News Forex, Index & Komoditi ( Jumat, 20 Juni 2025 )

News  Forex,  Index  &  Komoditi

(  Jum’at,  20  Juni  2025  )

 

Tekanan The Fed Tahan Laju Harga Emas Global Meski Tensi Geopolitik Meningkat

 

 Harga emas bergerak mendatar di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik yang menyeimbangkan tekanan dari sikap hawkish Federal Reserve (The Fed). Berdasarkan data Reuters pada Jumat (20/6/2025), harga emas di pasar spot turun tipis 0,1% ke level US$3.365,79 per troy ounce. Sementara itu, harga emas berjangka AS melemah 0,7% ke posisi US$3.382,80 per troy ounce. Adapun, pasar keuangan Amerika Serikat ditutup pada hari Kamis untuk memperingati Hari Juneteenth. Dolar AS juga menguat tipis, membuat harga logam mulia dalam denominasi dolar menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Ahli Strategi Komoditas ANZ Soni Kumari menjelaskan, pernyataan Federal Reserve yang mengindikasikan bahwa risiko inflasi masih tinggi mengurangi peluang pemangkasan suku bunga lanjutan. "Hal ini yang memberikan tekanan pada harga emas,” ujar Kumari.

The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Namun, proyeksi para pengambil kebijakan menunjukkan hanya dua kali pemangkasan suku bunga pada tahun ini—lebih lambat dibandingkan ekspektasi sebelumnya—di tengah prospek ekonomi yang semakin kompleks. Ketua The Fed Jerome Powell pun mengingatkan agar tidak terlalu bergantung pada proyeksi tersebut. Dia menegaskan risiko inflasi masih signifikan, apalagi dengan adanya ancaman tarif impor yang lebih tinggi. Di sisi geopolitik, konflik Israel dan Iran kembali memanas. Israel membombardir target nuklir di Iran, sementara Iran membalas dengan rudal yang menghantam rumah sakit di Israel. Belum terlihat adanya tanda-tanda deeskalasi dari kedua belah pihak. Emas umumnya dipandang sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi. Namun, dalam lingkungan suku bunga tinggi, daya tarik emas cenderung berkurang karena tidak memberikan imbal hasil (yield). Pada perkembangan lain, harga platinum anjlok 3,7% menjadi US$1.269,30 per troy ounce setelah sempat menyentuh level tertinggi sejak September 2014 di awal sesi perdagangan. “Ketika reli tajam menembus level teknikal penting seperti US$1.000, biasanya akan memicu aksi beli dari investor dan spekulan. Namun, lonjakan harga yang terlalu cepat sering kali tidak ditopang oleh fundamental dan rentan terhadap aksi ambil untung,” tambah Kumari. Logam mulia lainnya juga melemah. Harga palladium turun hampir 1,1% ke US$1.038,56 per troy ounce, sedangkan perak turun 1,4% ke US$36,21 per troy ounce.

 

 

 

 

 

 

 

 

Harga Minyak Dunia Melonjak Hampir 3%, Pasar Cemas Konflik Israel-Iran Meluas

 

 Harga minyak dunia melonjak hampir 3% pada Kamis (19/6), dipicu oleh meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran yang memicu kekhawatiran pasar mengenai potensi gangguan pasokan energi global.

Ketidakjelasan mengenai kemungkinan keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik tersebut turut memperbesar kecemasan investor.

Harga minyak mentah Brent untuk pengiriman berjangka ditutup naik sebesar US$ 2,15 atau 2,8%, menjadi US$ 78,85 per barel. Ini merupakan level penutupan tertinggi sejak 22 Januari 2025.

Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juli naik US$ 2,06 atau 2,7% ke level US$ 77,20 per barel pada pukul 13.30 waktu setempat.

Kenaikan harga ini terjadi di tengah volume perdagangan yang lebih rendah akibat hari libur federal di Amerika Serikat.

Lonjakan harga didorong oleh aksi militer saling serang antara kedua negara: Israel dilaporkan membombardir fasilitas nuklir Iran, sementara Iran membalas dengan meluncurkan rudal dan pesawat nirawak ke wilayah Israel, setelah sebelumnya menyerang sebuah rumah sakit.

Tidak ada indikasi bahwa kedua pihak berniat mengakhiri eskalasi. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa Teheran akan membayar harga penuh, sementara pemerintah Iran memperingatkan agar tidak ada pihak ketiga yang terlibat dalam konflik ini.

Gedung Putih pada hari Kamis menyampaikan bahwa Presiden AS Donald Trump akan memutuskan dalam dua pekan ke depan apakah negaranya akan ikut campur dalam konflik Israel-Iran. Ketidakpastian ini menambah kekhawatiran pasar terhadap stabilitas pasokan energi global.

Rory Johnston, analis dan pendiri buletin Commodity Context, menyatakan bahwa konsensus di pasar mulai terbentuk bahwa AS kemungkinan besar akan terlibat dalam bentuk tertentu.

Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), dengan produksi sekitar 3,3 juta barel minyak mentah per hari.

Sekitar 18 juta hingga 21 juta barel minyak dan produk turunannya dikirim melalui Selat Hormuz setiap hari, jalur pelayaran penting yang terletak di selatan Iran. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik bisa mengganggu distribusi global minyak.

Helima Croft, analis dari RBC Capital, menilai bahwa risiko gangguan energi skala besar akan meningkat tajam apabila Iran merasa berada dalam ancaman eksistensial. Ia juga memperingatkan bahwa keterlibatan AS bisa memicu serangan langsung terhadap kapal tanker dan infrastruktur energi di kawasan.

