News Forex, Index & Komoditi ( Selasa, 24 Juni 2025 )

News  Forex,  Index  &  Komoditi

(  Selasa,   24  Juni  2025  )

Harga Minyak Dunia Anjlok Usai Iran Serang Pangkalan AS di Qatar, Bukan Jalur Tanker

 

Harga minyak dunia merosot lebih dari 7% pada Senin (23/6/2025) setelah Iran tidak menyerang jalur pengiriman minyak dan gas di Selat Hormuz, melainkan membalas serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklirnya dengan menyerang pangkalan militer AS di Qatar.

Harga minyak mentah Brent ditutup turun US$ 5,53 atau 7,2% ke level US$ 71,48 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga turun US$ 5,53 atau 7,2% menjadi US$ 68,51 per barel.

Penurunan harga Brent tersebut merupakan yang terdalam sejak Agustus 2022, dengan rentang perdagangan harian mencapai US$ 10, tertinggi sejak Juli 2022. Setelah jam perdagangan resmi berakhir, kedua harga acuan masih sempat merosot hingga hampir 9%.

 “Untuk saat ini, aliran minyak bukan target utama dan kemungkinan besar tidak akan terganggu. Saya memperkirakan respons militer akan lebih diarahkan pada pangkalan militer AS atau kemungkinan terhadap target sipil di Israel,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital.

Harga minyak sempat naik hampir 6% pada awal sesi perdagangan Asia karena kekhawatiran pasar bahwa Iran akan membalas dengan mengganggu ekspor minyak dari kawasan Teluk.

Namun, ketegangan mereda setelah Iran memilih menyerang pangkalan udara Al Udeid milik AS di Qatar, Instalasi militer AS terbesar di Timur Tengah, tanpa menyebabkan korban jiwa. Dua pejabat AS kepada Reuters menyatakan tidak ada personel AS yang tewas atau terluka dalam serangan itu.

Iran sebelumnya sempat mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur sempit strategis di selatan Iran yang dilewati sekitar 20% pasokan minyak global.

Meski begitu, serangan terhadap pangkalan militer AS, yang telah diberitahukan sebelumnya dan dijaga ketat, dapat menjadi langkah awal menuju penurunan eskalasi jika tidak menimbulkan korban, kata lembaga riset Energy Aspects.

 “Kecuali terdapat indikasi pembalasan lanjutan dari Iran atau eskalasi dari Israel atau AS, maka kemungkinan premi risiko geopolitik dalam harga minyak akan mulai menghilang dalam beberapa hari ke depan,” tulis Energy Aspects.

Seorang sumber yang mengetahui langsung situasi menyatakan tidak ada gangguan terhadap pengiriman atau produksi QatarEnergy usai serangan tersebut.

Seorang pejabat militer AS juga menyatakan tidak ada serangan lanjutan dari Iran ke pangkalan militer AS lainnya selain di Qatar. Qatar sendiri merupakan salah satu eksportir gas alam cair terbesar di dunia, dan semua pengirimannya melalui Selat Hormuz.

Di Irak, Perusahaan Minyak Basra menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan minyak besar seperti BP, TotalEnergies, dan Eni telah mengevakuasi sebagian staf dari ladang minyak mereka.

“Dalam banyak hal, kita pernah menyaksikan skenario seperti ini. Meskipun terjadi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, baik itu melibatkan Israel, Iran, atau pihak lain, penutupan Selat Hormuz belum pernah terjadi, meskipun selalu menjadi isu utama,” kata Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.

Data pelacakan kapal menunjukkan sedikitnya dua supertanker mengubah haluan di dekat Selat Hormuz setelah serangan AS terhadap Iran. Kekerasan yang berlangsung lebih dari seminggu di wilayah tersebut mendorong beberapa kapal untuk mempercepat pelayaran, menghentikan operasi, atau mengubah rute.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan keinginannya agar harga minyak tetap rendah, di tengah kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah akan memicu lonjakan harga.

Melalui platform Truth Social, ia mendesak Departemen Energi AS untuk meningkatkan produksi dengan menyatakan, “Bor, sayang, bor. Maksud saya sekarang.”

Investor masih menilai seberapa besar risiko geopolitik yang akan tercermin dalam harga minyak. HSBC memperkirakan harga Brent bisa menembus US$ 80 per barel apabila terdapat ancaman penutupan Selat Hormuz. Namun, harga diperkirakan akan kembali menurun apabila gangguan tersebut tidak terwujud.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

EUR/USD Naik Meskipun PMI UE Lemah, Konflik Timur Tengah Mendominasi Sentimen

 

Euro (EUR) menguat terhadap Dolar AS (USD) pada hari Senin, meskipun sentimen pasar tetap suram di tengah krisis Timur Tengah. PMI Pendahuluan HCOB yang lebih buruk dari yang diprakirakan di Zona Euro hampir tidak mempengaruhi mata uang bersama, sementara PMI Jerman menunjukkan sedikit perbaikan, meskipun tetap berada di wilayah kontraksi. Pada saat berita ini ditulis, EUR/USD diperdagangkan di 1,1567, naik 0,40%.

Geopolitik menjadi pendorong utama pada hari Senin, saat kita memasuki minggu perdagangan terbaru di bulan Juni. Sabtu lalu, AS melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir paling kritis di Iran, setelah upaya yang gagal oleh Gedung Putih untuk mencapai kesepakatan dengan Teheran.

Akibatnya, Iran melancarkan serangan terhadap pangkalan AS di Qatar. Mengenai pangkalan Ain al-Assad di Irak, sirene diaktifkan sebagai persiapan untuk menghadapi serangan yang diprakirakan terjadi, tetapi tidak ada rudal yang diluncurkan. Bersamaan dengan tindakan militer, parlemen Iran memutuskan untuk menangguhkan kerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA).

