News Forex, Index & Komoditi ( Jumat, 2 Mei 2025 )
Harga Emas (XAU/USD) turun ke terendah dua minggu di dekat $3.235 selama awal perdagangan sesi Asia pada hari Jumat. Meredanya ketegangan perdagangan antara AS dan mitra-mitra dagangnya telah mengurangi permintaan safe-haven, membebani logam mulia ini.
Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan potensi kesepakatan perdagangan dengan India, Korea Selatan, dan Jepang, berusaha mengubah kebijakan tarifnya menjadi perjanjian perdagangan. Selain itu, media negara Tiongkok mengatakan pada Kamis malam bahwa AS telah menghubungi Tiongkok untuk memulai perundingan perdagangan mengenai tarif 145% Trump.
Dolar AS (USD) menguat karena perkembangan positif ini, yang membuat Emas kurang menarik bagi para pembeli mata uang lainnya. "Pasar melihat ketegangan perdagangan mereda dan kurang khawatir terhadap independensi The Fed, mengurangi permintaan aset-aset safe-haven untuk saat ini," kata analis UBS, Giovanni Staunovo.
Setelah data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal pertama yang lebih lemah dari yang diprakirakan yang dirilis pada hari Rabu, pasar kini memperhitungkan peluang yang lebih tinggi pada pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed) lebih lanjut, meskipun semuanya tergantung pada kesepakatan perdagangan. Hal ini, pada gilirannya, mungkin meningkatkan harga Emas yang tidak memberikan imbal hasil.
Laporan ketenagakerjaan AS bulan April akan menjadi sorotan pada hari Jumat karena mungkin mendorong The Fed untuk mulai memangkas suku bunga lebih cepat daripada yang diprakirakan. Jika laporan menunjukkan hasil yang lebih lemah, ini dapat membebani USD dan membatasi sisi bawah harga komoditas yang berdenominasi USD.
Harga Minyak Dunia Menguat, China Terbuka Lakukan Perundingan Dagang dengan AS
Harga minyak mentah kompak menguat di perdagangan awal pada pasar Asia setelah China menyatakan membuka pintu untuk perundingan dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini meningkatkan harapan akan adanya de-eskalasi dalam perang dagang yang sengit antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Jumat (2/5) pukul 09.00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2025 naik 38 sen atau 0,6% menjadi US$ 62,51 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juni 2025 naik 38 sen, atau 0,6% ke US$ 59,62 per barel.
Kementerian perdagangan China pada hari Jumat mengatakan baru-baru ini AS mengambil langkah-langkah untuk membuka dialog dengan Beijing dengan menyampaikan informasi melalui pihak-pihak terkait.
Kekhawatiran bahwa perang dagang yang lebih luas dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi dan menghambat permintaan minyak, tepat saat kelompok OPEC+ bersiap untuk meningkatkan produksi, telah membebani harga minyak dalam beberapa minggu terakhir.
Namun, sinyal potensi meredanya ketegangan perdagangan antara AS dan China, importir minyak mentah terbesar di dunia, mendukung sentimen terhadap minyak mentah.
Harga minyak juga didukung oleh ancaman dari Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan sanksi sekunder pada pembeli minyak Iran.
Ancaman tersebut menimbulkan kekhawatiran akan pasokan minyak mentah yang lebih ketat, kata analis bank ANZ dalam sebuah catatan.
Komentar Trump menyusul penundaan pembicaraan AS dengan Iran mengenai program nuklirnya. Sebelumnya, ia telah memulihkan kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran, yang mencakup upaya untuk mendorong ekspor minyak negara itu ke nol, untuk membantu mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir.
Pada sesi sebelumnya, harga minyak telah naik hampir 2% setelah pernyataan Trump, menghapus sebagian kerugian yang tercatat sebelumnya pada minggu ini karena ekspektasi pasokan OPEC+ yang lebih banyak akan masuk ke pasar.
Reuters pada hari Rabu melaporkan bahwa Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC+, telah memberi tahu sekutu dan pakar industri bahwa mereka tidak bersedia menopang harga minyak dengan pemangkasan pasokan lebih lanjut.
Beberapa anggota OPEC+ akan menyarankan kelompok tersebut untuk mempercepat kenaikan produksi pada bulan Juni untuk bulan kedua berturut-turut, Reuters sebelumnya melaporkan. Delapan negara OPEC+ akan bertemu pada tanggal 5 Mei untuk memutuskan rencana produksi bulan Juni
Bursa Asia Menguat, Didukung Harapan Negosiasi Dagang AS-China
Mayoritas Bursa Asia menguat pada perdagangan Jumat (2/5) pagi. Pukul 08.20 WIB, indeks Nikkei 225 naik 442,20 poin atau 1,21% ke 36.890,06, Hang Seng naik 73,10 poin atau 0,33% ke 22.192,51, Taiex naik 347,16 poin atau 1,72% ke 20.579,81, Kospi naik 0,53 poin atau 0,02% ke 2.557,54, ASX 200 naik 50,80 poion atau 09,62% ke 8.196,40, Straits Times naik 3,84 poin atau 0,06% ke 3.838,51 dan FTSE Malaysia turun 7,81 poin atau 0,46% ke 1.533,15.
Bursa Asia naik didukung sentimen kabar dari China yang mengatakan tengah mengevaluasi kemungkinan negosiasi perdagangan dengan AS, meningkatkan optimisme bahwa ketegangan tarif akan mereda.
Selain China, Kementerian Perdagangan Jepang juga mengatakan pihaknya sedang menilai kemungkinan negosiasi setelah pejabat senior AS berulang kali menyatakan kesediaan mereka untuk berunding.