JP Morgan dalam catatannya pada Kamis menyatakan bahwa dalam skenario ekstrem—yakni bila konflik meluas dan menutup Selat Hormuz—harga minyak dapat melonjak hingga US$ 120 hingga US$ 130 per barel.

Sementara itu, Goldman Sachs pada Rabu memperkirakan bahwa premi risiko geopolitik sekitar US$ 10 per barel masih masuk akal, terutama mengingat potensi gangguan pasokan dari Iran, yang bisa mendorong harga Brent di atas US$ 90.

Meskipun ketegangan di kawasan Timur Tengah mereda dalam waktu dekat, analis senior Price Futures Group, Phil Flynn, berpendapat bahwa harga minyak kemungkinan tidak akan kembali ke kisaran rendah US$ 60 per barel seperti sebulan lalu.

“Saya pikir konflik ini telah mengguncang pasar dari sikap puas dirinya,” ujar Flynn. “Pasar telah meremehkan risiko geopolitik selama ini.”

Namun, lembaga pemeringkat DBRS Morningstar memperkirakan bahwa lonjakan harga minyak ini bersifat sementara.

Dalam sebuah catatan yang dirilis Kamis, mereka menyebutkan bahwa harga minyak yang terlalu tinggi dapat menekan ekonomi global melalui beban biaya impor dan menurunkan permintaan. Selama konflik tidak terus memburuk, premi risiko dari konflik diperkirakan akan menghilang, dan harga akan kembali stabil.

Di sisi lain, Rusia menyerukan agar OPEC+ tetap melanjutkan rencana peningkatan produksi minyak. Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, menyatakan dalam forum ekonomi di St. Petersburg bahwa aliansi produsen minyak tersebut sebaiknya bersikap tenang dan tidak menciptakan kekhawatiran baru di pasar.

“OPEC+ harus melanjutkan rencananya dengan tenang dan tidak menakut-nakuti pasar dengan proyeksi yang berlebihan,” ujar Novak.

Bursa Asia Pasifik Beragam Menanti data Ekonomi China dan Cermati Konflik Israel-Iran

 

Pasar Asia-Pasifik diperdagangkan bervariasi pada hari Jumat (20/6/2025) seiring investor menanti rilis data ekonomi dari China dan mencermati eskalasi ketegangan antara Israel dan Iran.

China dijadwalkan mengumumkan suku bunga pinjaman satu tahun dan lima tahun untuk bulan Juni dalam waktu dekat. Data ini dinantikan sebagai indikator arah kebijakan moneter negara tersebut di tengah perlambatan ekonomi global.

Sementara itu, perhatian investor juga tertuju pada konflik di Timur Tengah, khususnya hubungan antara Israel dan Iran.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dilaporkan sedang mempertimbangkan apakah akan memberikan dukungan militer kepada Israel dan melancarkan serangan terhadap Teheran.

Gedung Putih menyatakan bahwa keputusan akhir akan diambil dalam dua minggu ke depan.

Di Jepang, indeks acuan Nikkei 225 dibuka naik 0,24%, sedangkan indeks Topix bergerak mendatar.

Data inflasi terbaru menunjukkan bahwa tingkat inflasi inti Jepang naik menjadi 3,7% pada Mei, level tertinggi sejak Januari 2023.

Angka ini melebihi ekspektasi ekonom yang disurvei oleh Reuters sebesar 3,6%, dan juga lebih tinggi dari inflasi bulan April yang tercatat 3,5%. Inflasi inti ini tidak mencakup harga makanan segar.

Pasar Korea Selatan juga mencatatkan kenaikan. Indeks Kospi naik sebesar 0,45%, sementara indeks Kosdaq yang berisi saham-saham kapitalisasi kecil menguat 0,59%.

Di Australia, indeks S&P/ASX 200 memulai hari dengan kenaikan 0,23%.

Sementara itu, kontrak berjangka indeks Hang Seng Hong Kong berada di level 23.185, lebih rendah dibandingkan dengan penutupan terakhir indeks HSI yang berada di angka 23.237,74, menunjukkan kemungkinan pembukaan pasar yang lebih lemah.

Di sisi lain, kontrak berjangka saham Amerika Serikat mengalami penurunan dalam perdagangan awal sesi Asia. Penurunan ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran atas perkembangan terbaru di kawasan Timur Tengah.

Perdagangan reguler di pasar saham AS ditutup pada hari sebelumnya dalam rangka memperingati hari libur Juneteenth.

 

Sinyal Bahaya! Pasar Saham Dunia Terancam Ambruk Jika AS Terlibat Perang Israel-Iran

 

Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali meningkat, memicu kekhawatiran para pelaku pasar bahwa keterlibatan militer Amerika Serikat dalam konflik antara Israel dan Iran dapat memicu aksi jual mendadak (knee-jerk selloff) di pasar keuangan global.

Selain itu, para ekonom memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak yang dramatis dapat memperburuk tekanan terhadap perekonomian global yang telah terbebani oleh tarif perdagangan Presiden Donald Trump.

Ancaman Serangan AS: Efek Langsung terhadap Pasar

Menurut Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services, jika Presiden Trump memutuskan untuk meningkatkan keterlibatan militer AS di Timur Tengah, reaksi awal pasar kemungkinan akan negatif.