Dari segi data, S&P Global mengungkapkan bahwa aktivitas bisnis di AS berkembang di sektor manufaktur. Untuk jasa, perusahaan-perusahaan melaporkan bahwa mereka tumbuh dengan laju yang sehat, meskipun angka bulan Juni turun dibandingkan dengan angka bulan sebelumnya.

Di seberang lautan, PMI Pendahuluan HCOB Zona Euro semakin memburuk, meleset dari estimasi. Di Jerman, PMI Pendahuluan membaik, memberikan sedikit kelegaan pada mata uang bersama, meskipun Presiden Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), Christine Lagarde, menyebutkan bahwa "data survei secara keseluruhan menunjukkan prospek yang lebih lemah untuk aktivitas ekonomi dalam waktu dekat."

Sekarang, perhatian para pedagang EUR/USD beralih ke kesaksian Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, di depan Kongres AS dan pernyataan para pejabat The Fed. Di Zona Euro, agenda akan menampilkan rilis Sentimen Bisnis IFO Jerman untuk bulan Juni, dan pernyataan De Guindos dari ECB dan Kepala Ekonom ECB, Philip Lane.

Intisari Penggerak Pasar Harian: EUR/USD Didorong oleh Sikap Dovish The Fed

EUR/USD melanjutkan kenaikan setelah Gubernur The Fed, Michelle Bowman,

berubah dovish dan mengatakan bahwa dia terbuka untuk mengurangi suku bunga

pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) bulan Juli, jika tekanan inflasi tetap terjaga.

PMI Manufaktur S&P Global AS bulan Juni tetap stabil di 52, melampaui ekspektasi 51 dan mengindikasikan ekspansi berkelanjutan di sektor tersebut. Sementara itu, PMI Jasa turun ke 53,1 dari 53,7, meskipun sedikit mengungguli prakiraan 52,9.

Indeks Dolar AS (DXY), yang melacak kinerja dolar terhadap sekumpulan enam mata uang, turun 0,42% ke 98,35. Imbal hasil obligasi Pemerintah AS juga melemah, memberikan dorongan bagi harga Emas.

PMI Manufaktur HCOB Zona Euro untuk bulan Juni tidak berubah di 49,4 di wilayah kontraksi, di bawah prakiraan 49,8. PMI Jasa membaik dari 49,7 ke 50 seperti yang diproyeksikan. PMI Manufaktur HCOB Jerman membaik dari 48,3 ke 49 seperti yang diprakirakan, sementara PMI Jasa membaik dari 47,1 ke 49,4 tetapi masih jauh dari wilayah ekspansi.

Minggu lalu, Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan mereka berada dalam mode tunggu dan lihat, menambahkan bahwa kebijakan sedikit ketat. Dia menambahkan bahwa selama pasar tenaga kerja tetap kuat dan inflasi mereda, mempertahankan suku bunga adalah "hal yang benar untuk dilakukan."

Para pelaku pasar keuangan tidak memprakirakan bahwa ECB akan mengurangi Deposit Facility Rate-nya sebesar 25 basis poin (bp) pada pertemuan kebijakan moneter bulan Juli.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wall Street Ditutup Menghijau Imbas Komentar The Fed Soal Suku Bunga

 

Bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat zeiring dengan meningkatnya ekspektasi bahwa Federal Reserve akan mulai memangkas suku bunga acuan pada Juli. Lorenzo Anugrah Mahardhika - Bisnis.com Selasa, 24 Juni 2025 | 06:18 Share Perbesar Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle Smallest Font Largest Font Bisnis.com, JAKARTA — Bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat pada perdagangan Senin (23/6/2025) seiring dengan meningkatnya ekspektasi bahwa Federal Reserve akan mulai memangkas suku bunga acuan pada Juli. Berdasarkan data Reuters pada Selasa (24/6/2025), indeks S&P 500 ditutup menguat 57,20 poin atau 0,96% ke level 6.025,04. Indeks Nasdaq Composite naik 183,98 poin atau 0,95% ke 19.631,39. Sementara itu, Dow Jones Industrial Average menguat 373,48 poin atau 0,88% ke posisi 42.580,30. Tiga indeks utama di Wall Street ditutup di zona hijau. Saham sektor konsumsi non-primer memimpin penguatan, didorong lonjakan harga saham Tesla. Jay Hatfield, CEO dan manajer portofolio di InfraCap, New York mengatakan, kenaikan yang terjadi di Wall Street agak mengejutkan. Dalam satu sisi, serangan AS justru mengakhiri ketidakpastian tentang apakah AS akan benar-benar menyerang Iran atau tidak. “Reaksi pasar sangat bullish karena secara musiman, Juni biasanya periode koreksi. Tapi sekarang, investor tampaknya enggan menjual,” tambahnya. Wakil Ketua The Fed Michelle Bowman pada Senin menyatakan bahwa saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mempertimbangkan penyesuaian suku bunga, mengingat risiko terhadap pasar tenaga kerja kini lebih besar dibandingkan tekanan inflasi akibat tarif.  Wall Street Lesu Sepekan Lalu, Bagaimana Proyeksi Pekan Ini? Investor Kabur ke Aset Safe Haven Imbas Konflik Israel-Iran, Harga Emas Menguat Emas Hadapi Tekanan Jual Meski Perang Iran-Israel Memanas Sementara itu, Presiden Federal Reserve Chicago Austan Goolsbee juga menyebut bahwa sejauh ini, dampak ekonomi dari tarif masih lebih ringan dibandingkan perkiraan awal. Pasar kini memperkirakan sedikitnya dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun. Pemangkasan pertama diprediksi terjadi pada September. Paul Nolte, penasihat kekayaan senior dan analis pasar di Murphy & Sylvest, Illinois. mengatakan, sebelumnya dia memprediksi bahwa The Fed tidak akan mengubah suku bunga sama sekali tahun ini. "Tapi pendekatan 'tunggu dan lihat' ala Powell sebenarnya tidak buruk, dan pasar jelas menyukai prospek suku bunga yang lebih rendah," ujarnya. Saham Tesla melonjak tajam setelah peluncuran layanan robotaksi yang telah lama dinantikan di Austin, Texas. Sementara itu, Israel terus menggempur Iran sehari setelah AS secara resmi ikut terlibat dalam konflik. Meski demikian, harga minyak mentah justru melemah setelah Iran tidak mengambil langkah-langkah yang mengganggu lalu lintas kapal tanker minyak dan gas di Selat Hormuz, seperti yang sebelumnya diancam. “Pasar membaca situasi ini sebagai keberhasilan. Kapabilitas nuklir Iran berhasil dilumpuhkan dan kami mampu menghadapi serangan balasan,” kata Nolte. “Sebelumnya ada banyak kekhawatiran bahwa Iran akan bertindak lebih agresif dari ini.” Sepanjang pekan ini, pelaku pasar juga akan mencermati rilis final data PDB kuartal I/2025 dari Departemen Perdagangan AS, laporan pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), serta kesaksian Ketua The Fed Jerome Powell di Kongres untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut terkait arah kebijakan moneter jangka pendek.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bursa Asia Pasifik Menguat Usai Trump Klaim Israel-Iran Sepakat Gencatan Senjata

