memiliki jaringan bisnis internasional.

Transformasi Ekonomi Menuju Pasar Bebas

Penghapusan sanksi ini akan mengakselerasi pergeseran model ekonomi Suriah dari yang sebelumnya sangat dikontrol negara menjadi sistem pasar bebas yang didorong oleh pemerintahan baru.

Sejak runtuhnya pemerintahan Bashar al-Assad pada Desember lalu, rezim baru yang dipimpin Presiden sementara Ahmed al-Sharaa berupaya menerapkan reformasi ekonomi demi membuka peluang investasi domestik dan asing.

Dukungan Negara Teluk dan Turki untuk Kebangkitan Ekonomi Suriah

Arab Saudi dan Turki, sebagai pendukung utama pemerintahan Sharaa, telah mendesak Amerika Serikat untuk mencabut sanksi tersebut.

Menteri Luar Negeri Saudi menyatakan bahwa penghapusan sanksi akan membuka berbagai peluang investasi besar, terutama dalam sektor konstruksi dan infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali negara yang luluh lantak.

Sharaa menyambut baik keputusan ini dalam sebuah pidato televisi, menegaskan kesiapan Suriah untuk memperkuat iklim investasi dan mengundang semua investor, baik dari dalam negeri, diaspora, maupun negara-negara Arab dan Turki, untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Tantangan Mendalam yang Masih Menghadang

Meski penghapusan sanksi membawa harapan besar, Suriah masih menghadapi ketidakstabilan keamanan yang signifikan.

Beberapa kelompok bersenjata belum menyerahkan senjata mereka, tuntutan otonomi dari komunitas Kurdi menimbulkan ketegangan, dan kekerasan sektarian membuat sebagian minoritas skeptis terhadap pemerintahan baru meski telah ada janji perlindungan dan pemerintahan inklusif.

Israel yang menentang rezim Sharaa, terus melakukan serangan udara yang membatasi keamanan dan stabilitas kawasan.

Reaksi Positif Pasar dan Penguatan Mata Uang Suriah

Pengumuman Presiden Trump telah memberikan dampak langsung pada pasar keuangan Suriah. Nilai tukar pound Suriah menguat dari sekitar 12.600 menjadi kisaran 9.000–9.500 terhadap dolar AS dalam waktu singkat, menandakan kepercayaan investor yang mulai bangkit.

Menteri Keuangan Suriah, Yisr Barnieh, menyatakan bahwa investor dari Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Arab Saudi telah aktif melakukan kontak dan menunjukkan minat yang tinggi untuk menanam modal di sektor-sektor utama seperti pertanian, minyak, pariwisata, infrastruktur, dan transportasi.

Ia mengajak seluruh investor untuk memanfaatkan momentum ini dan berkontribusi pada pembangunan kembali Suriah.

Peluang untuk Perusahaan dan Bank Turki

Perusahaan dan bank Turki diperkirakan akan meraih keuntungan signifikan dari penghapusan sanksi ini. Turki yang sebelumnya banyak mendukung oposisi Suriah selama konflik, kini memiliki kesempatan untuk memimpin proyek rekonstruksi yang masif.

CEO BBVA, Onur Genc, menegaskan bahwa perusahaan dan perbankan Turki siap mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan di Suriah, memperkuat hubungan ekonomi kedua negara di masa depan.

Pandangan Ahli dan Investor Regional

Timothy Ash, analis senior RBC BlueBay Asset Management, menyebut keputusan AS ini sebagai peluang transformatif tidak hanya bagi Suriah tetapi juga kawasan sekitarnya.

Demikian pula, investor Lebanon, Imad al-Khatib, mempercepat rencananya untuk membangun fasilitas pengelolaan limbah senilai 200 juta dolar di Damaskus, yang merupakan langkah awal dari investasi lebih besar ke Suriah.