"Saya bisa melihat reaksi spontan pasar adalah: 'ini kabar buruk'," ujar Carlson.

"Namun eskalasi cepat bisa juga mempercepat penyelesaian konflik," tambahnya.

Pernyataan Carlson mengacu pada ketegangan antara retorika Trump yang agresif dan sinyal bahwa diplomasi masih memungkinkan.

Pada Rabu, Trump menjawab pertanyaan wartawan dengan menyebut bahwa Iran telah mengajukan diri untuk mengadakan pembicaraan di Gedung Putih, meskipun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menolak permintaan AS untuk menyerah tanpa syarat.

Reaksi Pasar Global: Emas Naik, Imbal Hasil Obligasi Turun

Pasar keuangan merespons ketegangan dengan mengalihkan modal ke aset aman. Imbal hasil obligasi pemerintah AS (Treasury yield) turun, mencerminkan lonjakan permintaan terhadap instrumen utang sebagai safe haven. Sementara itu, dolar AS menguat hampir 1% terhadap yen Jepang dan franc Swiss sejak pekan lalu.

Peter Cardillo, Chief Market Economist di Spartan Capital Securities, menyatakan, "Saya pribadi tidak berpikir AS akan terlibat penuh dalam perang ini. Tapi jika itu tak terhindarkan, maka dampaknya pada pasar akan langsung terasa. Harga emas akan melonjak, imbal hasil obligasi akan turun, dan dolar akan menguat."

Proyeksi Harga Minyak: Potensi Tembus US$ 100 per Barel

Laporan dari Barclays menyebutkan bahwa harga minyak mentah bisa melonjak hingga US$ 85 per barel jika ekspor Iran turun hingga setengahnya. Dalam skenario terburuk, harga bisa menyentuh US$ 100 per barel jika konflik meluas. Saat ini, harga Brent Crude tercatat sekitar US$ 76 per barel.

Ekonom dari Citigroup memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak secara material dapat menjadi guncangan negatif terhadap pasokan global, yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi—tantangan besar bagi bank sentral dunia yang saat ini sedang bergulat dengan risiko dari kebijakan tarif perdagangan.

Ketidakpastian Meningkat di Tengah Ancaman Tarif dan Perang

Ketidakpastian geopolitik ini datang di tengah kekhawatiran yang sudah ada terhadap kebijakan perdagangan Trump. Bank Dunia pekan lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,3%, turun 0,4 poin persentase, dengan alasan tarif yang lebih tinggi dan ketidakpastian yang meningkat.

Menurut Osman Ali, Global Co-Head of Quantitative Investment Strategies, investor masih berharap bahwa konflik ini tidak akan berubah menjadi perang regional besar. "Sampai ada alasan kuat untuk percaya bahwa konflik ini akan meluas dan melibatkan AS secara langsung, pasar akan mencoba untuk mengabaikan ketidakpastian ini sebisa mungkin."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

The Fed: Kenaikan Harga Akibat Tarif Akan Terasa dalam Beberapa Bulan ke Depan

 

Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan bahwa inflasi harga barang-barang akan meningkat sepanjang musim panas ini, seiring tarif impor Presiden Donald Trump mulai berdampak pada konsumen AS.

“Pada akhirnya, biaya tarif harus dibayar, dan sebagian akan dibebankan ke konsumen akhir,” kata Powell dalam konferensi pers pada Rabu (18/6) setelah The Fed kembali mempertahankan suku bunga acuannya.

 “Kita tahu itu karena perusahaan-perusahaan yang bilang begitu. Dan data masa lalu juga menunjukkan hal yang sama.”

Pernyataan Powell itu bertolak belakang dengan klaim pejabat pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang mengatakan bahwa tarif tinggi seperti 25% pada baja dan aluminium serta lebih dari 50% pada banyak produk China tidak akan diteruskan ke konsumen.

Mereka berargumen bahwa beberapa perusahaan memilih untuk tidak menaikkan harga dan produsen asing akan menanggung beban tersebut.

Namun, data menunjukkan dampaknya sudah terasa. Penerimaan bea masuk AS melonjak menjadi rekor US$ 23 miliar pada Mei 2025, hampir empat kali lipat dari Mei 2024 yang hanya US$ 6 miliar.

Dampak Tarif Pengaruhi Kebijakan Suku Bunga

Powell menegaskan bahwa tekanan inflasi dari tarif akan mempengaruhi waktu dan kecepatan pemangkasan suku bunga acuan.

Pada pertemuan FOMC, The Fed memproyeksikan akan ada dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin di 2025, namun memperlambat laju pelonggaran di tahun-tahun berikutnya karena tekanan harga yang meningkat akibat tarif.

“Kami melihat inflasi barang mulai naik sedikit,” ujarnya.

“Dan kami memang memperkirakan tren ini akan berlanjut selama musim panas.”

Ia menjelaskan bahwa butuh waktu bagi tarif barang untuk masuk ke rantai distribusi, karena banyak barang yang dijual saat ini adalah hasil impor dari sebelum tarif diberlakukan.

Ketika stok tersebut habis, mereka akan digantikan barang baru yang telah dikenai tarif.

“Kita mulai melihat dampaknya sekarang, dan kemungkinan besar akan lebih terasa dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Powell.

“Kami juga mencatat kenaikan harga di kategori tertentu, seperti komputer pribadi dan peralatan audiovisual, yang terkait langsung dengan tarif.”