 

Pasar saham Asia-Pasifik menguat pada perdagangan Selasa (24/6/2025) setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan bahwa Iran dan Israel telah menyepakati gencatan senjata.

“Telah sepenuhnya disetujui oleh dan antara Israel dan Iran bahwa akan ada GENCATAN SENJATA yang Lengkap dan Total... selama 12 jam, di mana Perang akan dianggap BERAKHIR!” tulis Trump dalam unggahannya di platform Truth Social.

Namun demikian, hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah Iran maupun Israel mengenai kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Merespons pernyataan Trump, sejumlah indeks utama di kawasan Asia-Pasifik tercatat menguat.

Indeks Nikkei 225 Jepang naik 1,59%, sementara indeks Topix menguat 1,32%. Di Korea Selatan, indeks Kospi melonjak 2,09%, dan indeks Kosdaq yang berisi saham berkapitalisasi kecil naik 1,71%. Di Australia, indeks S&P/ASX 200 diperdagangkan 0,69% lebih tinggi.

Indeks Hang Seng Hong Kong juga menunjukkan pembukaan yang lebih tinggi di posisi 23.721, dibandingkan dengan penutupan sebelumnya di level 23.689,13.

Kenaikan juga terjadi pada pasar berjangka AS setelah pernyataan Trump. Harga berjangka Dow Jones Industrial Average naik 134 poin atau 0,3%, harga berjangka S&P 500 naik 0,4%, dan harga berjangka Nasdaq 100 menguat 0,6%.

Pada perdagangan sebelumnya di Amerika Serikat, ketiga indeks utama ditutup menguat. Investor merespons positif sikap Iran yang dinilai lebih terkendali terhadap serangan AS akhir pekan lalu.

Dow Jones Industrial Average menguat 374,96 poin atau 0,89% ke level 42.581,78. S&P 500 naik 0,96% dan ditutup di 6.025,17, sementara Nasdaq Composite naik 0,94% ke posisi 19.630,97.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Resesi Telah Tiba! Ekonom Terkemuka AS Ini Peringatkan Dampaknya Segera Terasa

 

Ekonom terkemuka asal Amerika Serikat, Steve Hanke, kembali mengeluarkan peringatan serius mengenai kondisi ekonomi global.

Dalam wawancaranya dengan David Lin pada 21 Juni, Hanke menegaskan bahwa resesi kini berada di jalur yang tak dapat dibalikkan, dan akan menghantam pada paruh kedua tahun 2025.

Penurunan Jumlah Uang Beredar Jadi Sinyal Bahaya

Hanke, yang juga merupakan Profesor Ekonomi Terapan di Johns Hopkins University, menyatakan bahwa penurunan berkelanjutan dalam jumlah uang beredar merupakan indikator kuat akan terjadinya kontraksi ekonomi. Ia menyebut fenomena ini sebagai "kereta lambat yang pasti tiba pada tujuannya."

 “Begitu jumlah uang menyusut, dampaknya akan terasa dalam waktu yang panjang dan tak menentu, namun hasil akhirnya hampir selalu sama: aktivitas ekonomi melambat,” jelas Hanke.

Menurutnya, sebagian besar ekonom saat ini gagal mempertimbangkan faktor jumlah uang beredar dalam proyeksi mereka mengenai kondisi ekonomi masa depan.

Data Lunak dan Ketenagakerjaan Lulusan Baru

Selain faktor moneter, Hanke juga menyoroti indikator data lunak yang mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan ekonomi. Salah satu indikator tersebut adalah semakin sulitnya lulusan perguruan tinggi baru mendapatkan pekerjaan.

Ia menjelaskan bahwa dunia usaha kini semakin enggan merekrut tenaga kerja baru, terutama yang belum berpengalaman, karena dianggap sebagai investasi sumber daya manusia yang berisiko tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik.

Ketidakpastian Rezim di Era Donald Trump

Hanke menegaskan bahwa ketidakpastian kebijakan—yang ia sebut sebagai “regime uncertainty”—semakin memperburuk situasi. Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, perubahan yang sulit diprediksi dalam tarif dan regulasi membuat banyak pelaku usaha menahan diri dari melakukan investasi jangka panjang.

 “Pelaku bisnis dan investor memilih menunggu kejelasan arah kebijakan sebelum mengambil langkah besar,” ungkap Hanke.

Situasi ini, menurutnya, sangat mirip dengan era New Deal pada tahun 1930-an, ketika kebijakan ekonomi yang tidak konsisten justru memperpanjang masa stagnasi.

Geopolitik Timur Tengah Perparah Ketidakpastian

Tak hanya persoalan domestik, ketegangan geopolitik juga menambah beban terhadap perekonomian global. Keterlibatan militer AS dalam perang antara Israel dan Iran semakin meningkatkan ketidakpastian pasar, menekan kepercayaan investor, dan menghambat pertumbuhan.

