News Forex, Index & Komoditi ( Kamis, 10 April 2025 )
News Forex, Index & Komoditi
( Kamis, 10 April 2025 )
Harga Emas Global Melonjak Usai Trump Umumkan Jeda Tarif Impor 90
Harga emas global melonjak setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan jeda tarif impor AS selama 30 hari dan menaikkan pungutan impor terhadap China. Dilansir Bloomberg, harga emas terus naik, mencatat lonjakan intraday terbesar dalam 5 tahun terakhir. Emas spot naik hingga 3,8% mencapai level US$3.095,13 per ons pada Rabu (9/4/2025). Emas yang digunakan sebagai investasi safe haven selama masa ketidakpastian politik dan keuangan, telah naik lebih dari US$400 pada 2025 dan mencapai rekor tertinggi US$3.167,57 per ons pada 3 April 2025 didorong permintaan aset lindung nilai yang kuat dan pembelian oleh bank sentral. Namun, harga emas sempat jeblok seiring dengan aksi jual global selama beberapa hari terakhir karena skala perombakan perdagangan Trump. Meskipun emas batangan adalah tempat berlindung tradisional, gangguan pasar yang ekstrem dapat mendorong investor untuk menjual aset tersebut guna menutupi kerugian di tempat lain. Kini, harga emas kembali bergeliat setelah Presiden AS Donald Trump menunda pemberlakukan skema tarif impor timbal balik (reciprocal tariffs) selama 90 hari sebagai tanggapan atas pendekatan dari puluhan negara. Trump juga menaikkan pungutan impor China menjadi 125%. Baca Juga : Tok! Donald Trump Tunda Penerapan Tarif Baru Impor Selama 90 Hari Di pasar keuangan global kemudian terjadi eksodus dari obligasi pemerintah AS berjangka lebih panjang. "Emas saat ini merupakan tempat berlindung yang aman karena kekhawatiran tentang stabilitas fiskal AS terus meningkat," kata kepala strategi komoditas di Saxo Bank AS, Ole Hansen dilansir dari Bloomberg pada Kamis (10/4/2025). Di sisi lain, The Fed memperingatkan bahwa ekonomi AS menghadapi risiko inflasi yang lebih tinggi di samping pertumbuhan yang lebih lambat. Menurut CME Fedwatch Tool, para pedagang kemudian memperkirakan peluang penurunan suku bunga The Fed sebesar 72% pada Juni 2025. Emas batangan dengan imbal hasil nol cenderung tumbuh subur dalam lingkungan suku bunga rendah. Investor kini mengamati indeks harga konsumen AS yang akan dirilis untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut. "Pada akhirnya, emas terus dilihat sebagai lindung nilai terhadap ketidakstabilan. Kami mendapat situasi di mana tarif menjadi masalah besar, dan Anda memiliki ekspektasi inflasi yang meningkat, dan itu diwujudkan dengan imbal hasil yang lebih tinggi," kata kepala strategi komoditas di TD Securities, Bart Melek dilansir Reuters.
Harga Minyak Dunia Menguat Usai Trump Umumkan Jeda Tarif 90 Hari
Harga minyak mentah berhasil rebound dan ditutup menguat lebih dari 4%, usai cetak posisi terendah dalam 4 tahun di awal sesi. Kebangkitan harga minyak datang setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan dia akan lebih lanjut meningkatkan tarif pada China tetapi menghentikan tarif yang dia umumkan pekan lalu untuk sebagian besar negara lain.
Rabu (9/4), harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2025 ditutup melonjak US$ 2,66 atau 4,23% menjadi US$ 65,48 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2025 ditutup naik US$ 2,77 atau 4,65% ke US$ 62,35 per barel.
Kedua kontrak telah turun sekitar 7% di awal sesi, sebelum berbalik arah dan menguat.
Sentimen utama bagi minyak datang setelah Trump mengesahkan jeda selama 90 hari, namun tetap menaikkan tarif untuk China menjadi 125%, yang berlaku segera. Tarif 104% yang diumumkan sebelumnya untuk China mulai berlaku pada hari Rabu.