Klaim Pemerintah vs Proyeksi The Fed

Sementara itu, dalam wawancara dengan podcast Pod Force One, Scott Bessent menyebut bahwa kenaikan harga konsumen dan produsen hanya sebesar 0,1 persen pada bulan lalu, dan menyebut angka tersebut sebagai yang “terbaik sejak 2020”.

“Semua prediksi kenaikan inflasi itu tidak berdasar,” ujarnya. Ia juga menyoroti kenaikan upah pekerja per jam sebagai indikator bahwa ekonomi tetap kuat.

Namun, Powell juga menambahkan bahwa ketidakpastian terkait tarif mulai mereda setelah Trump mundur dari ancaman tarif yang jauh lebih tinggi yang diumumkannya pada April, termasuk rencana tarif 145% atas barang-barang dari China.

“Saat itu kami memperkirakan tarif akan naik sangat tinggi, tapi belakangan estimasi tersebut diturunkan, meskipun masih tetap tinggi,” jelas Powell.

“Jadi kami terus menyesuaikan kebijakan kami secara real-time.”

Pembicaraan Dagang AS-China Kembali Digelar

Bessent mengatakan bahwa para pejabat AS kemungkinan akan kembali bertemu dengan mitra mereka dari China secara langsung dalam tiga pekan mendatang, menyusul kesepakatan informal di London pekan lalu untuk meredakan ketegangan tarif dan mengembalikan gencatan dagang ke jalurnya.

Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut soal pertemuan tersebut, namun menekankan bahwa China perlu menyeimbangkan ulang ekonominya dan fokus lebih besar pada konsumsi domestik ketimbang mengandalkan ekspor.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Korea Utara Kutuk Serangan Israel ke Iran: Seperti Kanker yang Mengancam Perdamaian

 

Korea Utara kembali secara terbuka mengutuk serangan Israel ke Iran. Pyongyang menyebut aksi tersebut sebagai tindakan yang mengerikan.

Tidak hanya itu, Korea Utara juga menyebut Israel sebagai entitas seperti kanker yang mengancam perdamaian Timur Tengah. Korea Utara juga menegaskan bahwa ada kekuatan lain yang mendukung Israel dari belakang.

Meski tidak menyebutnya secara tersurat, Korea Utara mungkin merujuk pada Amerika Serikat dan negara-negara Barat di balik aksi Israel.

"Korea Utara mengecam serangan Israel terhadap Iran sebagai tindakan agresi yang mengerikan, yang melanggar kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara berdaulat dan merupakan kejahatan yang tidak dapat dimaafkan terhadap kemanusiaan," ungkap salah seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara, dikutip kantor berita resmi KCNA.

Lebih lanjut, kementerian tersebut juga menyebut para Zionis Israel telah membawa perang baru ke Timur Tengah, lengkap dengan dukungan kekuatan di balik layar yang dengan bersemangat melindungi.

Mengutip Yonhap, KCNA pada hari Kamis (19/6) mengabarkan bahwa Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyuarakan kekhawatiran serius mengenai serangan militer Israel terhadap Iran.

Secara tegas, Korea Utara mengecam Israel karena meningkatkan bahaya perang besar-besaran di Timur Tengah.

Korea Utara jelas berada di pihak Iran. Setelah menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1973, kedua negara memiliki hubungan dekat meski dikenai sanksi internasional atas program persenjataan mereka.

Korea Utara dan Iran juga diketahui telah menyediakan senjata bagi Rusia untuk mendukung perangnya melawan Ukraina.

Saat Israel mulai menyerang Iran tanggal 13 Juni 2025, Korea Utara langsung mengecam Israel sembari menyatakan dukungannya terhadap Iran atau Suriah untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap sikap anti-AS.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

China Evakuasi Warganya dari Israel ke Mesir Mulai Jumat, Imbas Konflik dengan Iran

 

Kedutaan Besar China di Israel akan memfasilitasi evakuasi warganya yang ingin meninggalkan wilayah tersebut mulai Jumat (20/6), menyusul eskalasi konflik antara Israel dan Iran.

Dalam pengumuman resminya yang dirilis Kamis (19/6), Kedubes China menyatakan bahwa evakuasi akan dilakukan secara bertahap dan menggunakan bus menuju Perbatasan Taba di selatan Israel, yang berbatasan langsung dengan Mesir. Perjalanan ini akan menempuh jarak sekitar 360 kilometer dari Tel Aviv.

 “Kami akan membantu warga negara China yang ingin keluar dari Israel menuju Mesir,” tulis pihak Kedutaan.

Langkah ini diambil seiring meningkatnya eskalasi konflik Israel-Iran yang telah menimbulkan banyak korban.

Kedutaan memperingatkan bahwa “kemungkinan situasi akan memburuk lebih jauh tidak dapat dikesampingkan.”

Otoritas China juga telah mengimbau warganya di Israel untuk meningkatkan kewaspadaan dan menghindari perjalanan yang tidak mendesak, serta segera mendaftarkan diri jika ingin ikut dalam proses evakuasi yang difasilitasi pemerintah.

Langkah evakuasi ini menunjukkan kekhawatiran Beijing terhadap keselamatan warganya di kawasan konflik dan merupakan bagian dari upaya diplomatik China dalam menjaga stabilitas serta perlindungan warga negaranya di luar negeri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Serangan Terbaru Israel di Gaza Tewaskan 140 Orang dalam 24 Jam

 

Di tengah kesibukannya menyerang Iran, tentara Zionis Israel masih konsisten membantai rakyat Palestina. Serangan terbaru Israel di Gaza menewaskan 140 orang dalam 24 jam.