Hanke sebelumnya telah menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya resesi pada tahun 2025 mencapai 90 persen, terutama akibat ketidakpastian perdagangan dan kebijakan. Dengan makin banyaknya indikator yang mengarah pada perlambatan, proyeksi ini kini tampak semakin mendekati kenyataan.

Iran Pertimbangkan untuk Membalas Serangan AS terhadap Situs Nuklir Fordow

 

Iran dan Israel saling serang lewat udara dan rudal saat dunia bersiap menanti tanggapan Teheran atas serangan AS di lokasi nuklirnya. Presiden AS Donald Trump mengemukakan gagasan perubahan rezim di Iran.

Mengutip Reuters, Senin (23/6), pada Minggu (22/6) Iran berjanji akan membela diri, sehari setelah AS bergabung dengan Israel dalam aksi militer Barat terbesar terhadap negara itu sejak Revolusi Islam 1979, meskipun ada seruan untuk menahan diri dan kembali ke diplomasi dari seluruh dunia.

Citra satelit komersial menunjukkan serangan AS pada hari Sabtu terhadap pabrik nuklir bawah tanah Fordow milik Iran menghancurkan situs yang terkubur dalam dan sentrifus pengayaan uranium yang ditempatkan di dalamnya, tetapi status situs tersebut masih belum dikonfirmasi, kata para ahli.

Dalam komentar media sosial terbarunya tentang serangan AS, Trump mengatakan "Kerusakan Monumental telah terjadi pada semua situs Nuklir di Iran."

"Kerusakan terbesar terjadi jauh di bawah permukaan tanah. Tepat sasaran!!!" tulisnya di platform Truth Social miliknya.

Trump sebelumnya meminta Iran untuk tidak melakukan pembalasan apa pun dan mengatakan pemerintah sekarang harus berdamai atau "serangan di masa mendatang akan jauh lebih besar dan jauh lebih mudah."

Ketua Kepala Staf Gabungan, Jenderal Dan Caine, kepada wartawan mengatakan, AS meluncurkan 75 amunisi berpemandu presisi termasuk bom penghancur bunker dan lebih dari dua lusin rudal Tomahawk terhadap tiga lokasi nuklir Iran.

Pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional, mengatakan tidak ada peningkatan tingkat radiasi di luar lokasi yang dilaporkan setelah serangan AS.

Rafael Grossi, direktur jenderal badan tersebut, mengatakan kepada CNN bahwa belum mungkin untuk menilai kerusakan yang terjadi di bawah tanah.

Seorang sumber senior Iran mengatakan kepada Reuters bahwa sebagian besar uranium yang sangat diperkaya di Fordow telah dipindahkan ke tempat lain sebelum serangan itu. Reuters tidak dapat segera menguatkan klaim tersebut.

Teheran, yang menyangkal program nuklirnya untuk tujuan apa pun selain tujuan damai, mengirimkan serangkaian rudal ke Israel setelah serangan AS, melukai banyak orang dan menghancurkan bangunan di Tel Aviv.

Namun, Iran tidak menindaklanjuti ancaman utamanya untuk melakukan pembalasan, yaitu menargetkan pangkalan-pangkalan AS atau menghentikan pengiriman minyak yang melewati Selat Hormuz.

Upaya untuk membendung pasokan minyak Teluk dengan menutup selat tersebut dapat menyebabkan harga minyak global meroket, menggagalkan ekonomi dunia, dan mengundang konflik dengan Armada Kelima Angkatan Laut AS yang bermarkas di Teluk.

Harga minyak melonjak pada hari Senin ke level tertinggi sejak Januari. Minyak mentah Brent berjangka naik US$ 1,88 atau 2,44% pada US$ 78,89 per barel pada pukul 11.22 GMT. Harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik US$ 1,87 atau 2,53% pada US$ 75,71.

Parlemen Iran telah menyetujui langkah untuk menutup selat tersebut, yang dikuasai Iran bersama Oman dan Uni Emirat Arab. 
Press TV Iran mengatakan penutupan selat itu memerlukan persetujuan dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, sebuah badan yang dipimpin oleh orang yang ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

Caine mengatakan militer AS telah meningkatkan perlindungan pasukan di wilayah tersebut, termasuk di Irak dan Suriah. 
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan peringatan keamanan untuk semua warga negara AS di luar negeri, menyerukan mereka untuk meningkatkan kewaspadaan.

Amerika Serikat sudah memiliki pasukan yang cukup besar di Timur Tengah, dengan hampir 40.000 tentara dan kapal perang yang dapat menembak jatuh rudal musuh.

Militer Israel melaporkan peluncuran rudal dari Iran pada dini hari Senin pagi, dengan mengatakan bahwa rudal itu dicegat oleh pertahanan Israel.

Sirene serangan udara berbunyi di Tel Aviv dan bagian lain di Israel tengah. Iran telah berulang kali menargetkan Tel Aviv Raya - wilayah metropolitan dengan sekitar 4 juta orang - pusat bisnis dan ekonomi Israel tempat aset militer penting juga berada.

Kantor berita Iran melaporkan pertahanan udara diaktifkan di distrik-distrik Teheran tengah untuk melawan "target musuh", dan serangan udara Israel menghantam Parchin, lokasi kompleks militer di tenggara ibu kota.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemimpin Tertinggi Iran Khamenei Minta Dukungan Tambahan dari Putin Usai Serangan AS

 

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengutus Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi ke Moskow pada Senin (23/6) untuk meminta dukungan lebih lanjut dari Presiden Rusia Vladimir Putin.

Langkah ini diambil setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan militer terbesar terhadap Republik Islam tersebut sejak Revolusi Iran 1979.

Presiden AS Donald Trump dan Israel secara terbuka menyatakan kemungkinan melakukan serangan terhadap Khamenei dan mendorong perubahan rezim, langkah yang menurut Rusia dapat mendorong kawasan Timur Tengah ke dalam kekacauan lebih dalam.