Saham Jepang naik 1,2% didukung komentar positif dari kepala negosiator perdgangan Jepang.
"Ini adalah langkah yang bagus, tidak peduli pihak mana yang mengambil inisiatif," kata Steven Leung, Direktur Eksekutif UOB Kay Hian Hong Kong Ltd seperti dikutip dari Bloomberg.
"Seharusnya ada putaran short covering di pasar keuangan karena harapan searang meningkat untuk solusi kebuntuan saat ini."
Ini Pernyataan Mengejutkan Elon Musk Soal Ekonomi China Kalahkan AS dan Eropa
CEO Tesla Inc Elon Musk menarik perhatian pada hari Selasa (29/4/2025) dengan membagikan data ekonomi yang menunjukkan ekonomi Tiongkok telah jauh melampaui Amerika Serikat dan Uni Eropa jika diukur dengan paritas daya beli.
"Hal ini mengejutkan banyak orang," tulis Musk di X, mengutip data dari chatbot Grok milik xAI yang menunjukkan produk domestik bruto Tiongkok dalam istilah purchasing power parity (PPP) adalah sekitar US$ 35,29 triliun pada tahun 2025, dibandingkan dengan US$ 28,78 triliun untuk AS dan US$ 21,99 triliun untuk Uni Eropa.
Angka-angka ini menunjukkan ekonomi Tiongkok 1,23 kali lebih besar dari Amerika dan 1,60 kali lebih besar dari UE jika disesuaikan dengan daya beli domestik.
Melansir Benzinga dan Yahoo Finance, data terbaru Bank Dunia mendukung tren ini, yang menunjukkan Tiongkok sebagai ekonomi global terdepan dengan PDB yang disesuaikan dengan PPP sekitar US$ 34,66 triliun pada tahun 2023, dibandingkan dengan US$ 27,72 triliun untuk AS.
Menurut proyeksi Dana Moneter Internasional untuk tahun 2025, ekonomi Tiongkok tumbuh sebesar 4% dibandingkan dengan 1,8% untuk AS. Tiongkok diperkirakan akan menyumbang 19,68% dari PDB global berdasarkan PPP, sementara AS mewakili 14,75%.
Pernyataan Musk muncul sebagai tanggapan atas peringatan investor miliarder Ray Dalio tentang pengaruh ekonomi Amerika yang menurun.
Ketika Dalio menyatakan AS tetap menjadi konsumen dan debitur utama dunia, Musk membalas, "Tiongkok adalah konsumen barang manufaktur yang jauh lebih besar daripada Amerika Serikat. Tahun ini, konsumen Tiongkok akan membeli lebih banyak mobil daripada gabungan Amerika dan Eropa."
Bursa saham menyoroti pergeseran kekuatan ekonomi global seiring meningkatnya ketegangan perdagangan AS-Tiongkok.
Kenaikan tarif baru-baru ini yang melebihi 100% telah menyebabkan produsen Tiongkok menghentikan operasi dan mencari pasar alternatif, dengan Goldman Sachs menurunkan prakiraan pertumbuhan PDB Tiongkok menjadi 4,0% untuk tahun 2025.
Meskipun menghadapi tantangan ini, Tiongkok tetap "sangat yakin" dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi 5% untuk tahun 2025. Bahkan ketika ekonom seperti Torsten Slok dari Apollo Global Management memperingatkan tentang "peluang 90%" terjadinya resesi AS jika tarif saat ini terus berlanjut.
Tanggapi Tuduhan Trump, Tiongkok Duga COVID-19 Berasal dari AS
Tiongkok menegaskan kembali pernyataannya bahwa COVID-19 mungkin berasal dari Amerika Serikat.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah buku putih tentang tanggapan pandemi yang dirilis pada hari Rabu (30/4/2025), setelah pemerintahan Presiden Donald Trump menyalahkan kebocoran laboratorium di Tiongkok.
Reuters melaporkan, Gedung Putih meluncurkan situs web COVID-19 pada tanggal 18 April yang menyatakan bahwa virus corona berasal dari kebocoran laboratorium di Tiongkok. Pemerintahan Trump juga mengkritik mantan Presiden Joe Biden, mantan pejabat kesehatan tinggi AS Anthony Fauci, dan Organisasi Kesehatan Dunia.
Dalam buku putih tersebut, yang dirilis oleh kantor berita resmi Xinhua, Tiongkok menuduh AS mempolitisasi masalah asal-usul COVID-19.
Tiongkok mengutip gugatan hukum Missouri yang menghasilkan putusan sebesar US$ 24 miliar terhadap Tiongkok karena menimbun peralatan medis pelindung dan menutupi wabah tersebut.
"China berbagi informasi yang relevan dengan WHO dan komunitas internasional tepat waktu," kata buku putih tersebut.
Tiongkok juga menekankan bahwa studi bersama oleh WHO dan China telah menyimpulkan bahwa kebocoran laboratorium "sangat tidak mungkin".
"AS seharusnya tidak terus berpura-pura tuli dan bisu, tetapi harus menanggapi kekhawatiran yang sah dari komunitas internasional," kata buku putih tersebut.
"Bukti substansial menunjukkan COVID-19 mungkin muncul di Amerika Serikat lebih awal dari garis waktu yang diklaim secara resmi, dan lebih awal dari wabah di China," katanya.
CIA mengatakan pada bulan Januari bahwa pandemi itu lebih mungkin muncul dari laboratorium di China daripada dari alam, setelah badan tersebut selama bertahun-tahun mengatakan tidak dapat mencapai kesimpulan tentang masalah tersebut.