 

 

Qatar Siap Investasi Rp165,5 triliun di Pangkalan Militer AS Terbesar di Timur Tengah

 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pada Kamis bahwa Qatar akan menginvestasikan dana sebesar US$ 10 miliar (sekitar Rp 165,5 triliun) dalam beberapa tahun mendatang untuk pengembangan Pangkalan Udara Al Udeid, yang terletak di barat daya ibu kota Doha.

Pangkalan ini merupakan fasilitas militer terbesar AS di wilayah Timur Tengah dan memiliki peranan strategis bagi operasi militer di kawasan.

Dalam pidatonya kepada pasukan AS di pangkalan tersebut, Trump juga menyatakan bahwa kesepakatan pembelian alat pertahanan oleh Qatar yang ditandatangani pada Rabu mencapai nilai sebesar US$ 42 miliar (sekitar Rp 695,3 triliun). Investasi ini menegaskan posisi Qatar sebagai mitra utama Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas keamanan regional.

Peran Strategis Uni Emirat Arab dalam Kompetisi Global Kecerdasan Buatan

Setelah kunjungannya ke Qatar, Presiden Trump dijadwalkan melanjutkan perjalanan ke Uni Emirat Arab (UEA), di mana para pemimpin negara tersebut tengah berupaya menjadikan UEA sebagai pusat global dalam teknologi kecerdasan buatan (AI).

Amerika Serikat telah menandatangani kesepakatan awal dengan UEA yang memungkinkan negara tersebut mengimpor 500.000 chip AI paling canggih produksi Nvidia per tahun, mulai tahun ini.

Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan pusat data (data center) di UEA yang sangat penting untuk pengembangan model-model kecerdasan buatan. Namun, beberapa kalangan di pemerintahan AS menyuarakan kekhawatiran terkait keamanan nasional, sehingga persyaratan kesepakatan tersebut masih berpotensi mengalami perubahan.

Deretan Kesepakatan Bisnis dan Diplomasi Selama Kunjungan ke Teluk

Kunjungan empat hari Presiden Trump ke wilayah Teluk ini diwarnai dengan penandatanganan sejumlah kesepakatan bisnis besar. Salah satunya adalah perjanjian Qatar Airways untuk membeli hingga 210 pesawat Boeing widebody.

Selain itu, Saudi Arabia berkomitmen untuk menginvestasikan sekitar US$ 600 miliar (sekitar Rp 9.933 triliun) di Amerika Serikat, serta transaksi penjualan senjata AS ke kerajaan tersebut senilai US$ 142 miliar ( sekitar Rp 2.350 triliun)

Selain aspek ekonomi, kunjungan ini juga menghidupkan kembali aktivitas diplomasi. Trump secara mengejutkan mengumumkan pada Selasa bahwa Amerika Serikat akan mencabut sanksi yang telah lama diberlakukan terhadap Suriah.

Ia kemudian bertemu dengan Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa dan mendorong pembentukan hubungan diplomatik antara Suriah dan Israel, yang selama ini menjadi musuh lama.

Fokus Kecerdasan Buatan di Abu Dhabi dan Implikasi Keamanan Nasional AS

Dalam pertemuannya di Abu Dhabi, Presiden Trump dijadwalkan bertemu dengan Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan dan pemimpin lainnya. Fokus utama pada segmen terakhir kunjungannya ini diperkirakan adalah penguatan kerja sama di bidang kecerdasan buatan.

Di masa pemerintahan sebelumnya, Presiden Joe Biden menerapkan pengawasan ketat terhadap ekspor chip AI AS ke wilayah Timur Tengah, khawatir teknologi tersebut dapat dialihkan ke China dan memperkuat kapasitas militer Beijing.

Namun, Trump berusaha membuka peluang baru dengan memperlonggar aturan dan mendorong pengembangan teknologi AI di negara-negara Teluk, yang jika berhasil, akan menjadikan kawasan ini sebagai pusat kekuatan ketiga dalam persaingan global kecerdasan buatan, setelah Amerika Serikat dan China.