Meski Presiden Putin telah mengecam serangan Israel, ia belum memberikan komentar langsung atas serangan udara AS terhadap situs nuklir Iran.

Namun, pekan lalu Putin menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan menawarkan peran Rusia sebagai mediator dalam konflik nuklir Iran.

Seorang sumber senior mengatakan kepada Reuters bahwa Menlu Abbas Araqchi membawa surat dari Khamenei untuk disampaikan langsung kepada Putin.

Dalam surat tersebut, Iran meminta agar Rusia memberikan dukungan yang lebih kuat terhadap Teheran di tengah eskalasi konflik.

Beberapa sumber di Iran mengatakan bahwa dukungan Rusia sejauh ini dianggap belum memadai, meski mereka tidak merinci bentuk bantuan tambahan yang diminta Iran dari Moskow.

Pihak Kremlin mengonfirmasi bahwa Presiden Putin akan menerima Araqchi, namun tidak menjelaskan secara rinci topik yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut.

Menurut kantor berita TASS, Araqchi menyatakan bahwa Iran dan Rusia tengah mengoordinasikan posisi mereka terhadap eskalasi yang tengah terjadi di Timur Tengah.

Putin sebelumnya telah beberapa kali menawarkan diri sebagai mediator antara AS dan Iran, serta menyatakan bahwa ia telah menyampaikan sejumlah gagasan dari Moskow untuk menyelesaikan konflik, sambil menjamin Iran tetap dapat mengakses energi nuklir sipil.

Meski demikian, pekan lalu Putin menolak berkomentar mengenai spekulasi kemungkinan pembunuhan terhadap Khamenei oleh AS dan Israel.

Namun, ia mengklaim bahwa Israel telah memberikan jaminan kepada Rusia bahwa para ahli Rusia yang tengah membangun dua reaktor nuklir tambahan di fasilitas Bushehr, Iran, tidak akan menjadi sasaran serangan udara.

Sebagai sekutu lama Iran, Rusia memiliki peran penting dalam negosiasi nuklir antara Iran dan negara-negara Barat.

Rusia juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan penandatangan kesepakatan nuklir Iran yang ditinggalkan oleh Trump pada masa jabatan pertamanya pada 2018.

Namun, dengan pasukan Rusia masih terlibat dalam perang berkepanjangan di Ukraina yang telah memasuki tahun keempat, para pengamat menilai bahwa Kremlin belum menunjukkan minat besar untuk terlibat lebih jauh dalam konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat atas Iran — terutama di tengah upaya Trump untuk memulihkan hubungan dengan Moskow.

 

 

 

 

Selat Hormuz Jalur Vital Bagi Perdagangan Migas dan Dampak ke Ekonomi Global

Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz dari lalu lintas perdagangan laut menjadi ancaman serius bagi ekonomi dunia. Sebab aksi yang telah disetujui oleh Parlemen Iran sebagai balasan atas serangan Amerika Serikat dan sekutunya Israel ke negara Persia ini akan berdampak serius bagi pasokan minyak bumi dan gas alam cair (LNG) ke pasar global.

Selat Hormuz sangat krusial dalam perdagangan energi global – berikut data dan insightnya berdasarkan sumber resmi yang dihimpun KONTAN.

Pertama, Selat Hormuz menjadi jalur utama minyak dan gas dunia.

Mengutip catatan US Energy Information Administration (16/6/2025), sekitar 20 juta barel minyak per hari yang melewati Selat Hormuz sepanjang 2024 hingga kuartal I 2025.

Jumlah ini setara dengan kurang lebih sekitar 20 % dari total konsumsi minyak global .

Sementara jika dibandingkan dengan volume perdagangan minyak dan gas bumi dunia, angka ini ini setara dengan lebih dari seperempat atau 25% dari seluruh volume perdagangan minyak lewat laut dan serta 20% dari perdagangan gas alam cair atau LNG global. .

Kedua, Selat Hormuz menjadi sentral ekspor bagi minyak dan gas Asia.

Sebagian besar aliran perdagangan minyak dan LNG melalui ekspor melalui selat Hormuz dikirim ke kawasan Asia seperti China, India, Jepang, Korea Selatan.

Secara persentase sekitar 84 % minyak bumi dan 83 % LNG dari kawasan ini di ekspor menuju benua Asia.

Ketiga jalur alternatif perdagangan ekspor dari kawasan ini sangat terbatas.

Saat ini terdapat beberapa jalur alternatif perdagangan minyak dan gas bumi yang di hasilkan negara-negara di kawasan teluk:

Misalnya Arabi Saudi bisa menjalankan ekspor melalui pipa dengan jalur Saudi–Yanbu Pipeline dengan kapasitas sebesar 5 juta barrel per hari.

Selain itu Uni Emirat Arab bisa mengoperasikan jalur pipa ke Fujairah yang berkapasitas 1,8 juta barrel per hari.

Sedangkan Iran sendiri juga punya jalur pipa Goreh–Jask pipeline dengan kapasitas 300.000 barrel per hari. Tapi jalur ekspor pipa Iran ini hampir tidak digunakan sejak September 2024.

Meskipun ada jalur alternatif ekspor dari Kawasan Teluk selain melalui jalur laut di Selat Hormuz, jalur alternatif ini hanya mampu mengalihkan sebagian kecil volume atau sekitar 10% saja. Sedangkan lebih dari 90% minyak yang diperdagangkan lewat jalur laut dari Teluk Persia masih bergantung ke Selat Hormuz.

Dampak keempat dari penutupan Selat Hormuz adalah risiko geopolitik & dampak ekonomi.

Jika terjadi gangguan atau penutupan Selat Hormuz oleh Iran, harga minyak bisa melonjak drastis:

Beberapa analis asar seperti dikutip The Times dari Market Watch, memperkirakan harga minyak Brent melonjak melewati US$ 100 – 150 per barel  dalam skenario terburuk .

Selain itu Oxford Economics seperti dikutip marketwatch.com memperkirakan penurunan produk domestik bruto (PDB) global bisa mencapai sekitar 0,8 persen jika terjadi lockdown atas Selat Hormuz.