Dikatakan bahwa mereka memiliki "keyakinan rendah" pada penilaian barunya dan mencatat bahwa asal usul laboratorium dan asal usul alam tetap masuk akal.
Seorang pejabat di Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok mengatakan langkah selanjutnya dalam penelusuran asal-usul harus difokuskan pada AS, menurut Xinhua, yang mengutip pernyataan tentang buku putih tersebut.
AS Ingin Berunding Tarif dengan China, Trump Mengalah?
Amerika Serikat telah mendekati China untuk membicarakan perundingan mengenai tarif 145% yang ditetapkan Presiden Donald Trump.
Melansir Reuters, pernyataan tersebut diungkapkan oleh akun media sosial yang berafiliasi dengan media pemerintah China pada hari Kamis (1/5/2025), yang berpotensi menandakan keterbukaan Beijing terhadap perundingan.
"AS telah secara proaktif menghubungi China melalui berbagai saluran, dengan harapan dapat mengadakan diskusi mengenai masalah tarif," kata Yuyuan Tantian dalam sebuah unggahan yang dipublikasikan di akun media sosial resmi Weibo, mengutip sumber anonim.
Pejabat AS, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent dan penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett, juga menyatakan harapan akan kemajuan dalam meredakan ketegangan perdagangan.
Hassett mengatakan kepada CNBC bahwa telah terjadi "diskusi longgar di kedua pemerintahan" tentang tarif dan pelonggaran bea masuk oleh Tiongkok atas beberapa barang AS minggu lalu merupakan tanda kemajuan.
Beijing tidak melakukan banyak upaya untuk menahan amarahnya terhadap tarif, yang menurutnya sama saja dengan intimidasi. China juga menegaskan, tarif tidak dapat menghentikan kebangkitan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Sebaliknya, China mengarahkan amarahnya untuk menggalang kecaman publik dan global terhadap pembatasan impor dan tidak menunjukkan minat pada penangguhan tarif.
Meskipun demikian, selain memanfaatkan mesin propagandanya untuk membalas bea masuk, Tiongkok diam-diam telah membuat daftar produk buatan AS yang akan dikecualikan dari tarif balasan 125%, untuk meredakan dampak bea masuk. Ini termasuk obat-obatan tertentu, microchip, dan mesin jet.
Bessent tidak menyebutkan pembicaraan khusus selama wawancara dengan Fox Business Network. Tetapi dia mengatakan bahwa tarif tinggi sebesar 145% di pihak AS dan 125% di pihak Tiongkok perlu dikurangi agar negosiasi dapat dimulai.
"Saya yakin Tiongkok ingin mencapai kesepakatan. Dan seperti yang saya katakan, ini akan menjadi proses yang bertahap," kata Bessent.
Dia menambahkan, "Pertama, kita perlu mengurangi eskalasi, dan kemudian seiring berjalannya waktu, kita akan mulai berfokus pada kesepakatan perdagangan yang lebih besar."
Ia mengatakan bahwa salah satu langkah pertama adalah meninjau kembali kegagalan Tiongkok untuk memenuhi komitmen pembelian barang-barang Amerika yang dibuat sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan "Fase 1" Trump tahun 2020 yang mengakhiri perang dagang periode pertamanya dengan Beijing.
Kesepakatan itu mengharuskan Tiongkok untuk meningkatkan pembelian produk dan layanan manufaktur dan pertanian Amerika sebesar US$ 200 miliar per tahun selama dua tahun, tetapi pandemi COVID-19 melanda tepat setelah penandatanganannya.
Bessent juga mengatakan bahwa hambatan perdagangan non-tarif yang "berbahaya" dan pencurian kekayaan intelektual juga akan menjadi bagian dari negosiasi tarif dengan China.
"Semuanya ada di atas meja untuk hubungan ekonomi," tandasnya.
Tarif terlalu tinggi
Begitu tarif Trump mencapai 35%, tarif tersebut menjadi sangat tinggi bagi eksportir China.
Nomura Securities mengatakan bahwa sekitar 16 juta orang China dapat kehilangan lapangan pekerjaan mereka begitu efek berantai jangka panjang dari penurunan 50% ekspor China ke AS mulai terasa di ekonomi.
Bessent mengatakan tekanan itu ada pada Tiongkok karena negara itu lebih bergantung pada ekspor ke AS daripada sebaliknya.
"Mereka menjual kepada kita sekitar lima kali lebih banyak daripada yang kita jual kepada mereka. Jadi pabrik-pabrik mereka tutup saat kita berbicara," kata Bessent.
Dia menambahkan, "Kita memasuki musim liburan. Pesanan untuk itu sekarang sudah dilakukan. Jadi jika pesanan itu tidak dilakukan, itu bisa menjadi bencana bagi Tiongkok."
Namun, Beijing bersikeras akan berdiri dan melawan, daripada terburu-buru ke meja perundingan - dengan kementerian luar negeri China menegaskan bahwa menyerah pada tarif Trump sama saja dengan "minum racun".
"Sebelum AS mengambil tindakan substantif apa pun, Tiongkok tidak perlu terlibat dalam pembicaraan dengan AS," tambah posting dari Yuyuan Tantian, mengutip para ahli anonim. "Namun, jika AS ingin memulai kontak, tidak ada salahnya pada tahap ini bagi Tiongkok untuk terlibat."
Yuyuan Tantian bukanlah salah satu media pemerintah Tiongkok yang paling berwenang. Global Times, yang dimiliki oleh surat kabar Partai Komunis yang berkuasa, People's Daily, sering kali menjadi yang pertama melaporkan langkah Tiongkok selanjutnya dalam perselisihan perdagangan selama beberapa tahun terakhir.