Sebelumnya, Trump sempat mempertimbangkan kemungkinan melakukan perjalanan singkat ke Turki untuk bergabung dalam pembicaraan Rusia-Ukraina sebelum kembali ke Washington. Namun, pejabat AS menyatakan pada Rabu bahwa kunjungan tersebut batal dilaksanakan.

 

 

Citra Satelit Ungkap Korut dan Rusia Bangun Jembatan Penghubung, Ada Apa di Baliknya?

 

Rusia resmi memulai pembangunan jembatan jalan pertama menuju Korea Utara yang melintasi Sungai Tumen, menandai penguatan hubungan bilateral antara Moskow dan Pyongyang.

Proyek ini merupakan yang pertama dalam sejarah yang menghubungkan kedua negara melalui jalur darat bagi kendaraan bermotor, menandai pergeseran besar dalam dinamika geopolitik regional Asia Timur.

Perdana Menteri Rusia, Mikhail Mishustin, menyebut pembangunan jembatan ini sebagai "tonggak signifikan" dalam hubungan kedua negara saat menghadiri seremoni peletakan batu pertama melalui konferensi video, bersama rekannya dari Korea Utara, Pak Thae Song.

Spesifikasi Jembatan Tumen: Proyek Infrastruktur Bernilai Lebih dari US$111 Juta

Jembatan ini akan membentang sepanjang 4,7 kilometer, termasuk jalan pendekat di kedua sisi. Panjang fisik jembatan mencapai 1 km dan memiliki lebar 7 meter, cukup untuk dua jalur lalu lintas kendaraan. Di wilayah Rusia, jalan pendekat sepanjang 424 meter akan dibangun, sementara sisi Korea Utara mencakup 581 meter.

Berdasarkan dekrit Perdana Menteri Rusia dari Februari 2025, nilai proyek ini melebihi US$111 juta, menjadikannya salah satu proyek infrastruktur paling ambisius antara dua negara yang selama ini relatif terisolasi dalam tatanan global.

Menurut pernyataan resmi, jembatan ini dirancang untuk mendukung pergerakan sekitar 300 kendaraan dan 2.850 orang per hari, berpotensi membuka jalur baru bagi pariwisata, perdagangan lintas batas, dan mobilitas warga.

Aliansi Militer Rusia-Korea Utara: Dari Logistik ke Kolaborasi Tempur

Pembangunan jembatan ini terjadi di tengah peningkatan dukungan militer Korea Utara terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Pyongyang telah mengirimkan sekitar 15.000 tentara ke Rusia, di mana menurut Badan Intelijen Nasional Korea Selatan (NIS), 4.700 di antaranya telah gugur atau terluka dalam konflik, terutama di wilayah perbatasan Kursk yang direbut kembali oleh Ukraina tahun lalu.

Sebagai imbalan atas dukungan ini, Rusia diduga telah memasok Korea Utara dengan rudal pertahanan udara, peralatan perang elektronik, drone, serta teknologi peluncuran satelit mata-mata, mempererat ikatan strategis dan teknologi antara keduanya.

Menurut Institute for the Study of War, jembatan ini tidak hanya akan memperkuat hubungan sipil, tetapi juga akan digunakan untuk transportasi material militer, memperkuat kerjasama logistik antara dua negara yang sama-sama dikenai sanksi internasional.

Jaringan Transportasi Rusia-Korea Utara: Dari Rel ke Jalan Raya

Sebelum proyek ini, satu-satunya koneksi fisik antara Rusia dan Korea Utara adalah jembatan rel di atas Sungai Tumen. Kesepakatan pembangunan jembatan jalan disepakati pada Juni 2024, dan kini resmi direalisasikan, mengubah lanskap infrastruktur lintas batas Asia Timur Laut.