Gangguan lalu lintas perdagangan minyak di Selat Hormuz saja, bahkan tanpa penutupan total bakal memicu kenaikan premi geopolitik berupa kenaikan biaya asuransi & transportasi .

Dampak kelima bagi pengimpor migas global.

Saat ini Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar 0,5 juta barrel per hari dari Timur Tengah lewat Selat Hormuz yang berarti hanya sekitar 7 % dari total impor migas AS, dan 2 % konsumsi AS.

Dampak besar akan dirasakan oleh negara negara di Kawasan Asia yang dinilai sangat tergantung dengan minyak dari Teluk Persia: misalnya China & India saat ini menerima 69 % aliran minyak dari Kawasan Teluk. Sedangkan Jepang dan Korea paling terpengaruh jika terjadi gangguan.
 
Demikian gambaran pentingnya Selat Hormuz sebagai jalur vital untuk sekitar sepertiga perdagangan minyak laut global dan 20 % perdagangan LNG.

Jalur ini sangat penting bagi pasokan energi dunia. Gangguan di sana, walaupun sementara, cukup untuk memicu shok harga besar, ketidakpastian ekonomi global, dan memicu penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Singgung Keterlibatan AS, China Desak Iran-Israel Tahan Diri

 

 

Pemerintah China kembali menyerukan pentingnya penyelesaian diplomatik untuk menyudahi saling serang antara Israel dan Iran. Perang antara Tel Aviv dan Teheran telah berlangsung selama 11 hari dan semakin meningkatkan kekhawatiran global.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Guo Jiakun mengatakan, perluasan dampak Perang Israel-Iran mesti dicegah sesegera mungkin. Karena itu, Tel Aviv dan Teheran diimbau untuk meredakan konflik bersenjata serta kembali ke jalur politik dan diplomasi.

"Kami mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik agar tidak terus-menerus memperparah situasi, secara tegas menghindari meluasnya perang, dan kembali ke jalur penyelesaian politik," ujar Guo Jiakun dalam jumpa pers pada Senin (23/6/2025), dikutip Al Arabiya.

Beijing juga mengecam serangan Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz dan Isfahan. Langkah Presiden AS Donald Trump menyerang ketiga situs yang di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) itu pada Sabtu (21/6/2025) tidak hanya merupakan pelanggaran serius terhadap integritas teritorial Iran, melainkan juga turut memperparah eskalasi.

China juga mengingatkan, meningkatnya eskalasi Perang Israel-Iran akan berdampak pada kawasan Teluk Arab, termasuk perairan di sekitarnya. Padahal, itu merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional. Karena itu, tegas Jiakun, perang yang berlarut-larut menimbulkan risiko gangguan besar terhadap ekonomi global.

"China menyerukan kepada komunitas internasional untuk meningkatkan upaya dalam mendorong de-eskalasi konflik dan mencegah ketidakstabilan kawasan berdampak lebih luas pada perkembangan ekonomi dunia," tambah dia.

Pada Sabtu (21/6/2025), Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa AS telah menyelesaikan "serangan yang sangat sukses" terhadap tiga titik fasilitas nuklir di Iran. Melalui akun media sosial Truth Social, ia menyatakan bahwa semua pesawat tempur AS telah keluar dari ruang udara Iran, di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.

Serangan tersebut dilancarkan setelah Israel dilaporkan meminta AS terlibat dalam serangan udara yang sudah dilakukannya duluan terhadap sejumlah titik di Iran. Israel juga telah menyerang beberapa fasilitas yang terkait dengan program pengembangan nuklir Teheran sebelumnya.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan dalam pesan videonya baru-baru ini bahwa keterlibatan AS dalam konflik dengan Israel akan menimbulkan konsekuensi yang sangat berat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terungkap Alasan Mengapa AS Sampai Minta 'Pertolongan' China agar Iran tak Tutup Selat Hormuz

 

 

Kemungkinan penutupan Selat Hormuz oleh Iran tidak akan menyelamatkan negara mana pun dari dampak gejolak harga minyak. Menurut lembaga Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) Kirill Dmitriev, dampak penutupan Selat Hormuz juga akan sangat merugikan Amerika Serikat (AS).

Pihak berwenang Iran telah beberapa kali menyatakan bahwa mereka berhak menutup Selat Hormuz dalam merespons serangan Israel. Parlemen Iran pada Ahad sepakat bahwa Selat Hormuz harus ditutup, kata Esmail Kowsari, yang merupakan anggota Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri parlemen.

"Harga minyak ditetapkan secara global. Jika Selat Hormuz ditutup, AS tidak akan luput. Tidak ada yang kebal terhadap guncangan minyak global -harga di stasiun pengisian bahan bakar akan (melonjak)," kata Dmitriev di X.

Menurut data perdagangan, hingga Ahad pukul 23.48 waktu setempat, minyak mentah Brent diperdagangkan naik 2,45 persen senilai 77,33 dolar AS (sekitar Rp1,27 juta) per barel di tengah meningkatnya konflik antara Iran dan Israel.

Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio sebelumnya meminta China mendorong Iran agar tidak menutup Selat Hormuz. Parlemen Iran dikabarkan telah setuju untuk menutup jalur strategis pengiriman minyak tersebut setelah AS melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran.

"Saya mendorong Pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka (Iram) tentang hal itu (potensi penutupan Selat Hormuz), karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka," kata Rubio ketika diwawancara Fox News dalam program "Sunday Morning Futures with Maria Bartiromo” pada Ahad (22/6/2025).

Dia pun memperingatkan Iran agar tak menutup Selat Hormuz. Menurut Rubio, hal tersebut akan menjadi kesalahan besar. "Itu adalah bunuh diri ekonomi bagi mereka jika mereka melakukannya. Dan kami memiliki opsi untuk mengatasinya," ujarnya.