"Kita telah mencapai titik balik dalam konflik perdagangan dengan Trump yang memberikan waktu bagi negara-negara yang telah menunjukkan keinginan untuk bekerja sama dalam kesepakatan untuk menyingkirkan tarif untuk menyelesaikannya," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
"Apa yang dilakukan Trump adalah menempatkan China di pulau ekonomi sendirian," kata Flynn.
Di sisi lain, China mengumumkan tarif tambahan untuk barang-barang AS, dengan mengenakan tarif 84% untuk barang-barang AS mulai hari ini (10/4).
"Saya pikir pasar mengharapkan kesepakatan dengan China akan terwujud," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho. "Kami tampaknya membuat terobosan ke beberapa negara yang diharapkan dapat diandalkan oleh China."
Namun, perang dagang yang meningkat antara China dan AS terus menekan harga minyak, kata para analis.
Konflik perdagangan tersebut memicu kekhawatiran akan resesi global, kata analis UBS Giovanni Staunovo.
"Meskipun permintaan minyak kemungkinan belum menurun, meningkatnya kekhawatiran akan melemahnya permintaan minyak selama beberapa bulan mendatang mengharuskan harga yang lebih rendah untuk memicu penyesuaian pasokan guna mencegah pasar yang kelebihan pasokan," tambah Staunovo.
Tindakan balasan di Kanada, mitra dagang utama AS, juga mulai berlaku pada hari Rabu.
Negara-negara di Uni Eropa sepakat pada hari Rabu untuk mengenakan tarif sebesar 25% pada berbagai impor AS dalam putaran pertama tindakan balasan.
Keputusan minggu lalu oleh kelompok produsen OPEC+ untuk menaikkan produksi pada bulan Mei sebesar 411.000 barel per hari, yang menurut para analis kemungkinan akan mendorong pasar menjadi surplus, membatasi kenaikan harga minyak.
Di AS, persediaan minyak mentah naik sebesar 2,6 juta barel menjadi 442,3 juta barel minggu lalu, menurut Badan Informasi Energi, dibandingkan dengan ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters untuk kenaikan sebesar 1,4 juta barel.
"Ekspor berada pada level yang lebih rendah dan kita harus melihat apakah kita akan kehilangan akses ke pasar China, dan apakah kita akan melihat situasi ekspor yang menurun di masa mendatang," kata John Kilduff, mitra Again Capital di New York.
Operator sistem pipa minyak Keystone di Kanada dan Amerika Serikat mengeluarkan pemberitahuan force majeure pada hari Rabu setelah kebocoran di North Dakota, menurut laporan media.
Pipa tersebut ditutup pada hari Selasa setelah tumpahan minyak di dekat Fort Ransom, North Dakota.
Wall Street: Dow, S&P 500, Nasdaq Rebound Usai Trump Umumkan Jeda Tarif 90 Hari
Wall Street berhasil rebound dengan indeks S&P 500 melonjak 9,5% untuk kenaikan harian terbesarnya sejak 2008, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan jeda tarif langsung selama 90 hari untuk banyak negara. Hal itu memberikan sedikit kelegaan bagi investor yang khawatir tentang dampak ekonomi global dari kebijakan perdagangan AS.
Rabu (9/4), Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup naik 2.962,86 poin atau 7,87% menjadi 40.608,45, indeks Indeks S&P 500 melonjak 474,13 poin atau 9,52% ke 5.456,90, indeks Nasdaq Composite melesat 1.857,06 poin atau 12,16% ke 17.124,97, untuk kenaikan terbesar sejak Januari 2001, selama gelembung pasar dotcom.
Indeks Russell 2000 berkapitalisasi kecil naik 8,66%, kenaikan satu hari terbesar sejak Maret 2020.
Seluruh sektoral pada indeks utama S&P 500 melonjak, dengan sektor otomotif naik 20,95%, sejauh ini jadi kenaikan harian terbesar yang pernah tercatat.
Sementara itu, sektor teknologi juga melesat 14,15% dan sektor utilitas defensif adalah peraih kenaikan paling lambat, usai naik 3,91%.