Dengan adanya dua jalur utama – rel dan jalan raya – antara Rusia dan Korea Utara, kolaborasi antara kedua negara diperkirakan akan semakin intensif, mencakup sektor energi, militer, logistik, dan komunikasi strategis.

Simbol Diplomasi Baru di Asia Timur Laut

Peletakan batu pertama jembatan ini menjadi simbol diplomatik penting, terutama ketika banyak negara di dunia mengasingkan Pyongyang karena pelanggaran hak asasi manusia dan program nuklirnya. Sementara itu, Rusia menghadapi isolasi internasional akibat invasinya ke Ukraina.

Dalam pidatonya, Mishustin menyatakan bahwa jembatan ini merupakan “dasar yang dapat diandalkan bagi kerja sama yang lebih erat” dan “jalan menuju dialog terbuka dan produktif.” Sedangkan Pak Thae Song menyebut proyek ini sebagai “monumen sejarah dalam hubungan bilateral.”

Reaksi Global: Kekhawatiran atas Penguatan Aliansi Otoriter

Peningkatan kolaborasi antara dua rezim otoriter ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan komunitas internasional. Amerika Serikat dan sekutunya menilai bahwa pembangunan jembatan dan kerjasama militer yang menyertainya berpotensi mengganggu stabilitas kawasan, khususnya di Semenanjung Korea dan Ukraina.

Pengamat juga menyoroti bahwa jembatan ini bisa digunakan untuk mempercepat pengiriman senjata dan amunisi dari Korea Utara ke Rusia, melanggar berbagai sanksi PBB yang melarang ekspor senjata dari Pyongyang.

 

 

 

 

 

Trump Desak Apple Hentikan Produksi di India, Minta Fokus ke AS

 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan pernyataan kontroversial yang berpotensi memicu ketegangan dalam hubungan dagang global.

Dalam kunjungannya ke Qatar, Trump menyatakan bahwa dirinya telah meminta CEO Apple, Tim Cook, untuk menghentikan pembangunan pabrik di India. Menurut Trump, Apple “membangun di mana-mana di India,” dan ia secara tegas menyatakan, “Saya tidak ingin kalian membangun di India.”

Pernyataan ini secara langsung menargetkan rencana Apple untuk mendiversifikasi rantai pasok manufakturnya di luar Tiongkok — sebuah langkah strategis yang dilakukan Apple sejak pandemi COVID-19 dan meningkatnya gesekan geopolitik antara Washington dan Beijing.

Dorongan Produksi Dalam Negeri: Apple Diminta Tingkatkan Produksi di AS

Trump menyebutkan bahwa hasil dari percakapan tersebut dengan Tim Cook adalah bahwa Apple akan "meningkatkan produksi mereka di Amerika Serikat."

Hal ini menandakan dorongan kuat dari pemerintahan Trump untuk memulihkan manufaktur domestik AS, yang selama bertahun-tahun mengalami penurunan akibat globalisasi dan relokasi produksi ke negara-negara dengan biaya lebih rendah.

Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan serius terkait kelangsungan rencana Apple yang ingin menjadikan India sebagai pusat produksi iPhone untuk pasar global, termasuk pasar domestik Amerika.

India: Alternatif Tiongkok yang Kini Dihadang Washington

Apple dan mitra manufakturnya, termasuk Foxconn Technology Group dan Tata Group, telah meningkatkan kapasitas produksi mereka di India secara signifikan.

Pabrik utama Foxconn di India Selatan saat ini merakit sebagian besar iPhone yang diekspor ke pasar global, sementara Tata Electronics, yang mengambil alih bisnis Wistron dan menjalankan operasi Pegatron, juga menjadi bagian penting dari rantai pasok Apple.

Langkah ini dipercepat setelah serangkaian kebijakan lockdown ekstrem di Tiongkok mengganggu produksi iPhone dan memperjelas risiko ketergantungan tunggal pada satu negara.