Rubio menilai, negara-negara lain juga harus mempertimbangkan cara untuk menghadapi skenario jika Selat Hormuz ditutup oleh Iran. "Negara-negara lain juga harus mempertimbangkannya. Itu akan merugikan ekonomi negara lain jauh lebih buruk daripada ekonomi kita," ucapnya.

Menurut Rubio, jika Iran menutup Selat Hormuz, hal itu bakal menjadi eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons dari AS dan negara-negara lain. Terkait pernyataan Rubio, Kedutaan Besar China di Washington belum memberikan tanggapan.

Terkait serangan militer ke fasilitas nuklirnya, Iran sudah sesumbar akan melancarkan balasan ke AS. Namun Rubio memperingatkan agar Teheran tidak mengambil langkah demikian. Rubio menekankan, aksi balasan bakal menjadi kesalahan terburuk yang dilakukan Iran.

Parlemen Iran dilaporkan telah menyetujui penutupan Selat Hormuz. "Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup, namun keputusan akhir mengenai hal ini ada di Dewan Keamanan Nasional Tertinggi," kata Komandan Garda Revolusi Ismail Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen.

Wacana penutupan Selat Hormuz muncul setelah AS melancarkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran. Teluk Persia adalah perairan yang berbatasan dengan Iran, Irak, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman. Teluk itu meliputi area seluas sekitar 87 ribu mil persegi dengan kedalaman maksimum 100 meter. Dan Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur maritim untuk keluar dari teluk tersebut.

Peran Selat Hormuz tak diragukan lagi sangat penting, tidak hanya untuk keamanan regional, tapi juga ekonomi global. Selat Hormuz telah menjadi rute pelayaran vital yang menghubungkan produsen minyak Timur Tengah ke pasar Asia, Eropa, Amerika Utara, dan sekitarnya.

Selat tersebut memiliki lebar 33 kilometer pada titik tersempitnya. Namun jalur pelayaran hanya selebar tiga kilometer di kedua arah. Belasan juta barel minyak mentah yang diangkut kapal tanker melintasi Selat Hormuz setiap harinya.

Selain minyak, Selat Hormuz juga merupakan rute yang digunakan untuk hampir semua gas alam cair (LNG) yang diprodkusi eksportir LNG terbesar di dunia, Qatar. Menurut situs Maritime Executiver, Qatar mengekspor 3,7 miliar kaki kubik LNG per tahun melalui selat itu.

Setiap kapal yang melintasi Selat Hormuz, termasuk kapal perang AS, harus melakukan kontak dengan angkatan laut Iran, baik Angkatan Laut Reguler Iran maupun Angkatan Laut Garda Revolusi Iran. Kapal-kapal masuk melalui perairan Iran. Mereka keluar melewati perairan teritorial Oman.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertahanan Udara Israel Kewalahan, Gagal Deteksi Rudal Iran

 

 

Gelombang serangan terus-menerus dari Iran mulai membuat sistem pertahanan udara Israel kewalahan. Dalam satu kejadian pada Ahad, sebuah rudal mencapai Israel tanpa terdeteksi sama sekali.

Serangan-serangan belakangan menunjukkan, meski rudal yang ditembakkan dari Iran mulai berkurang dibandingkan pada awal serangan balasan, wilayah yang terdampak di Israel justru lebih banyak. Artinya, belakangan lebih sedikit rudal Iran yang bisa ditangkis sistem pertahanan udara Israel.

Pada awal balasan, Iran diketahui meluncurkan sekitar 400 rudal ke Israel. Sementara pada Ahad kemarin, Iran meluncurkan 27 rudal, menargetkan bandara utama Israel Ben Gurion dekat Tel Aviv, penelitian, dan pusat komando, kantor berita Iran melaporkan. Sedangkan pada Senin, hanya tujuh yang dilontarkan.

Dalam serangan pada Ahad the Times of Israel melaporkan, rudal balistik Iran menghantam tanpa membunyikan sirene. Setelah dilakukan penyelidikan, tentara Israel memastikan bahwa yang jatuh ke Israel adalah rudal Iran, bukan pencegat milik Israel yang gagal seperti dugaan awal

Rudal balistik Iran yang tidak terdeteksi dengan benar tersebut menghantam lapangan umum di kawasan pemukiman kota. Tiga orang mengalami luka ringan, termasuk satu orang yang berada relatif dekat dengan lokasi kejadian.

Ada “kegagalan teknis” dalam pendeteksian rudal tersebut, menurut penyelidikan Komando Front Dalam Negeri dan Angkatan Udara Israel. Oleh karena itu, tidak ada sirene yang dibunyikan dan tidak ada pencegat yang diluncurkan untuk menembak jatuh rudal tersebut.

Komando Front Dalam Negeri telah mengeluarkan peringatan dini melalui sistem siaran seluler di Haifa, yang dikatakan membantu mencegah bahaya lebih lanjut, karena sebagian besar orang mencari perlindungan bahkan tanpa didahului bunyi sirene.

Menurut penyelidikan, rudal Iran terpisah dari hulu ledaknya di udara, dan pencegat diluncurkan hanya di bagian belakang. Hulu ledaknya sendiri tidak terdeteksi dan mengenai Haifa.

Rudal itu diketahui bukan jenis terbaru, menurut penyelidikan tersebut. Ia mirip dengan rudal lain yang ditembakkan oleh Iran ke Israel di tengah perang. Peristiwa tersebut diklaim merupakan sebuah anomali.

Pada Senin, hanya enam atau tujuh rudal yang diluncurkan dari Iran dalam empat gelombang serangan beberapa waktu lalu, menurut penilaian IDF yang diperbarui. Rudal-rudal tersebut ditembakkan dalam waktu 40 menit. Tidak ada laporan cedera. Beberapa dampak dilaporkan terjadi di area terbuka.

Namun, serangan itu mengenai pembangkit listrik di Israel selatan telah menyebabkan pemadaman listrik di kota-kota terdekat, menurut Israel Electric Corporation.