Kementerian Kesehatan Gaza pada hari Rabu (18/6) melaporkan, setidaknya 40 orang yang tewas selama sehari terakhir akibat tembakan dan serangan udara Israel.

Pada hari yang sama, serangan udara terpisah terhadap rumah-rumah di kamp pengungsi Maghazi, lingkungan Zeitoun dan Kota Gaza menewaskan sedikitnya 21 orang. Lima orang lain juga tewas dalam serangan udara di sebuah perkemahan di Khan Younis di Gaza selatan.

Otoritas kesehatan terkait juga melaporkan 14 orang tewas dalam tembakan Israel terhadap kerumunan warga Palestina yang menunggu truk bantuan yang dibawa oleh PBB di sepanjang jalan Salahuddin di Gaza tengah.

Terkait serangan di Salahuddin, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) berdalih bahwa daerah itu memang zona pertempuran aktif. Para penduduk Gaza yang mendekat ke area tersebut pun mereka anggap sebagai ancaman.

Mengutip laporan Reuters hari Selasa (17/6), sebanyak 397 warga Palestina telah kehilangan nyawa saat sedang berusaha mendapatkan bantuan makanan telah tewas. Di saat yang sama, lebih dari 3.000 orang terluka sejak pengiriman bantuan dimulai kembali pada akhir Mei.

Sedikitnya 59 orang terbunuh dalam sebuah serangan tank Israel ke sebuah kerumunan warga Gaza yang sedang berebut bantuan makanan pada hari Selasa.

Saat ini Israel mengizinkan bantuan masuk melalui badan yang mereka setujui, yakni Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF). Badan tersebut telah mengoperasikan beberapa lokasi distribusi di daerah yang dijaga oleh pasukan Israel.

Namun, PBB menolak sistem tersebut karena dianggap tidak memadai, berbahaya, dan melanggar aturan imparsialitas kemanusiaan.

Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina, mengakui bahwa sistem penyaluran bantuan yang ada saat ini dikerjakan dengan buruk dan menjadi aib bagi kemanusiaan.

"Sistem penyaluran bantuan saat ini adalah aib & noda pada kesadaran kolektif kita," tulis Lazzarini dalam akun X pribadinya.

Program Pangan Dunia PBB, WFP, pada hari Rabu menyerukan peningkatan besar dalam distribusi pangan di Gaza.

WFP mengatakan, 9.000 metrik ton yang telah dikirim selama empat minggu terakhir di Gaza merupakan sebagian kecil dari apa yang dibutuhkan. Situasi ini membuat ancaman kelaparan terus menghantui.

"Ketakutan akan kelaparan dan kebutuhan mendesak akan makanan menyebabkan banyak orang berkumpul di sepanjang rute transportasi umum, dengan harapan dapat mencegat dan mengakses pasokan kemanusiaan. Segala bentuk kekerasan yang mengakibatkan orang-orang yang kelaparan meninggal atau terluka ketika mencari bantuan untuk menyelamatkan nyawa adalah hal yang sepenuhnya tidak dapat diterima," ungkap WFP dalam pernyataannya.

Sejak Oktober 2023, tentara Zionis Israel telah membunuh lebih dari 55.000 penduduk Palestina yang tinggal di Gaza. Serangan Israel membuat hampir semua penduduk wilayah itu mengungsi dan menyebabkan krisis kelaparan yang parah.

 

 

 

 

 

Israel Tutup Bandara Ben-Gurion, Larang Warga Negaranya Pergi ke Luar Negeri

 

Pemerintah Israel secara resmi melarang warga negaranya untuk bepergian ke luar negeri, menyusul eskalasi terbaru dalam konflik dengan Iran.

Kebijakan darurat ini diumumkan setelah meningkatnya kekhawatiran akan kemungkinan serangan balasan Iran yang menyasar infrastruktur penerbangan Israel, termasuk bandara internasional.

Bandara Ben-Gurion Ditutup “Hingga Pemberitahuan Selanjutnya”

Mengutip middleeastmonitor, langkah drastis ini mencakup penutupan Bandara Internasional Ben-Gurion—gerbang utama internasional Israel—yang kini ditutup “hingga pemberitahuan lebih lanjut”.

Menurut laporan Haaretz, pemerintah telah menginstruksikan maskapai domestik untuk tidak mengizinkan warga negara Israel naik pesawat yang keluar dari negeri itu.

Keputusan ini didasari kekhawatiran serius dari aparat keamanan bahwa bandara dapat menjadi sasaran strategis serangan balasan Iran. Risiko kepanikan massa dan potensi jatuhnya banyak korban jiwa bila terjadi serangan di area padat seperti bandara menjadi pertimbangan utama.

Hanya Warga Asing yang Diizinkan Keluar

Menteri Transportasi Israel, Miri Regev, mengumumkan bahwa hanya warga asing—termasuk diplomat dan turis—yang saat ini diperbolehkan meninggalkan Israel. “Kami tidak akan mengizinkan warga Israel untuk pergi ke luar negeri pada tahap ini,” ujar Regev dalam pernyataannya.

Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan operasi pemulangan bagi lebih dari 100.000 warga Israel yang saat ini masih berada di luar negeri. Regev menegaskan bahwa proses repatriasi ini akan dilakukan secara “bertahap dan terencana”.