Di sisi lain, kebijakan tarif perdagangan yang diperkenalkan oleh Trump pada masa jabatan pertamanya serta memburuknya hubungan AS–Tiongkok memperkuat kebutuhan Apple untuk mencari alternatif baru. Namun dengan tekanan baru dari Gedung Putih, rencana ekspansi Apple di India kini berada dalam ketidakpastian.

 

 

Kejutan Besar! India Tawarkan Perdagangan Bebas Tarif Produk AS, Trump Bilang Begini

 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa India telah menawarkan kesepakatan perdagangan yang menghapus seluruh tarif atas produk-produk Amerika.

Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah pertemuan bisnis di Doha, Qatar, dan menjadi titik terang dalam upaya penyelesaian kesepakatan dagang bilateral antara dua ekonomi besar dunia.

Trump menyebutkan bahwa India bersedia "secara harfiah tidak mengenakan tarif apa pun" terhadap barang-barang buatan Amerika Serikat, sebuah langkah yang dianggap monumental mengingat India dikenal sebagai salah satu negara dengan tarif impor tertinggi di dunia.

Penangguhan Tarif oleh Trump dan Tenggat 90 Hari untuk Kesepakatan

India tengah berupaya menyelesaikan kesepakatan perdagangan dengan Washington dalam kurun waktu 90 hari, sesuai dengan jeda penangguhan tarif yang diumumkan oleh Trump pada 9 April 2025.

Langkah ini memberikan ruang diplomatik bagi kedua negara untuk merancang kerangka kerja dagang yang saling menguntungkan, sekaligus menghindari konflik dagang yang lebih luas.

Menurut laporan Reuters, India telah menawarkan penghapusan tarif hingga 60% dari seluruh lini tarif dalam fase pertama negosiasi, serta akses preferensial hingga 90% terhadap barang-barang Amerika yang diimpor oleh India.

Indeks Saham India Naik Tertinggi dalam Tujuh Bulan

Komentar Trump mengenai potensi kesepakatan dagang ini langsung berdampak positif terhadap pasar keuangan India. Indeks saham utama India melonjak ke posisi tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, mencerminkan optimisme pelaku pasar terhadap terbukanya peluang investasi dan peningkatan perdagangan bilateral.

Meskipun demikian, Kementerian Perdagangan India belum memberikan komentar resmi terkait tawaran kesepakatan tersebut.

Trump Kecam Rencana Investasi Apple di India

Dalam pernyataan yang sama, Trump juga mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap rencana Apple Inc. untuk memperluas operasi produksinya di India. Ia mengatakan telah menyampaikan langsung kepada CEO Apple, Tim Cook, bahwa Amerika Serikat menginginkan Apple membangun fasilitas produksinya di dalam negeri, bukan di India.

“Tim, kami sudah sangat baik terhadapmu, kami biarkan kamu membangun pabrik-pabrik di Tiongkok selama bertahun-tahun. Kami tidak tertarik jika kamu ingin membangun di India. India bisa mengurus dirinya sendiri. Mereka sudah sangat baik,” ujar Trump mengutip dirinya sendiri dalam pertemuan tersebut.

Ekspansi Apple di India sebagai Respons atas Ancaman Tarif Tiongkok

Apple telah mempercepat pemindahan lini produksinya ke India sebagai upaya mitigasi atas potensi kenaikan tarif terhadap produk-produk buatan Tiongkok. Pada bulan Maret 2025, dua pemasok utama Apple di India—Foxconn dan Tata—telah mengapalkan iPhone senilai hampir US$ 2 miliar ke Amerika Serikat, mencetak rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah.

India sendiri, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, aktif mempromosikan negara itu sebagai pusat manufaktur smartphone global. Dukungan kebijakan dan insentif telah mendorong rantai pasokan Apple untuk semakin mengandalkan India sebagai basis produksi.