Israel Electric Corporation mengatakan bahwa akibat dampak rudal balistik Iran di dekat “fasilitas infrastruktur strategis” di Israel selatan, terjadi gangguan listrik di beberapa kota di wilayah tersebut.

"Tim sedang dalam perjalanan ke beberapa lokasi di lapangan dengan tujuan memulihkan pasokan listrik sesegera mungkin. Operasi tersebut mencakup perbaikan infrastruktur dan penghapusan bahaya keselamatan, dan dilakukan melalui koordinasi dengan pasukan keamanan," kata IEC.

Pada Senin, sirene juga terdengar di Israel tengah, wilayah Yerusalem, dan beberapa bagian Israel selatan di tengah serangan rudal balistik terbaru Iran. Warga sipil di daerah di mana sirene berbunyi diinstruksikan untuk tetap berada di tempat perlindungan bom sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Peringatan juga diaktifkan di komunitas-komunitas di sepanjang perbatasan Lebanon beberapa saat sebelumnya, yang tampaknya merupakan serangan balasan dari Iran.

Komando Front Dalam Negeri Israel mengumumkan bahwa mereka telah mendeteksi peluncuran empat gelombang rudal Iran berturut-turut dalam waktu 20 menit, dari utara ke selatan Israel.

Channel 13 Israel melaporkan bahwa empat rudal Iran menghantam sejumlah lokasi, tiga di selatan dan satu di utara. Israel Electric Corporation mengumumkan bahwa fasilitas strategis miliknya di Israel selatan telah diserang, dan melaporkan gangguan pasokan listrik setelah pemboman tersebut.

Saluran tersebut mencatat bahwa ini adalah periode bunyi sirene terpanjang sejak dimulainya perang terhadap Iran. Media Israel juga melaporkan bahwa sebuah rudal Iran jatuh di selatan Yerusalem yang diduduki.

Menurut media Israel, gelombang rudal Iran menargetkan Israel tengah dan dataran pantai, sementara sirene serangan udara terdengar di sebagian besar wilayah Israel di tengah serangan rudal Iran yang sedang berlangsung.

Komando Front Dalam Negeri melaporkan bahwa roket ditembakkan ke arah Ashkelon di Israel selatan, dan sirene serangan udara terdengar di Israel utara dan tengah serta di berbagai wilayah Dataran Tinggi Golan. Militer Israel mengatakan bahwa sistem pertahanannya mencegat rudal yang diluncurkan dari Iran.

Sejak 13 Juni, Israel telah melancarkan serangan terhadap Iran, menargetkan fasilitas nuklir, pangkalan rudal, pemimpin militer, dan ilmuwan nuklir. Ratusan orang meninggal akibat serangan tersebut. Sementara serangan Iran dilaporkan menewaskan sekitar 25 warga Israel.

Aljazirah melaporkan kerusakan yang terjadi di Israel selama sepuluh hari terakhir sangatlah parah. Sebagian besar kerusakan terjadi di Israel tengah dan juga di Haifa, sebuah kota yang sangat strategis yang telah dilanda serangan berulang kali.

Dinamika serangan tanpa henti ini telah mendorong lebih dari 30.000 warga Israel mengajukan kompensasi. Beberapa ratus orang harus mencari perumahan alternatif. Pemerintah setempat membayar lebih dari 4 juta dolar AS per hari untuk mencoba mengakomodasi kebutuhan mendesak ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Iran Eksekusi Mati Agen Mossad Israel di Dalam Negeri

 

 

 

 Iran telah mengeksekusi seorang tahanan bernama Mohammadamin Shayesteh (MS). Ia dijatuhi hukuman mati usai dinyatakan bersalah karena terbukti bekerja untuk badan intelijen Israel, Mossad. Demikian laporan kantor berita semi-resmi Tasnim, pada Senin (23/6/2025).

MS ditangkap pada akhir tahun 2023. Saat itu, ia dideskripsikan sebagai "kepala tim siber" yang berafiliasi dengan Mossad, badan intelijen Israel.

Eksekusi mati atas MS dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, yang diperparah dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS). Pada Sabtu (21/6/2025), Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa militer negaranya telah berhasil menyerang tiga titik fasilitas nuklir di Iran.

Teheran selama ini menuding Mossad sebagai dalang di balik sejumlah operasi sabotase dan pembunuhan ilmuwan di wilayah Iran. Karena itu, langkah eksekusi mati tersebut mencerminkan sikap tegas Iran dalam menghadapi infiltrasi intelijen asing, khususnya dari Israel.

Teheran memandang, Mossad selama ini didukung negara-negara Barat dalam menerapkan agenda-agenda destabilisasi di kawasan Timur Tengah.

Selama puluhan tahun bersitegang dengan Israel, Iran telah menangkap banyak orang atas dugaan keterkaitan dengan Mossad. Tak sedikit pula di antaranya yang dihukum mati oleh Republik Islam ini.

Dari berbagai kasus, mayoritasnya dituduh telah melakukan penyadapan, sabotase, dan upaya pembunuhan. Semuanya dikaitkan dengan tujuan melemahkan program nuklir Iran.

Sebelumnya, Lembaga Peradilan Iran mempersiapkan langkah-langkah hukum yang tegas terhadap siapapun individu yang diduga menjadi mata-mata musuh. Hukuman yang keras pun menanti warga yang menjadi tentara bayaran untuk Israel.

"Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah orang telah diidentifikasi terlibat dalam kegiatan mata-mata. Orang-orang ini akan dihukum atas perbuatan keji mereka dalam waktu sesingkat-singkatnya," ujar Juru Bicara Kehakiman Iran, Asghar Jahangir, dilansir Aljazirah, Selasa (17/6/2025).

Adapun pada Ahad (15/6/2025) lalu, Teheran menyatakan telah menangkap dua individu yang dicurigai sebagai anggota Mossad. Menurut laporan Tasnim, kedua orang itu ditahan di Provinsi Alborz. Sebelum diringkus, mereka sedang mempersiapkan bahan peledak dan memasang sejumlah perangkat elektronik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share this Post