Pada sesi ini, saham perusahaan teknologi besar memberikan dorongan terbesar, dengan Nvidia naik 18,7% dan Apple melejit 15,3%.
Reli di Wall Street datang usai bursa saham AS yang mengikuti persentase kerugian empat hari terbesar sejak pandemi, dipicu oleh pengumuman sore hari bahwa Trump akan menurunkan sementara banyak tarif baru. Tetapi, Trump menaikkan pungutan atas impor China menjadi 125%.
Jeda tarif yang lebih berat pada puluhan negara terjadi kurang dari 24 jam setelah tarif tersebut berlaku. Namun, Gedung Putih tetap mengenakan bea masuk menyeluruh sebesar 10% pada hampir semua impor AS.
Kenaikan tarif China merupakan balasan atas pengumuman China tentang pungutan sebesar 84% atas barang-barang AS yang dimulai pada 10 April.
Para pedagang memanfaatkan kesempatan untuk membeli saham-saham yang sedang terpuruk. Sejak Trump mengumumkan tarif yang lebih tinggi pada akhir 2 April, saham-saham telah jatuh lebih dari 12%.
"Ini adalah momen penting yang telah kita tunggu-tunggu. Reaksi pasar langsung sangat positif, karena investor menafsirkan ini sebagai langkah menuju kejelasan yang sangat dibutuhkan," kata Gina Bolvin, presiden Bolvin Wealth Management Group.
"Namun, ketidakpastian membayangi apa yang terjadi setelah periode 90 hari, membuat investor bergulat dengan potensi volatilitas di masa mendatang."
Setelah pengumuman jeda Trump, Goldman Sachs mengatakan akan mencabut perkiraan resesi dan kembali ke estimasi dasar sebelumnya untuk pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025.
Kevin Gordon, ahli strategi investasi senior di Charles Schwab, mengatakan reli dari level oversold masuk akal tetapi memperingatkan bahwa "memiliki keputusan yang sangat meyakinkan tentang apa pun saat ini adalah usaha yang sia-sia."
"Kita hanya harus menunggu dan melihat apa kebijakan akhirnya, tetapi sayangnya kebijakan berubah hampir setiap hari," kata Gordon, seraya menambahkan bahwa ia khawatir tentang kemampuan perusahaan untuk membuat keputusan pengeluaran dan perekrutan dalam lingkungan seperti itu.
Bahkan dengan reli tersebut, ketiga indeks utama Wall Street mengakhiri sesi di bawah penutupan 2 April, hari perdagangan terakhir sebelum Trump mengumumkan tarif yang luas.
Yang juga membantu menenangkan sentimen investor adalah lelang obligasi 10 tahun senilai $39 miliar dari Departemen Keuangan AS.
Lelang tersebut sesuai dengan ekspektasi pasar, dengan harga imbal hasil tinggi sebesar 4,435%, lebih rendah dari perkiraan suku bunga pada batas waktu penawaran, yang menunjukkan permintaan investor yang solid.
"Pertanyaan jangka panjang hampir pasti akan tetap ada. Namun pengumuman sore ini, dikombinasikan dengan lelang Treasury, merupakan kelegaan yang disambut baik setelah beberapa hari volatilitas yang sangat tinggi," kata Jeffrey Palma, kepala solusi multi-aset dan penelitian makro di Cohen & Steers di New York.
Indeks Volatilitas CBOE - yang dipandang sebagai "pengukur ketakutan" Wall Street - turun tajam setelah jeda tarif hingga mengakhiri hari pada 33,62 poin, dibandingkan dengan tertinggi sesi di 57,96.
Risalah dari pertemuan Federal Reserve bulan lalu juga dirilis pada sore hari.
Para pembuat kebijakan Fed hampir sepakat bahwa ekonomi AS menghadapi risiko inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih lambat secara bersamaan, dengan beberapa pembuat kebijakan mencatat bahwa "kompromi yang sulit" mungkin akan terjadi di depan bank sentral.