Begini Reaksi Rusia Atas Kesepakatan Mineral AS yang Kontroversial
Pemerintah AS dan Ukraina memuji penandatanganan kesepakatan pembagian mineral yang kontroversial sebagai landasan peluncuran untuk kerja sama ekonomi bilateral yang ekspansif. Hal ini juga menjadi sinyal investasi jangka panjang Amerika di Ukraina.
Mengutip Good Morning America, perwakilan Amerika dan Ukraina menandatangani kesepakatan di Washington D.C., pada hari Rabu, setelah berbulan-bulan menjalani proses negosiasi yang menegangkan.
Presiden AS Donald Trump telah lama membingkai proposal tersebut sebagai cara untuk mendapatkan kembali bantuan senilai lebih dari US$ 100 miliar yang diberikan kepada Kyiv sejak Rusia melancarkan invasi tiga tahun lalu.
"Kemitraan ini memungkinkan Amerika Serikat untuk berinvestasi bersama Ukraina guna membuka aset pertumbuhan Ukraina, memobilisasi bakat, modal, dan standar tata kelola Amerika yang akan meningkatkan iklim investasi Ukraina dan mempercepat pemulihan ekonomi Ukraina," kata Menteri Keuangan Scott Bessent dalam sebuah video yang mengumumkan kesepakatan tersebut.
Rincian kesepakatan tersebut kemudian dibagikan secara daring oleh beberapa anggota parlemen Ukraina.
Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal diperkirakan akan menyampaikan kesepakatan tersebut kepada badan tersebut -- yang dikenal sebagai Rada -- pada hari Kamis.
Shmyhal minggu ini meninjau beberapa bagian dari kesepakatan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan merusak potensi Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Draf yang diterbitkan oleh anggota parlemen tidak menyertakan jaminan keamanan AS yang eksplisit -- yang telah lama menjadi salah satu tuntutan utama Kyiv.
"Namun, perjanjian tersebut menjamin pengiriman baru senjata Amerika, termasuk sistem pertahanan udara -- biayanya akan dikreditkan ke dana bersama," jelas Mykhailo Podolyak, penasihat Presiden Volodymyr Zelenskyy.
Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha mengatakan pada hari Kamis bahwa kesepakatan tersebut menandai tonggak penting dalam kemitraan strategis Ukraina-AS yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi dan keamanan Ukraina"
"Kesepakatan itu berarti Moskow telah kalah. Upaya Putin untuk menawarkan AS saham di kekayaan mineral Donbas yang diduduki telah gagal. Kami memperkuat aliansi, mengamankan sumber daya untuk melanjutkan perlawanan kami dan memaksa dunia untuk melihat Ukraina sebagai pemain yang setara," jelasnya.
"Singkatnya, hasil utama dari perjanjian ini adalah bahwa kekuatan terkemuka dunia telah menjadi investor bersama di Ukraina," tulis Podolyak.
Kesepakatan itu perlu diratifikasi oleh parlemen Ukraina, yang anggotanya pada hari Kamis menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk mengevaluasi perjanjian tersebut secara menyeluruh.
"Dilihat dari pernyataan perdana menteri, itu lebih baik daripada versi awal," kata Oleksandr Merezhko, seorang anggota parlemen yang mewakili partai Zelenskyy dan ketua komite urusan luar negeri parlemen, mengatakan kepada ABC News.
Anggota parlemen tersebut menyatakan masih terlalu dini untuk mengatakan apakah kesepakatan tersebut merupakan kemenangan bagi Kyiv dan Washington.
"Sepertinya Trump menekan kita dalam upaya untuk meraih kemenangan dalam 100 hari pertamanya menjabat," kata Merezhko. "Hal terpenting ada pada detailnya. Namun secara politik ada sisi positifnya. Pertama, kita telah memperbaiki hubungan dengan Trump yang menganggapnya sebagai kemenangan."
Tanggapan Rusia
Di Rusia, Dmitry Medvedev -- mantan presiden dan perdana menteri yang sekarang menjabat sebagai wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia yang baru -- melihat kesepakatan itu sebagai kekalahan bagi Kyiv.
"Trump telah menghancurkan rezim Kyiv dengan membayar bantuan Amerika dengan mineral," kata Medvedev di Telegram.
Dia menambahkan, "Sekarang mereka harus membayar perlengkapan militer dengan kekayaan nasional negara yang menghilang."
Bank Dunia: Lebih dari 75 Negara Berpotensi Gagal Bayar Utang Imbas Tarif Trump
Bank Dunia memperkirakan, kebijakan tarif perdagangan oleh Amerika Serikat (AS) akan meningkatkan ketidakpastian pada perdagangan, yang akhirnya memperkeruh peningkatan utang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Melansir dari Reuters Senin (28/4), Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill menyebut, separuh atau sekitar 75 negara dari 150 negara berkembang saat ini dalam kondisi gagal membayar utang.
Menurutnya tingkat keparahan ini mencapai dua kali lipat dari tahun 2024, bahkan bisa bertambah lebih lanjut bila pertumbuhan ekonomi melambat.
“Jika pertumbuhan global melambat, perdagangan melambat, lebih banyak negara dan suku bunga tetap tinggi, maka akan membuat banyak negara ini mengalami kesulitan utang, termasuk beberapa yang merupakan eksportir komoditas," kata Gill.
Gill menambahkan bahwa rasio pembayaran bunga utang bersih terhadap produk domestik bruto (PDB) kini mencapai 12% di negara berkembang, meningkat dari 7% pada 2014, dan kembali ke level krisis 1990-an.
Sementara itu, di negara-negara miskin, beban pembayaran utang kini mencapai 20% dari PDB, dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu yang mencapai 10%.