Ketimpangan Neraca Perdagangan dan Posisi Strategis India

Amerika Serikat merupakan mitra dagang terbesar India, dengan total nilai perdagangan bilateral mencapai sekitar US$ 129 miliar pada tahun 2024. Namun, neraca perdagangan tersebut masih menunjukkan surplus besar di pihak India, yang mencatatkan surplus senilai US$ 45,7 miliar terhadap AS.

Kondisi ini telah memicu kritik dari Trump, yang dalam berbagai kesempatan menyebut India sebagai "penyalahguna tarif" karena kebijakan impornya yang sangat protektif.

Untuk mempercepat proses perundingan, Menteri Perdagangan India Piyush Goyal dijadwalkan memimpin delegasi resmi ke Amerika Serikat mulai 16 Mei 2025.

 

Sandera Bebas tanpa Netanyahu, Survei Israel: 68,9 Persen Malah Dukung Trump Akhiri Perang di Gaza

 

Sebuah survei yang melibatkan hampir seribu pemuda di Israel menjadi perhatian publik. Hasilnya adalah kebanyakan mereka mengapresiasi Presiden Amerika Donald Trump, bukan Perdana Menteri Netanyahu, yang telah berhasil membebaskan sandera Idan Alexander.

Hasil survei juga menunjukkan, 61 persen warga Israel mendukung normalisasi hubungan dengan Arab Saudi dan perluasan Kesepakatan Abraham pada tahun 2025, menurut jajak pendapat yang diterbitkan Selasa, bertepatan dengan tur Timur Tengah pertama Presiden AS Donald Trump.

Survei yang dilakukan oleh Ipanel atas nama Koalisi Keamanan Regional menemukan bahwa hanya 4,7 persen responden yang menentang normalisasi Saudi. Sementara 33,9 persen mengatakan mereka tidak mendukung atau menentang langkah tersebut.

Sebagaimana diberitakan Times of Israel, Survei tersebut mengukur sikap publik Israel terhadap diplomasi regional, perang di Gaza, dan potensi inisiatif yang dipimpin AS berdasarkan sampel representatif dari 954 orang dewasa Israel, termasuk orang Yahudi dan Arab.

Jajak pendapat tersebut dirilis saat Trump memulai perjalanan empat hari ke Timur Tengah, dimulai di Arab Saudi sebelum melanjutkan perjalanan ke Uni Emirat Arab dan Qatar. Berbicara di sebuah pertemuan puncak investasi di Riyadh, presiden mengatakan pada hari Selasa bahwa merupakan "impiannya" agar Arab Saudi bergabung dengan Perjanjian Abraham, meskipun ia mengakui bahwa Riyadh akan melakukannya pada waktunya sendiri.

“Merupakan harapan, keinginan, dan bahkan impian saya yang besar bahwa Arab Saudi… akan segera bergabung dengan Perjanjian Abraham,” katanya.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa banyak warga Israel yang memiliki sentimen serupa. Ketika ditanya apakah normalisasi hubungan dengan Arab Saudi akan memperkuat keamanan, ekonomi, dan posisi regional Israel, serta melemahkan Iran, 67 persen responden mengatakan hal itu akan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebanyak 16 persen lainnya mengatakan hal itu akan memberikan kontribusi yang kecil atau tidak sama sekali, sementara 17,1 persen mengatakan mereka tidak tahu.

Dukungan terhadap normalisasi juga konsisten di semua lini politik. Di antara warga Israel yang memilih partai-partai dalam koalisi pemerintah, 60 persen mengatakan mereka mendukung normalisasi (dibandingkan dengan 61 persen dari semua responden), dan 65 persen mengatakan normalisasi akan memberikan kontribusi signifikan terhadap kepentingan strategis Israel (dibandingkan dengan 67 persen secara keseluruhan).