Laporan inflasi harga konsumen yang dijadwalkan pada Kamis pagi akan diawasi ketat oleh para investor untuk mendapatkan petunjuk tentang lintasan inflasi.
Musim laporan laba yang akan datang akan memberikan lebih banyak wawasan mengenai kesehatan perusahaan-perusahaan Amerika karena para investor mengkhawatirkan dampak tarif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bank-bank AS, termasuk JPMorgan Chase, akan melaporkan hasil kuartal pertama pada hari Jumat.
Saham Delta Air Lines melonjak 23,4% setelah maskapai itu mengalahkan ekspektasi laba kuartal pertama. Namun, perusahaan itu menurunkan prakiraan keuangan 2025 dan memproyeksikan laba kuartal berjalan di bawah ekspektasi.
Bursa Asia Kompak Bangkit, Nikkei 225 Melonjak 8%
Bursa Asia berhasil bangit di awal perdagangan hari ini. Kamis (9/4), pukul 08.21 WIB, indeks Nikkei 225 melonjak 8,38% ke 34.371,12. Sejalan, indeks Hang Seng dibuka menguat 2,69% ke 20.810,43.
Sedangkan, indeks Taiex melesat 9,12% ke 18.977,66. Lalu indeks Kospi naik 5,02% ke 2.408,75 dan indeks ASX 200 naik 4,88% ke 7.734,9.
Sementara itu, FTSE Straits Times terlihat menguat 7,54% ke 3.649,56 dan FTSE Malay menguat 3,97% ke 1.456,19.
Bursa Asia menguat pada hari ini, menyusul lonjakan pembelian terbesar di Wall Street sejak 2008 setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan penangguhan tarif yang lebih tinggi selama 90 hari terhadap semua negara kecuali China.
Pasar Jepang memimpin kenaikan di kawasan tersebut. Indeks acuan Nikkei 225 dibuka menguat 8,24%, dan indeks Topix yang lebih luas naik 7,33%.
Indeks Kospi Korea Selatan juga dibuka melonjak 4,8%, dengan indeks Kosdaq berkapitalisasi kecil naik 4,2%.
S&P/ASX 200 Australia juga menguat 5,09% pada perdagangan awal.
Investor akan terus mencermati saham China, karena AS menaikkan bea masuk impor dari China menjadi 125%, setelah China mengumumkan rencana untuk membalas dengan bea masuk sebesar 84% terhadap barang-barang Amerika.
Kontrak berjangka AS naik setelah janji Trump untuk menghentikan tarif pada beberapa mitra dagang selama 90 hari memicu lonjakan besar di Wall Street.
Dalam sesi sebelumnya, indeks S&P 500 yang berbasis luas meroket 9,52% dan ditutup pada angka 5.456,90 untuk kenaikan satu hari terbesar sejak 2008. Ini juga menandai kenaikan terbesar ketiga dalam sejarah pasca-Perang Dunia II.
Sementara itu, indeks Dow Jones Industrial Average naik 2.962,86 poin atau 7,87% dan ditutup pada level 40.608,45, kenaikan persentase terbesar sejak Maret 2020.
Indeks Nasdaq Composite pun melonjak 12,16% dan ditutup pada level 17.124,97, mencatat kenaikan satu hari terbesar sejak Januari 2001 dan hari terbaik kedua sepanjang masa.
Trump Naikkan Tarif China Menjadi 125%, Berikan Jeda 90 Hari untuk Negara Lain
Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan kenaikan signifikan pada tarif barang-barang China, menaikkan tingkat tarif menjadi 125% dengan efek segera. Pengumuman ini dibuat melalui postingan di Truth Social, sebuah platform media sosial. Presiden menyebutkan kurangnya rasa hormat China terhadap pasar global sebagai alasan utama keputusan ini.
Dalam postingan yang sama, Presiden Trump juga menyebutkan kemungkinan bahwa China akan menyadari dalam waktu dekat bahwa praktik perdagangan saat ini dengan AS dan negara-negara lain tidak berkelanjutan maupun dapat diterima.