Dengan kondisi tersebut, negara-negara akan mengurangi pengeluaran untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan program-program lain yang dapat meningkatkan pembangunan.
Dalam kondisi yang sama, Gill memperkirakan kondisi suku bunga juga akan tetap tinggi, mengingat meningkatnya ekspektasi inflasi, yang berarti utang negara-negara dapat meningkat lebih jauh jika mereka perlu melunasi utang yang ada.
Ia menyarankan agar negara-negara berkembang untuk segera dan mendesak menegosiasikan perjanjian dengan AS guna menurunkan tarif perdagangan dari AS untuk negaranya, serta menghindari tarif AS yang tinggi, dan memperluas tarif yang lebih rendah ke negara-negara lain.
Menurutnya, upaya tersebut paling masuk akal di kondisi perekonomian saat ini, karena dengan tekanan AS yang berpotensi meredakan perlawanan domestik.
100 Hari Pertama Donald Trump: Mengguncang Tatanan Dunia dengan Kebijakan Ekstrem!
Dalam 100 hari pertama masa jabatan keduanya, Presiden Donald Trump telah mengguncang tatanan dunia dengan serangkaian langkah radikal yang lebih ekstrem dibandingkan periode pertamanya.
Perang tarif global, pengurangan bantuan luar negeri AS, kritik keras terhadap NATO, pendekatan akomodatif terhadap Rusia, serta wacana aneksasi Greenland dan wilayah asing lainnya mencerminkan visi kebijakan luar negeri "America First" yang semakin konfrontatif.
Pernyataan dari tokoh-tokoh senior seperti Elliott Abrams dan Dennis Ross menunjukkan betapa dalamnya kekhawatiran terhadap perubahan kebijakan ini, yang tidak hanya berdampak pada sekutu-sekutu Amerika Serikat, tetapi juga pada struktur hubungan internasional yang dibangun sejak akhir Perang Dunia II.
Perang Tarif Global: Dampak Ekonomi dan Ketidakpastian Pasar
Trump telah meluncurkan perang tarif yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap berbagai negara, mengklaim bahwa mitra dagang telah "merugikan" Amerika selama puluhan tahun.
Kebijakan ini telah mengguncang pasar keuangan global, melemahkan nilai tukar dolar AS, memicu kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, serta meningkatkan risiko resesi global.
Meskipun Trump menggambarkan tarif ini sebagai "obat" yang diperlukan, tujuannya tetap ambigu dan menyebabkan instabilitas ekonomi global.
Kebijakan Terhadap Rusia dan Ukraina: Pergeseran Arah dan Ancaman Terhadap NATO
Trump hampir sepenuhnya membalikkan kebijakan AS terhadap invasi Rusia di Ukraina, bahkan sempat terlibat adu argumen sengit dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
Sikapnya yang lebih ramah terhadap Moskow, serta tekanan agar Kyiv menyerahkan wilayahnya, telah membuat sekutu Eropa resah, melemahkan solidaritas NATO, dan memberikan Rusia ruang untuk memperluas pengaruhnya.
Pernyataan keras Trump terhadap NATO, yang ia anggap hanya "menumpang" pada kekuatan AS, semakin memperburuk ketegangan transatlantik.
Retorika Ekspansionis: Greenland, Panama, Kanada, dan Gaza
Trump telah menghidupkan kembali retorika ekspansionis yang jarang terdengar dari presiden modern AS. Wacana aneksasi Greenland sebagai bagian dari Amerika Serikat telah memicu kecaman dari Denmark. Ia juga menyatakan bahwa Kanada seharusnya menjadi negara bagian ke-51 dan mengancam untuk merebut kembali Terusan Panama.
Di Timur Tengah, Trump bahkan mengusulkan agar AS mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi kawasan wisata bergaya Riviera. Retorika ini memicu kecemasan bahwa prinsip kedaulatan negara, yang menjadi dasar hukum internasional modern, sedang dirusak oleh kekuatan utama dunia.
Reaksi Global: Adaptasi dan Penyesuaian
Di Eropa, Jerman dan Prancis meningkatkan anggaran pertahanan, mengurangi ketergantungan pada industri senjata AS, serta menyiapkan tarif balasan terhadap AS sambil memperdalam kerja sama ekonomi dengan Tiongkok.
Kanada berupaya memperkuat hubungan ekonomi dan keamanan dengan Eropa, mengurangi ketergantungan pada AS di tengah meningkatnya sentimen nasionalisme.
Di Asia Timur, Korea Selatan mempertimbangkan opsi pengembangan senjata nuklir sebagai jaminan pertahanan diri. Jepang terguncang oleh besarnya dampak tarif dan berupaya mengatur strategi baru menghadapi ketidakpastian kebijakan AS.
Tiongkok memposisikan dirinya sebagai alternatif bagi negara-negara yang merasa ditekan oleh pendekatan perdagangan AS. Beijing juga mencoba mengisi kekosongan bantuan kemanusiaan yang ditinggalkan Washington.
Krisis Legitimasi: Dunia Tanpa Kepemimpinan AS
Para analis memperingatkan bahwa tatanan dunia berbasis hukum internasional dan kerja sama multilateral yang dibangun dengan susah payah kini berada di ambang kehancuran.
Tindakan Trump membuka peluang bagi kekuatan lain, seperti Tiongkok dan Rusia, untuk memperluas pengaruh global mereka. Kredibilitas AS sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia juga mengalami kemunduran, menyebabkan sekutu-sekutu tradisional mempertimbangkan kembali aliansi strategis mereka.