Jajak pendapat tersebut juga membahas dampak perang Israel yang sedang berlangsung di Gaza terhadap hubungan dengan Arab Saudi dan sekitarnya. Mayoritas — 53 persen — mengatakan bahwa menduduki dan menguasai Jalur Gaza akan sedikit atau sangat merugikan peluang tercapainya kesepakatan dengan Arab Saudi dan bekerja sama dengan negara-negara moderat di kawasan tersebut. Hanya 12,8 persen yang mengatakan hal itu tidak akan merugikan upaya tersebut, sementara 34,3 persen mengatakan hal itu tidak akan membantu maupun menghalanginya.

Mayoritas responden — 68,9 persen — mengatakan mereka akan mendukung inisiatif politik regional yang dipimpin Trump yang mencakup pemulangan semua sandera Israel, diakhirinya perang di Gaza, normalisasi dengan Arab Saudi, jalan menuju pemisahan dari Palestina, dan pembentukan koalisi keamanan regional yang dipimpin AS untuk melawan Iran. Hanya 9,7 persen yang mengatakan tidak, sementara 21,5 persen bersikap netral.

Setelah jajak pendapat itu diterbitkan, Koalisi untuk Keamanan Regional — sebuah kelompok yang beranggotakan lebih dari 100 tokoh senior Israel dari sektor militer, politik, bisnis, dan akademis — meminta pemerintah untuk bertindak cepat.

“Survei ini berfungsi sebagai seruan untuk segera membangunkan pemerintah Israel: cukup dengan keengganan politik — bergabunglah dengan kereta regional sekarang,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

“Inilah saatnya untuk memanfaatkan kesempatan bersejarah yang diberikan oleh Presiden Trump untuk membentuk kembali Timur Tengah dan memperkuat keamanan Israel. Sejarah tidak akan memaafkan mereka yang melewatkan kesempatan untuk membawa stabilitas regional melalui aliansi strategis dan kemitraan yang berani yang sedang terbentuk saat ini. Rakyat Israel menginginkan ini — sekarang pemerintah harus mengatakan 'ya' kepada Presiden Trump. Jika kita terus ragu-ragu — kita akan tertinggal.”

Selama kunjungannya di Riyadh, Trump menandatangani sejumlah perjanjian kerja sama ekonomi dan bilateral dengan Arab Saudi.

Putra Mahkota Mohammed bin Salman, penguasa de facto Saudi, telah berkomitmen untuk memberikan sekitar 600 miliar dolar AS investasi baru Saudi di AS, tetapi Trump mengisyaratkan bahwa 1 triliun dolar AS akan lebih baik lagi. Perjanjian tersebut mencakup kesepakatan senjata besar-besaran yang digambarkan oleh Gedung Putih sebagai yang terbesar "dalam sejarah" antara kedua sekutu, senilai hampir 142 miliar dolar AS.

Trump juga mengumumkan pencabutan sanksi terhadap pemerintahan baru Suriah, setelah didesak oleh bin Salman dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Presiden AS selanjutnya akan melakukan perjalanan ke Qatar dan Uni Emirat Arab dalam lawatan pertamanya di Timur Tengah, namun tidak ke Israel.

Netanyahu ngambek, kurangi bantuan militer Amerika

Pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu mengisyaratkan keinginan untuk secara bertahap mengurangi bantuan militer dan keamanan dari Amerika Serikat, di tengah memanasnya hubungan dengan pemerintahan Presiden Donald Trump, demikian dilaporkan media lokal pada Senin (12/5).

“Saya rasa kita perlu membiasakan diri untuk lepas dari ketergantungan pada bantuan militer Amerika,” kata Netanyahu dalam pertemuan dengan Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset pada Minggu malam, seperti dikutip harian Israel Maariv.

Netanyahu menyebut bahwa Israel setiap tahunnya menerima dana sekitar 4 miliar dolar AS (sekitar Rp66 triliun) dari AS untuk pengadaan senjata. Namun, menurutnya, ada kemungkinan Israel akan mengikuti langkah serupa seperti saat menghentikan bantuan ekonomi dari AS.