Kritik dari Dalam Pemerintahan: Gantz Menyerang Regev

Namun kebijakan ini tak lepas dari kontroversi. Benny Gantz, Ketua Partai Persatuan Nasional dan anggota kabinet perang Israel, melontarkan kritik tajam terhadap Menteri Regev. Dalam unggahannya di platform X, Gantz menyebut kebijakan ini “tidak manusiawi” dan menyampaikan keprihatinan atas banyaknya warga Israel yang sangat membutuhkan kepulangan.

“Seorang nenek yang menunggu operasi; seorang janda muda yang meninggalkan anaknya di Israel untuk berduka sendirian—ini hanya dua dari ribuan orang yang butuh pulang. Tugas Anda, Menteri, bukan untuk menghakimi, tapi memastikan mereka pulang dengan selamat,” tulis Gantz.

Eskalasi Dipicu Serangan Israel ke Bandara Mashhad, Iran

Larangan ini muncul setelah Israel melancarkan serangan ke Bandara Internasional Mashhad di Iran—sebuah tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan meningkatkan eskalasi konflik secara signifikan.

Meski hingga kini Iran belum melakukan serangan balasan langsung terhadap infrastruktur penerbangan Israel, kekhawatiran bahwa bandara Israel kini menjadi target sah kian menguat.

Langkah pencegahan ini dinilai sebagai bagian dari upaya defensif Israel untuk melindungi warga dan mencegah korban massal di tengah situasi yang kian memanas.

 

 

Warga Eropa Ramai-Ramai Hindari AS, Harga Tiket Pesawat Transatlantik Anjlok!

 

 

Tarif penerbangan transatlantik antara Eropa dan Amerika Serikat telah anjlok ke tingkat yang terakhir terlihat sebelum pandemi COVID-19.. Photographer: Andrew

Tarif penerbangan transatlantik antara Eropa dan Amerika Serikat telah anjlok ke tingkat yang terakhir terlihat sebelum pandemi COVID-19.

Penurunan ini mencerminkan tren yang lebih luas: jumlah wisatawan Eropa yang bepergian ke AS menurun secara signifikan akibat kekhawatiran terhadap kebijakan perbatasan AS dan kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump.

Penurunan Jumlah Wisatawan Eropa Berdampak Langsung pada Maskapai

Data dari Kantor Perjalanan dan Pariwisata Nasional AS menunjukkan bahwa kedatangan dari luar negeri ke Amerika Serikat turun 2,8% pada Mei dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan terbesar berasal dari Eropa Barat, yang merosot 4,4%, dengan Jerman dan Denmark mengalami penurunan paling tajam, masing-masing 19% dan 20%.

Pemesanan perjalanan ke AS untuk bulan Juli juga menunjukkan tren negatif, dengan penurunan sebesar 13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut data OAG Aviation.

Tren ini menjadi pukulan berat bagi maskapai Eropa seperti Lufthansa dan Air France KLM, yang sudah menghadapi tekanan dari kenaikan biaya bahan bakar, upah tenaga kerja, dan gangguan rute akibat konflik di Timur Tengah. Pengalihan rute untuk menghindari zona konflik telah menambah waktu dan biaya perjalanan dari Eropa ke Asia.

Harga Tiket Anjlok, Tapi Pendapatan Maskapai Tertekan

Data dari Cirium menunjukkan bahwa rata-rata tarif ekonomi pulang-pergi dari AS ke Eropa pada kuartal pertama 2025 turun 7% dibandingkan tahun lalu. Beberapa rute mencatat penurunan drastis, termasuk rute Atlanta-London yang turun hingga 55%.

Aplikasi pemesanan perjalanan Hopper melaporkan bahwa tarif rata-rata tiket pulang-pergi dari AS ke Eropa pada musim panas ini adalah $817, turun 10% dari tahun lalu dan sebanding dengan harga tahun 2019 sebelum pandemi.

Meskipun harga tiket menurun dan konsumen AS cenderung menunda keputusan perjalanan demi mencari harga terbaik, turunnya minat wisatawan Eropa telah menyebabkan banyak kursi pesawat tidak terisi secara optimal. Hal ini menjadikan musim panas tahun ini sebagai periode yang lebih sulit bagi maskapai untuk memperoleh laba dari rute transatlantik.

Kebijakan Trump dan Ketegangan Politik Berkontribusi pada Penurunan

Berbagai kebijakan Presiden Trump dinilai sebagai penyebab utama keraguan wisatawan Eropa untuk mengunjungi AS. Pernyataan kontroversial seperti rencana aneksasi Greenland, perang dagang global, serta pengetatan kebijakan imigrasi dan perbatasan, membuat banyak warga Eropa berpikir ulang sebelum merencanakan perjalanan ke Amerika.

Situasi ini diperburuk oleh penguatan nilai dolar AS yang membuat biaya perjalanan menjadi lebih mahal bagi wisatawan Eropa. Jerman bahkan memperbarui peringatan perjalanannya ke AS pada Maret lalu, menekankan bahwa visa bukan jaminan masuk ke wilayah AS.

Maskapai Fokuskan Pemasaran ke Wisatawan AS

Beberapa maskapai mulai mengalihkan fokus pemasarannya ke pasar AS. Lufthansa, misalnya, akan lebih agresif mempromosikan penerbangan transatlantik kepada warga Amerika karena permintaan dari AS ke Eropa masih tinggi. Data dari United Airlines dan Delta menunjukkan bahwa mayoritas permintaan untuk penerbangan internasional jarak jauh berasal dari AS, bahkan mencapai 80% dalam kasus Delta.