Ketegangan Geopolitik Memanas, Belanja Militer Dunia 2024 Catat Rekor US$ 2,7 Triliun
Belanja militer dunia mencapai US$ 2,72 triliun pada tahun 2024, meningkat 9,4% dari tahun 2023. Kenaikan ini merupakan kenaikan tahunan paling tajam setidaknya sejak berakhirnya Perang Dingin, menurut laporan yang dirilis oleh lembaga think thank konflik terkemuka pada Senin (28/4).
Mengutip Reuters, Senin (28/4), data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan, meningatnya ketegangan geopolitik menyebabkan peningkatan belanja militer di semua kawasan dunia, dengan pertumbuhan yang sangat pesat di Eropa dan Timur Tengah.
"Lebih dari 100 negara di seluruh dunia meningkatkan anggaran militer mereka pada tahun 2024," kata SIPRI.
"Karena pemerintah semakin memprioritaskan keamanan militer, sering kali dengan mengorbankan bidang anggaran lainnya, dampak ekonomi dan sosial dapat berdampak signifikan pada masyarakat selama bertahun-tahun mendatang," katanya.
Perang di Ukraina dan keraguan atas komitmen AS terhadap aliansi NATO menyebabkan anggaran militer di Eropa (termasuk Rusia) meningkat sebesar 17%, mendorong anggaran militer Eropa melampaui tingkat yang tercatat pada akhir Perang Dingin.
Anggaran militer Rusia diperkirakan mencapai $149 miliar pada tahun 2024, meningkat 38% dari tahun 2023 dan dua kali lipat dari tahun 2015. Angka ini mewakili 7,1% dari PDB Rusia dan 19% dari seluruh anggaran pemerintah.
Total anggaran militer Ukraina tumbuh sebesar 2,9% hingga mencapai US$ 64,7 miliar, yang merupakan 43% dari anggaran Rusia. Dengan 34% dari PDB, Ukraina memiliki beban militer terbesar di antara negara mana pun pada tahun 2024.
"Ukraina saat ini mengalokasikan semua pendapatan pajaknya untuk militernya," kata SIPRI.
"Dalam ruang fiskal yang ketat seperti itu, akan menjadi tantangan bagi Ukraina untuk terus meningkatkan pengeluaran militernya."
Pengeluaran militer oleh AS meningkat sebesar 5,7% hingga mencapai US$ 997 miliar, yang merupakan 66% dari total pengeluaran NATO dan 37% dari pengeluaran militer dunia pada tahun 2024.
Kondisi yang Terburuk akibat Tarif Trump Belum Terjadi, Ini Prediksinya
Tarif Presiden AS Donald Trump telah mendatangkan malapetaka pada rantai pasokan dunia. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa hal itu dapat bertambah buruk.
Business Insider berbicara dengan sembilan peneliti rantai pasokan, orang dalam industri pelayaran, dan spesialis logistik tentang garis waktu kapan konsumen dapat memprediksi untuk melihat dampak paling signifikan dari kebijakan perdagangan agresif Trump, jika ia mempertahankan strateginya saat ini.
Mereka sepakat bahwa, dalam beberapa minggu mendatang, warga Amerika dapat mengharapkan gangguan besar pada harga dan ketersediaan barang. Misalnya saja, rak-rak toko mungkin lebih kosong, harga akan naik, dan beberapa produk akan habis lebih cepat daripada yang lain.
Dan jika keadaan terus berlanjut seperti yang terjadi saat ini, empat dari mereka mengatakan, pada akhir tahun, dampak tersebut dapat bertambah parah. Kondisi itu menyebabkan tingkat pengangguran domestik yang lebih tinggi, ketidakstabilan pasar global, dan meningkatnya ketegangan geopolitik.
Tarif pengiriman sudah turun
Pemesanan pengiriman barang melalui laut telah turun secara signifikan dalam beberapa minggu sejak tarif menyeluruh Trump mulai berlaku.
Meskipun pada tanggal 9 April, presiden menghentikan tarif yang lebih tinggi atas barang-barang dari banyak negara selama 90 hari, tarif dasar 10% untuk semua negara tetap berlaku, seperti halnya tarif 145% untuk barang-barang impor Tiongkok.
Berdasarkan data dari perusahaan logistik digital, Vizion, selama minggu pertama bulan April, setelah pengumuman tarif awal Trump pada tanggal 2 April, pemesanan peti kemas angkutan laut mengalami penurunan global yang tajam hampir 50%.
Secara khusus, impor ke AS turun 64% dibandingkan dengan minggu sebelumnya, termasuk impor dari Tiongkok ke AS, yang turun 36%. Ekspor dari AS juga turun 30%, menurut data Vizion.
Pada minggu-minggu berikutnya, penurunan tajam itu berlanjut dalam apa yang disebut Vizion sebagai "gelombang kejut tarif."
Untuk minggu tanggal 14 April, pemesanan peti kemas angkutan laut menunjukkan bahwa keseluruhan impor AS turun 12% dalam periode mingguan, dan impor ke AS dari Tiongkok turun 22% dalam periode mingguan.
"Ini masalah besar," kata Bob Ferrari, seorang eksekutif rantai pasokan dan direktur pelaksana Ferrari Consulting and Research Group, kepada Business Insider tentang perubahan volume pengiriman.
Dia menambahkan, "Ini memiliki banyak konsekuensi karena ini adalah sesuatu yang tidak dapat ditangani oleh sistem, dan bisnis tidak dapat menanganinya. Ini memiliki banyak implikasi yang luas."
Inventaris yang dimuat di awal mulai menipis
Sejumlah pakar rantai pasokan memberi tahu Business Insider, sebelum Trump menjabat, apalagi mengumumkan atau menerapkan rencana tarifnya, banyak perusahaan besar membawa inventaris produk tambahan ke AS dalam upaya untuk mengurangi dampak tarif potensial.