Selain kenaikan tarif, Presiden juga membahas diskusi yang sedang berlangsung mengenai perdagangan, hambatan perdagangan, tarif, manipulasi mata uang, dan tarif non-moneter. Dia mencatat bahwa lebih dari 75 negara telah menghubungi perwakilan AS, termasuk dari Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Perwakilan Dagang AS (USTR), untuk menegosiasikan solusi atas masalah-masalah ini.
Sebagai tanggapan atas diskusi ini, dan atas saran kuatnya, negara-negara tersebut tidak melakukan pembalasan terhadap Amerika Serikat dengan cara apapun. Akibatnya, Presiden Trump telah mengotorisasi jeda 90 hari dan pengurangan substansial dalam tarif timbal balik menjadi 10%, juga berlaku efektif segera.
Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk memberikan periode bantuan sementara bagi negara-negara tersebut untuk bernegosiasi dan menemukan solusi yang dapat disepakati untuk subjek yang sedang dibahas.
Uni Eropa Resmi Balas Tarif AS, Berlakukan Bea 25% Mulai 15 April
Uni Eropa akan mulai memberlakukan tindakan balasan terhadap tarif impor dari Amerika Serikat (AS) mulai Selasa depan (15 April).
Keputusan ini menandai langkah resmi blok tersebut dalam merespons kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, sekaligus bergabung dengan China dan Kanada dalam eskalasi perang dagang global.
Persetujuan diberlakukan pada hari yang sama ketika tarif "resiprokal" Trump mulai berlaku terhadap Uni Eropa dan puluhan negara lain, termasuk bea masuk 104% terhadap barang-barang dari China, serta beban baru atas baja, aluminium, mobil, dan berbagai produk lainnya.
Blok 27 negara ini akan mengenakan tarif balasan sebesar 25% terhadap berbagai produk impor asal AS, khususnya sebagai respons atas bea masuk logam yang dikenakan Washington.
Daftar barang yang akan dikenai tarif meliputi jagung, gandum, beras, ayam, sepeda motor, buah-buahan, kayu, pakaian, hingga benang gigi (dental floss), dengan total nilai sekitar €21 miliar (setara US$23 miliar) pada tahun lalu.
Tarif ini akan diterapkan secara bertahap:
15 April: gelombang pertama
16 Mei: gelombang kedua
1 Desember: tahap akhir, termasuk produk kacang almond dan kedelai
“Langkah ini dapat dihentikan sewaktu-waktu apabila Amerika Serikat bersedia mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang,” demikian pernyataan resmi dari Komisi Eropa.
Komite perdagangan dari seluruh negara anggota UE telah menyetujui proposal ini pada Rabu sore, dengan 26 negara mendukung dan Hungaria menjadi satu-satunya yang menolak.
Daftar balasan ini merupakan versi final dari draf awal Maret lalu yang sempat menyertakan produk susu dan minuman keras, namun akhirnya dihapus untuk menghindari respons tambahan dari AS.
Sebelumnya, Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 200% terhadap anggur dan minuman beralkohol asal Eropa, yang memicu kekhawatiran dari eksportir besar seperti Prancis dan Italia.
Langkah ini muncul setelah Trump hampir menggandakan tarif atas impor dari China menyusul balasan Beijing pekan lalu.
China kemudian menaikkan tarif terhadap barang-barang AS menjadi 84% mulai Kamis ini (10 April).
Resmi! China Terapkan Tarif 84% atas Impor Produk AS, Perang Dagang Makin Memanas
Pemerintah Tiongkok secara resmi mengumumkan penerapan tarif sebesar 84% terhadap berbagai produk impor dari Amerika Serikat pada hari Rabu.
Langkah ini merupakan respons langsung terhadap kebijakan tarif proteksionis Presiden Donald Trump yang sebelumnya memberlakukan tarif kumulatif hingga 104% atas barang-barang asal Tiongkok.
Tindakan balasan ini diumumkan hanya beberapa jam setelah tarif baru AS mulai diberlakukan dan akan mulai diterapkan oleh Tiongkok pada hari Kamis, berdasarkan pernyataan resmi pemerintah Beijing.