United Airlines mencatat bahwa meskipun pemesanan dari Eropa turun 6% pada kuartal pertama, permintaan dari penumpang asal AS menutup penurunan tersebut. Sementara itu, American Airlines tetap optimistis terhadap pasar transatlantik. “Kami merasa sangat percaya diri dengan pasar ini,” ujar CFO American Airlines, Devon May.

Hopper mencatat bahwa jumlah penerbangan internasional yang dijadwalkan berangkat dari bandara AS pada musim panas ini meningkat 4,3% dibandingkan tahun lalu. Meski demikian, ketidakpastian tetap membayangi, terutama jika kebijakan pemerintahan Trump terus memicu kekhawatiran di kalangan pelancong internasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pesawat 'Kiamat' Milik Donald Trump Terbang Saat Konflik Timur Tengah Memanas

 

Sebuah pesawat militer AS yang dijuluki "doomsday plane" atau pesawat kiamat dilaporkan mengudara pada Minggu malam waktu setempat, di tengah meningkatnya eskalasi konflik antara Iran dan Israel.

Pesawat tersebut, Boeing E-4B ‘Nightwatch’, dikenal sebagai pusat komando udara bagi Presiden Amerika Serikat dalam situasi darurat nasional, termasuk potensi perang nuklir.

Boeing E-4B: Komando Darurat Udara AS

Mengutip Unilad, Boeing E-4B adalah pesawat komando strategis milik Angkatan Udara AS yang dirancang untuk tetap berfungsi di tengah serangan nuklir atau kehancuran pusat kendali di darat. AS memiliki empat unit pesawat ini, dan masing-masing dilengkapi dengan teknologi tahan terhadap ledakan nuklir serta gelombang elektromagnetik (EMP).

Pesawat E-4B digunakan sebagai markas bergerak bagi presiden dan petinggi militer AS untuk mengoordinasikan respons militer dalam skenario terburuk, termasuk eksekusi perintah perang darurat dan koordinasi dengan otoritas sipil.

Menurut Angkatan Udara AS, “Dalam keadaan darurat nasional atau kehancuran pusat kendali di darat, pesawat ini menyediakan pusat komando, kontrol, dan komunikasi yang sangat tahan banting untuk mengarahkan kekuatan AS.”

Jalur Penerbangan Tidak Biasa Picu Spekulasi

Pesawat E-4B lepas landas dari Pangkalan Udara Barksdale di Louisiana pukul 17.56 waktu ET, dan mendarat di Joint Base Andrews, Maryland, pukul 22.01 waktu ET, menempuh rute penerbangan selama lebih dari empat jam.

Meskipun tidak jarang E-4B mengudara dalam rangka pelatihan rutin, jalur penerbangan kali ini terbilang tidak biasa dan terjadi saat ketegangan global meningkat, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Latar Belakang Ketegangan: Serangan Balasan Iran-Israel

Sejak 13 Juni lalu, Israel dilaporkan melancarkan serangkaian serangan udara terhadap fasilitas strategis di Tehran. Serangan ini belum secara resmi melibatkan militer AS, namun Iran telah menanggapi dengan meluncurkan rudal balasan ke wilayah Israel, termasuk beberapa yang berhasil menembus sistem pertahanan udara Iron Dome.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran global akan pecahnya konflik yang lebih luas, di mana Amerika Serikat diperkirakan akan memainkan peran besar, baik secara militer maupun diplomatik.

Respons Trump: Peringatan Terbuka untuk Iran

Presiden AS Donald Trump, melalui unggahan terbaru di platform Truth Social, kembali melontarkan retorika keras terhadap Iran. Dalam salah satu pernyataannya, Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat telah “menguasai sepenuhnya langit Iran”, menyoroti keunggulan teknologi militer AS dibanding sistem pertahanan Iran.

Trump juga mengklaim bahwa intelijen AS mengetahui keberadaan Pemimpin Tertinggi Iran, meski untuk saat ini ia menegaskan tidak akan melakukan serangan langsung terhadap tokoh tersebut.

"Kami tahu persis di mana 'Pemimpin Tertinggi' bersembunyi. Dia adalah target yang mudah... tapi kami tidak akan menghabisinya, setidaknya untuk saat ini,” tulis Trump. Ia menambahkan bahwa kesabaran AS semakin menipis.

Masih Belum Ada Konfirmasi Resmi

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Gedung Putih atau Pentagon mengenai alasan pasti di balik pengaktifan pesawat E-4B minggu ini.

Meski E-4B secara teknis memang menjalani misi pelatihan rutin, namun pengaktifannya dalam konteks geopolitik yang sedang memanas menambah spekulasi publik terkait kesiapan militer AS menghadapi kemungkinan eskalasi besar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Netanyahu Akui Kehancuran yang Menyakitkan Akibat Serangan Iran

 

 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel saat ini menderita "kehilangan yang banyak, kehilangan yang menyakitkan" akibat serangan Iran. "Tapi kami melihat jalur depan (peperangan) kita kuat, dan negara Israel lebih kuat dari sebelumnya," kata Netanyahu melanjutkan.

Dilaporkan Times of Israel dilansir Anadolu, Rabu (18/6/2025), Netanyahu juga berterima kasih kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk berada di sisi bersama Israel.

"Kami dalam komunikasi berkelanjutan, termasuk semalam, kami berbincang secara hangat," kata Netanyahu dalam keterangan lewat video.