Trump menerapkan tarif pada negara-negara termasuk Meksiko, Kanada, dan China selama masa jabatan pertamanya dan menjadikan tarif sebagai bagian utama dari kampanye pemilihannya kembali.
"Saya akan mengatakan antara satu dan tiga bulan inventaris, mereka mencoba mendatangkannya lebih awal," kata Lisa Anderson, seorang pakar rantai pasokan dan presiden LMA Consulting.
Tetapi cadangan itu akan habis — dan segera.
"Dengan tarif terhadap Tiongkok saat ini sebesar 145%, banyak perusahaan terpaksa membatalkan pengiriman persediaan baru mereka dan berada dalam pola menunggu sambil menunggu jeda tarif Trump selama 90 hari untuk melihat perubahan apa yang akan terjadi selanjutnya sebelum melakukan pemesanan dalam jumlah besar," jelas Chris Tang, seorang profesor di University of California, Los Angeles.
Informasi saja, Tang merupakan pakar dalam manajemen rantai pasokan global dan dampak kebijakan regulasi.
"Saat ini, mereka membatalkan pesanan, jadi persediaan akan menipis," kata Tang tentang bisnis. "Dan begitu mereka menjual persediaan ini, maka harganya akan naik atau tidak ada produk."
Menurut data dari firma riset dan analisis rantai pasokan Sea Intelligence, pembatalan pemesanan pengiriman kontainer dari Asia ke kedua pantai AS selama beberapa minggu ke depan meningkat drastis, dalam apa yang disebut perusahaan sebagai skenario "cukup ekstrem".
Beberapa analis rantai pasokan memberi tahu Business Insider bahwa, dalam siklus bisnis normal, Juni hingga Agustus adalah saat impor barang-barang akhir tahun, seperti perlengkapan kembali ke sekolah, produk musim gugur, dan barang dagangan liburan, tiba di pelabuhan AS.
Namun, penurunan volume pengiriman dan peningkatan pembatalan pemesanan pengiriman yang sudah dialami industri menunjukkan bahwa siklus normal dapat terganggu secara signifikan, kata mereka.
"Mungkin ada kehabisan stok jangka pendek, terutama di ritel," Sean Henry, pendiri dan CEO perusahaan rintisan logistik Stord, memberi tahu Business Insider. "
Ryan Petersen, pendiri dan CEO Flexport, mengatakan kepada Business Insider bahwa jika Trump membuat kesepakatan untuk menurunkan tarif tepat waktu guna mengembalikan pemesanan pengiriman sebelum persediaan benar-benar habis, dampaknya terhadap konsumen akan minimal.
"Tetapi jika tidak ada kesepakatan, maka ya, akan ada kekurangan besar," kata Petersen. "Mungkin lebih buruk daripada apa pun yang pernah kita lihat dalam hidup kita."
Terdesak Perang Dagang, Apple Pindahkan Produksi iPhone untuk Pasar AS ke India
Apple Inc. berencana untuk memindahkan seluruh produksi iPhone yang dijual di Amerika Serikat ke India, sebagaimana dilaporkan oleh The Financial Times. Keputusan ini dipicu oleh perang dagang yang kembali memanas antara Amerika Serikat dan Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump pada masa jabatan keduanya.
Untuk menghindari tarif tinggi yang diberlakukan atas produk asal Tiongkok, Apple mencari alternatif produksi yang lebih ekonomis dan strategis.
Diversifikasi produksi iPhone sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2017, ketika Apple bekerja sama dengan Wistron untuk memproduksi iPhone 6s dan iPhone SE di pabrik Bengaluru, India.
Faktor utama di balik langkah ini adalah tingginya pajak impor terhadap produk dari Tiongkok, dan seiring dengan eskalasi perang dagang, Apple secara bertahap memperluas operasi produksinya di India.
Pertumbuhan Produksi iPhone di India
Pada April 2024, sekitar 14% dari total produksi iPhone global berasal dari India. Para analis memperkirakan angka ini akan meningkat menjadi 25% pada akhir tahun ini.
Kini, dengan keputusan terbaru ini, Apple menargetkan untuk melipatgandakan kapasitas produksinya di India guna memenuhi permintaan domestik AS, yaitu lebih dari 60 juta unit iPhone per tahun, dengan target pencapaian penuh pada akhir 2026.
Pemerintah Amerika Serikat, di bawah Presiden Trump, memberlakukan tarif sebesar 145% terhadap produk impor dari Tiongkok. Meskipun ada wacana pengecualian sementara untuk ponsel pintar, Apple tetap menghadapi tarif 20%, tarif yang sebenarnya sudah berlaku bahkan sebelum Trump menjabat kembali.
India sendiri terkena tarif 26% atas produk ekspornya ke AS. Namun, tarif ini saat ini ditangguhkan selama 90 hari untuk memberi ruang bagi negosiasi antara New Delhi dan Washington. Wakil Presiden AS, JD Vance, saat ini sedang berada di India dan menyatakan bahwa kedua negara membuat "kemajuan yang sangat baik" dalam pembicaraan perdagangan tersebut.
Data dan Analisis Pasar
Pada tahun 2024, Amerika Serikat menyumbang sekitar 28% dari total pengiriman iPhone global. Perpindahan produksi ke India merupakan langkah strategis untuk mempertahankan pasokan ke pasar domestik tanpa harus membebani konsumen dengan harga yang melonjak akibat tarif tambahan.