“Tiongkok mendesak AS untuk segera memperbaiki tindakan yang keliru, membatalkan seluruh langkah tarif sepihak terhadap Tiongkok, dan menyelesaikan perbedaan melalui dialog yang setara serta saling menghormati,” demikian pernyataan dari otoritas Tiongkok.
Ketegangan ini langsung mengguncang pasar keuangan dunia. Futures S&P 500 tercatat turun 1,7%, sementara Dow Futures jatuh 1,8%. Di benua Eropa, indeks Stoxx 600 mengalami penurunan tajam lebih dari 4%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi gangguan ekonomi global akibat perang dagang yang terus memburuk.
Trump: “Kami Menunggu Telepon dari Beijing”
Dalam pernyataan di TruthSocial pada hari Selasa, Trump menyatakan bahwa Tiongkok ingin mencapai kesepakatan, namun tidak tahu bagaimana memulainya.
“Tiongkok juga sangat ingin mencapai kesepakatan, tapi mereka tidak tahu bagaimana memulainya. Kami menunggu telepon mereka,” tulis Trump.
Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menambahkan bahwa jika Tiongkok menghubungi untuk membuka pembicaraan, Trump akan menyambut dengan terbuka, namun tetap akan mengedepankan kepentingan rakyat Amerika.
“Jika Tiongkok menelepon untuk membuat kesepakatan, Presiden akan sangat bijaksana. Tapi beliau akan melakukan apa yang terbaik untuk rakyat Amerika,” ujar Leavitt.
Tiongkok Bersiap Bertahan Sampai Akhir
Pemerintah Tiongkok, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun dalam menghadapi tekanan dari Washington.
“Dari tindakannya, AS tampaknya tidak sungguh-sungguh ingin berunding. Jika memang ingin berbicara, mereka harus menunjukkan kesediaan untuk bertindak setara, saling menghormati, dan mengedepankan keuntungan bersama,” tegas Lin.
Tiongkok juga menyatakan bahwa mereka siap untuk “berjuang sampai akhir” dalam menghadapi tekanan tarif dari AS.
Analis: Jalan Menuju Resolusi Sangat Sempit
Banyak analis memperkirakan bahwa kebuntuan ini akan berlangsung lama. Yeap Jun Rong, ahli strategi pasar dari IG, menilai bahwa peluang untuk mencapai resolusi dalam waktu dekat sangat kecil.
“Kami melihat hanya sedikit peluang untuk menyelesaikan kebuntuan tarif ini. Bahkan jika negosiasi dibuka kembali, mencapai konsensus akan sangat sulit. Ketegangan perdagangan berpotensi berlangsung dalam jangka waktu yang lama,” tulisnya.
Perang tarif antara AS dan Tiongkok tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga berpotensi menimbulkan efek domino terhadap rantai pasok global, harga komoditas, serta stabilitas ekonomi di kawasan Asia dan Eropa.
Balas Tarif Trump 104%, China Akan Larang Semua Film dari AS
China dikabarkan tengah mempertimbangkan larangan terhadap film-film Amerika Serikat (AS) sebagai respons atas kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump.
Pada Rabu (9/4) ini tarif resiprokal Trump terhadap sejumlah negara, termasuk tarif sebesar 104% untuk barang impor dari China, resmi diberlakukan.
Menyusul kebijakan tersebut, Bloomberg News melaporkan bahwa dua blogger berpengaruh di China, yang memiliki keterkaitan dengan otoritas setempat, membagikan daftar langkah-langkah balasan yang mungkin diterapkan oleh pemerintah China.
Salah satu langkah yang disebutkan adalah mengurangi atau melarang impor film AS.
Dua blogger tersebut, yaitu Liu Hong, seorang editor senior di Kantor Berita Xinhua, dan Ren Yi, cucu mantan Ketua Partai Komunis Provinsi Guangdong Ren Zhongyi, mengutip sumber yang mengaku mengetahui rencana pemerintah China.
Pada tahun 2024, film-film AS meraup pendapatan sekitar US$ 585 juta di China, atau sekitar 3,5% dari total pendapatan box office China yang mencapai US$ 17,71 miliar.