Perang Iran-Israel telah memasuki hari ketujuh sejak Israel melancarkan serangan pada Jumat pekan lalu, termasuk menyerang fasilitas militer dan nuklir Iran. Republik Islam Iran pun langsung melancarkan serangan balasan.

Otoritas Israel mengatakan, sedikitnya 24 warga tewas terbunuh dan ratusan lainnya luka-luka sejak akibat serangan rudal Iran. Sementara, di Iran, 585 orang meninggal dunia dan lebih dari 1.300 luka-luka akibat serangan Israel.

Hingga Rabu, Iran terus merespons setiap serangan Israel dengan mengirim rudal-rudal balistik dan hipersonik. Pada Selasa (17/6/2025), Kementerian Pertahanan Iran mengatakan bahwa untuk pertama kalinya Iran menggunakan rudal jenis baru yang tidak bisa dideteksi saat menghancurkan kantor-kantor intelijen Israel, Mossad.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Iran, Brigadier General Reza Talaei-Nik, dikutip IRNA pada Selasa , mengatakan bahwa, "Pada serangan hari ini, kami meluncurkan rudal-rudal yang tidak bisa terlacak atau terintersep." Rudal jenis baru itu sukses menembus sistem pertahanan udara berlapis Israel yang didukung AS.

Merujuk serangan itu sebagai kejutan untuk musuh, Talaei-Nik menegaskan bahwa Israel akan menyaksikan datangnya rudal-rudal sejenis berikutnya. Menurutnya, target-target dihantam oleh rudal berpresisi tinggi meski menghadapi "lapisan sistem pertahanan" yang mengelilingi fasilitas intelijen Israel.

Talaei-Nik mengatakan serangan terbaru Iran menggambarkan betapa rapuhnya Israel, negara yang selama ini dianggap paling canggih dalam hal sistem intelijen dan keamanan. Ia pun mengeklaim bahwa Israel tidak siap untuk menghadapi perang jangka panjang.

"Berdasarkan 75 tahun pengalaman dan serangkaian faktor militer dan non-militer dan pertimbangan strategis lainnya, rezim Zionis tidak bisa bertahan dalam sebuah perang yang panjang," katanya.

Dia menambahkan, Angkatan Bersenjata Iran sebagai pencegahan telah disuplai sdengan persenjataan dan perlengkapan canggih sebagai antisipasi terhadap potensi serangan musuh.

"Banyak sistem canggih kami belum digunakan," ujar Talaei-Nik.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Rabu (18/6/2015), menegaskan Teheran tetap akan menang dalam konflik Iran-Israel dan kemungkinan keterlibatan Amerika Serikat di dalamnya. Perang antara Iran dan Israel telah memasuki hari keenam.

"Tuhan Yang Mahakuasa pasti akan membuat rakyat Iran benar-benar menang," kata Khamenei dalam sebuah pernyataan.

Serangan Israel terjadi saat Teheran sedang bernegosiasi dengan Amerika Serikat dan tidak tengah melakukan tindakan militer yang drastis, kata pemimpin tertinggi Iran tersebut.

Khamenei menegaskan bahwa Israel membuat kesalahan besar dengan menyerang Iran, seraya menambahkan bahwa Teheran memiliki rencana untuk "pembalasan lebih lanjut."

Duta Besar Iran untuk Prancis Mohammad Amin-Nejad pun menegaskan, Iran tidak akan menyetujui penyerahan tanpa syarat yang dituntut oleh Presiden AS Donald Trump di tengah konflik dengan Israel. Amin-Nejad menegaskan, serangan terhadap fasilitas militer Iran tidak akan memengaruhi kemampuan pertahanan negara Iran.

"(Ultimatum Trump) ini adalah keinginan yang sama seperti (pemimpin otoritas Israel) Benjamin Netanyahu … Itu tidak akan dilaksanakan sama sekali. Rakyat Iran bersatu dalam menghadapi agresi," kata Amin-Nejad kepada lembaga penyiaran BFMTV.

Iran juga menanggapi pernyataan seorang pejabat Uni Eropa (EU) yang menyerukan agar perang Iran-Israel dihentikan tetapi tidak mengecam Israel yang memulai konflik tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baqaei mengatakan upaya de-eskalasi tidak akan berhasil jika Israel sebagai pelaku agresi dan kejahatan perang tidak dikecam.

"Berhentilah menjadi pembela agresor," kata Baqaei dalam sebuah unggahan di X pada Selasa (17/6/2025), menanggapi pernyataan Perwakilan Tinggi EU untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Kaja Kallas.

Rusia telah memberikan peringatan kepada Amerika Serikat (AS) untuk tidak ikut menyerang Iran karena langkah itu akan secara radikal mengganggu stabilitas Timur Tengah. Hal itu diutarakan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov pada Rabu (18/6/2025), sambil menuding serangan Israel ke Iran berisiko memicu sebuah kehancuran nuklir.

Pada Januari 2025, Rusia dan Iran menandatangani perjanjian kerja sama strategis. Rusia diketahui juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel meski belakangan merenggang lantaran akibat perang Rusia-Ukraina.

Berbicara di sela-sela forum ekonomi di St Petersburg, Ryabkov kepada Interfax mengatakan, bahwa Moskow mendesak Washington untuk menahan diri untuk terlibat langsung dalam perang Iran-Israel. Menurut Ryabkov, intervensi AS bisa berujung pada destabilisasi kawasan sambil mengkritisi opsi-opsi yang bersifat spekulatif dan menerka-nerka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share this Post