Para investor dan analis saat ini masih menilai dampak potensial dari kebijakan tarif baru terhadap kinerja keuangan Apple, terutama menjelang laporan pendapatan kuartalan yang akan dirilis minggu depan.
Trump Sebut Putin Mempermainkannya, Siap Serang Moskow dengan Sanksi Baru
Donald Trump menyerang Vladimir Putin setelah mengadakan pembicaraan empat mata dengan Volodymyr Zelensky di Basilika Santo Petrus pada pemakaman Paus Fransiskus pada hari Sabtu (26/4/2025).
Melansir The Telegraph, Trump menuduh presiden Rusia itu mempermainkannya dalam negosiasi untuk mengakhiri perang di Ukraina dan memperingatkan bahwa dia siap untuk menyerang Moskow dengan sanksi baru.
Setelah meninggalkan Roma, tempat dia juga mengadakan pembicaraan dengan sekutu Eropa, Trump mengatakan tidak ada alasan bagi Putin untuk menembakkan rudal ke wilayah sipil, kota-kota, dan desa-desa, selama beberapa hari terakhir.
"Itu membuat saya berpikir bahwa mungkin dia tidak ingin menghentikan perang, dia hanya memanfaatkan saya, dan harus ditangani secara berbeda, melalui ‘perbankan’ atau ‘sanksi sekunder?’ Terlalu banyak orang yang sekarat!!!” tulis Trump di Truth Social, media sosial miliknya.
Pertemuan tatap muka yang mengejutkan, yang diadakan di kursi merah sederhana di bagian tengah gereja, adalah yang pertama antara Trump dan Zelensky sejak pertengkaran sengit mereka di Ruang Oval pada bulan Februari. Pertemuan itu terjadi di tengah dugaan bahwa kesepakatan gencatan senjata sudah dekat.
Zelensky menggambarkan percakapan mereka sebagai hal yang "berpotensi bersejarah" dan "sangat simbolis".
Gedung Putih mengatakan pertemuan 15 menit itu sangat produktif setelah Zelensky berterima kasih kepada Trump atas pembicaraan tersebut.
Komentar Trump tentang Putin menunjukkan perubahan nada yang signifikan, dan akan memicu harapan bahwa presiden AS bersedia menghadapi presiden Rusia atas penolakannya untuk menyetujui gencatan senjata.
Trump secara rutin menyalahkan Zelensky atas pertempuran di Ukraina dan minggu lalu memberikan tekanan kepadanya untuk mengorbankan wilayahnya kepada Rusia demi mengamankan perdamaian.
Setelah pertemuan di St. Peter, presiden Ukraina mengatakan bahwa ia dan Trump telah membahas gencatan senjata penuh dan tanpa syarat dan perdamaian yang dapat diandalkan dan abadi yang akan mencegah pecahnya perang lagi.
“Kami banyak berdiskusi satu lawan satu. Berharap ada hasil untuk semua yang kami bahas,” kata Zelenskiy.
Putin telah berulang kali menegaskan berbagai syarat, seperti mencabut sanksi Barat, untuk mengakhiri permusuhan dan telah dituduh melanggar gencatan senjata parsial.
Seruan untuk perdamaian yang andal dan langgeng merupakan rujukan pada tuntutan Zelensky – yang didukung oleh para pemimpin Eropa – untuk memastikan bahwa Kyiv dipersenjatai sepenuhnya untuk mencegah Rusia melancarkan invasi lain.
Zelensky mengatakan pertemuan itu memiliki potensi menjadi bersejarah tetapi hanya jika kedua pihak mencapai hasil bersama.
Ia menyampaikan rasa terima kasih kepada Trump, sebagai tanggapan atas kritik bahwa ia tidak cukup menunjukkan rasa terima kasih kepada Washington di masa lalu.
Sementara itu, Putin mengklaim kemenangan di Kursk pada hari Sabtu, dengan mengatakan bahwa tentara Ukraina terakhir telah diusir dari wilayah Rusia. Klaim tersebut kemudian dibantah Kyiv.
Kremlin mengatakan bahwa Putin siap mengadakan pembicaraan damai dengan Ukraina “tanpa prasyarat”.
Sebelum pertemuan satu lawan satu, Zelensky telah mendekati Sir Keir Starmer, yang sedang berbicara dengan Emmanuel Macron dan Trump di gereja Kota Vatikan yang berkapasitas 60.000 orang.
Perdana Menteri dan presiden Prancis telah mempelopori gagasan tentang "koalisi yang bersedia" yang siap untuk mengawasi perdamaian dengan pasukan di Ukraina.
The Telegraph melaporkan pada hari Jumat bahwa AS secara pribadi telah menawarkan untuk memberikan jaminan keamanan bagi rencana tersebut setelah awalnya memberikan sambutan yang setengah hati.
Dapat dipahami bahwa keempat pemimpin itu berbicara selama beberapa menit tentang bergerak maju dengan kesepakatan damai sebelum pembicaraan satu lawan satu antara Zelensky dan Trump dimulai.
Rekaman video pertemuan tersebut menunjukkan Trump dan Zelensky digiring oleh pejabat Vatikan berjubah hitam menuju tiga kursi.
Sebelumnya, Macron ikut berbicara bersama kedua pimpinan dunia itu. Akan tetapi, setelah pembicaraan antara ketiganya, kursi ketiga dipindahkan sehingga meninggalkan Trump dan Zelensky sendiri untuk menjernihkan suasana.
Gambar-gambar pasangan itu yang asyik berbincang dan saling berhadapan di tengah ketenangan gereja bergaya renaisans tinggi Italia sangat kontras dengan kekacauan yang disiarkan televisi pada pertemuan terakhir mereka di Washington.