Salah satu film AS yang berkontribusi besar terhadap angka tersebut adalah Godzilla x Kong: The New Empire, yang meraih 132 juta dolar AS di China. Sementara itu, total pendapatan box office domestik AS dan Kanada untuk periode yang sama mencapai sekitar US$ 8,56 miliar.
Ketika kebijakan tarif global pertama kali diumumkan, Trump menetapkan tarif sebesar 54% terhadap barang impor dari China. Kini, Gedung Putih menyatakan bahwa tarif tersebut akan dinaikkan sebesar 50% tambahan.
Menanggapi kebijakan AS, Kementerian Luar Negeri China menyatakan akan bertarung hingga akhir dan menuduh AS melakukan unilateralisme serta perundungan ekonomi proteksionis.
Selain industri film, sektor pertanian AS juga berpotensi terdampak, dengan China dilaporkan tengah mempertimbangkan larangan total terhadap impor unggas dari AS.
Industri film merupakan sektor yang memberikan surplus perdagangan bagi AS dengan China, karena film-film China tidak begitu diminati di pasar internasional.
Namun, bulan lalu, sejumlah komunitas Tionghoa di AS mengampanyekan agar film animasi Ne Zha 2 mendapatkan rilis IMAX di AS. Film ini telah mendapatkan jadwal rilis di 37 wilayah di Eropa, termasuk Inggris dan Irlandia.
Dengan anggaran produksi sebesar US$ 80 juta dolar AS, Ne Zha 2 telah menjadi film animasi terlaris dalam sejarah setelah meraup US$ 2,06 miliar di China.
Angka ini melampaui Inside Out 2 buatan AS yang memperoleh US$ 1,7 miliar di seluruh dunia.
Film Ne Zha 2 merupakan sekuel dari Ne Zha (2019), yang mengisahkan seorang anak laki-laki dengan kekuatan unik yang bekerja sama dengan pangeran naga Ao Bing untuk melawan iblis dan menyelamatkan komunitasnya.
Warren Buffett Menilai Tarif Trump Adalah Kesalahan Besar, Ini 9 Alasannya
Warren Buffett, salah satu investor paling sukses dalam sejarah, telah lama memperingatkan bahaya ekonomi dari tarif.
Kritiknya itu Kembali menjadi sorotan di tahun 2025 ketika ia menyebut kebijakan tarif Trump sebagai "tindakan perang" dan "pajak atas barang" selama wawancara CBS.
Ketika pasar terguncang oleh ketegangan perdagangan, nasihat Buffett yang tak lekang oleh waktu tentang menavigasi volatilitas—"Takutlah ketika orang lain serakah, dan serakahlah ketika orang lain takut"—memberikan sudut pandang yang berlawanan dengan kekacauan tersebut.
Melansir New Trader U, artikel ini membahas peringatan Buffett, data di balik dampak ekonomi tarif, dan mengapa ia memandang proteksionisme sebagai langkah yang salah yang merugikan.
Berikut ini alasan mengapa Warren Buffett menganggap tarif Trump sebagai kesalahan besar:
1. Tarif sebagai Pajak Tersembunyi bagi Konsumen Amerika
Buffett secara konsisten mengkritik tarif sebagai beban keuangan terselubung bagi rumah tangga.
Dalam wawancara CBS pada Maret 2025, ia menekankan bahwa tarif berfungsi sebagai "pajak atas barang" dari waktu ke waktu, menepis anggapan bahwa kekuatan eksternal menyerap biaya-biaya ini.
"Peri Gigi tidak membayar mereka!" candanya.
Hal itu menggarisbawahi bagaimana konsumen pada akhirnya menanggung beban melalui harga yang lebih tinggi. Yale Budget Lab memperkirakan tarif Trump dapat menaikkan harga konsumen AS sebesar 2,3%, yang membebani rumah tangga rata-rata US$ 3.800 per tahun.