Meski demikian, Netanyahu tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan di balik pernyataan mengejutkan itu, yang muncul di tengah memburuknya hubungannya dengan Presiden Trump.

Beredar pula laporan bahwa Trump telah memutus kontak langsung dengan Netanyahu karena merasa dimanipulasi.

Menurut media Israel, ketegangan antara Trump dan Netanyahu dipicu oleh perbedaan pandangan soal Iran, kelompok Houthi di Yaman, perang di Gaza, serta kebuntuan dalam upaya gencatan senjata di wilayah tersebut.

 

Bela Gaza, Pemilik Es Krim Ben & Jerry’s Ditangkap

 

Salah satu pendiri es krim Ben & Jerry’s dan enam orang lainnya ditangkap oleh aparat keamanan Amerika Serikat. Hal itu setelah mereka dianggap mengganggu sidang Senat Amerika Serikat untuk memprotes dukungan Washington terhadap perang Israel di Gaza.

Penangkapan Ben Cohen dan pengunjuk rasa lainnya pada Rabu terjadi ketika Menteri Kesehatan AS Robert F Kennedy Jr memberikan kesaksian kepada anggota parlemen mengenai perombakannya terhadap badan kesehatan federal.

 “Kongres AS membunuh anak-anak miskin di Gaza dengan membeli bom dan membayarnya dengan mengusir anak-anak dari Medicaid di AS,” kata Cohen saat dia dikawal oleh polisi dilansir Aljazirah.

Ketujuh orang tersebut ditangkap atas tuduhan “berkerumun, menghalangi atau tidak nyaman”, penyerangan terhadap petugas polisi atau menolak penangkapan, kata Kepolisian Capitol AS dalam sebuah pernyataan.

Polisi mengatakan Cohen hanya didakwa berkerumun, menghalangi atau tidak mengakomodasi, pelanggaran ringan yang dapat dihukum 90 hari penjara, denda 500 dolar AS, atau keduanya.

Cohen dan salah satu pendiri Ben & Jerry’s, Jerry Greenfield, terkenal karena aktivisme progresif mereka, termasuk penolakan terhadap tindakan Israel di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.

Dalam sebuah wawancara dengan mantan pembawa acara Fox News Tucker Carlson awal bulan ini, Cohen, yang merupakan seorang Yahudi, mengatakan AS memiliki “hubungan yang aneh” dengan Israel yang melibatkan Washington “memasok senjata untuk genosidanya”.

“Saat ini, apa artinya menjadi orang Amerika adalah bahwa kita adalah eksportir senjata terbesar di dunia, kita memiliki militer terbesar di dunia, kita mendukung pembantaian orang-orang di Gaza,” kata Cohen.

"Jika ada yang memprotes pembantaian warga di Gaza, kami akan menangkap mereka. Apa yang diperjuangkan negara kami?"

Pada tahun 2021, Ben & Jerry’s mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mengizinkan pemegang lisensinya di Israel untuk menjual es krimnya di Tepi Barat dan Gaza, dengan mengatakan bahwa hal tersebut “tidak sejalan dengan nilai-nilai kami”.

Seorang hakim AS pada tahun berikutnya menolak tawaran Ben & Jerry’s untuk memblokir penjualan setelah menemukan bahwa perusahaan tersebut gagal menunjukkan bahwa mereka akan mengalami kerugian yang tidak dapat diperbaiki.

Ben & Jerry’s, yang didirikan pada tahun 1978 di negara bagian Vermont, AS, dan perusahaan induknya, Unilever, kemudian menyelesaikan sengketa hukum mereka dengan persyaratan yang tidak diungkapkan.

Pada Maret, Ben & Jerry's mengajukan gugatan yang menuduh Unilever memecat CEO David Stever atas dukungannya terhadap “misi sosial” merek tersebut. Lebih dari 51.000 orang telah terbunuh di Gaza sejak Israel melancarkan perangnya, menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di negara tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share this Post