Untuk barang-barang penting seperti pakaian, tarif pada tekstil Asia Tenggara dapat meningkatkan harga sebesar 17%. Angka-angka ini sejalan dengan peringatan Buffett bahwa tarif mendistorsi pasar tanpa mengatasi ketidakseimbangan perdagangan yang mendasarinya.
2. Mentalitas "Tindakan Perang": Bagaimana Tarif Mengganggu Perdagangan Global
Buffett menyamakan tarif dengan "tindakan perang" dalam wawancara CBS-nya, menyoroti potensinya untuk memicu siklus pembalasan.
Analogi ini menggemakan kesalahan langkah historis seperti Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930, yang memangkas perdagangan global hingga 65% selama Depresi Besar.
Tarif Trump pada April 2025—25% untuk impor dari Meksiko dan Kanada, ditambah 10% untuk barang-barang Tiongkok—memicu kekacauan pasar langsung, dengan anjloknya S&P 500 memicu anjloknya S&P 500 sebesar 10,5% selama dua hari perdagangan berikutnya, menghapus sekitar US$ 5 triliun dalam nilai pasar.
Hal ini menandai penurunan dua hari terburuk indeks tersebut sejak Maret 2020.
Menurut Tax Foundation, tindakan pembalasan kini mengancam ekspor AS senilai US$ 330 miliar. Kritik Buffett berpusat pada konsekuensi berjenjang: rantai pasokan terganggu, berkurangnya investasi asing, dan aliansi yang tegang dengan mitra dagang.
3. Volatilitas Pasar sebagai Peluang: Filosofi Investasi Buffett yang Kontradiktif
Meskipun menentang tarif, Buffett mendesak investor untuk melihat kepanikan pasar sebagai peluang. Opininya di New York Times tahun 2008, “Beli Saham Amerika. Saya,” menganjurkan pembelian saham yang dinilai rendah selama krisis. Filosofi ini muncul kembali pada bulan April 2025 ketika tarif memicu penurunan Dow Jones sebesar 1.400 poin.
Dalam surat pemegang sahamnya tahun 2017, Buffett mengutip pernyataan Rudyard Kipling, “Jika Anda dapat tetap tenang ketika semua orang di sekitar Anda kehilangan akal sehat mereka… Jika Anda dapat menunggu dan tidak lelah dengan menunggu… Jika Anda dapat memercayai diri sendiri ketika semua orang meragukan Anda… Bumi dan semua isinya adalah milik Anda.”
Ia kemudian menasihati, “Takutlah ketika orang lain serakah, dan serakahlah ketika orang lain takut,” sebuah mantra yang menekankan nilai jangka panjang daripada kekacauan jangka pendek.
4. Mengulang Sejarah: Peringatan Buffett terhadap Kesalahan Era Smoot-Hawley
Referensi Buffett terhadap Smoot-Hawley menggarisbawahi keyakinannya bahwa tarif berisiko mengulangi kesalahan fatal. Tax Foundation memperkirakan tarif Trump dapat mengurangi PDB AS sebesar 0,7% — hambatan yang diperburuk oleh tindakan pembalasan.
Sebaliknya, tarif tahun 1930-an memperdalam Depresi Hebat, menyusutkan perdagangan global, dan memperburuk pengangguran. Skeptisisme Buffett berasal dari kecenderungan tarif untuk memicu kebijakan balasan daripada negosiasi yang konstruktif.
5. Kekeliruan Peri Gigi: Mengapa Tarif Bukan Solusi yang Tidak Menyakitkan
Buffett memandang gagasan bahwa tarif tanpa rasa sakit memperkuat ekonomi sebagai mitos.
"Dalam ekonomi, Anda harus selalu bertanya: 'Lalu apa?'"
Ia memperingatkan, menunjuk pada konsekuensi yang tidak diinginkan.
Tax Foundation memproyeksikan tarif Trump dapat mengurangi lapangan kerja penuh waktu sebanyak 142.000 pekerjaan dan menurunkan upah sebanyak 1,9%.
Hasil ini bertentangan dengan klaim bahwa tarif melindungi industri dalam negeri, sebaliknya mengungkap perannya sebagai pajak regresif yang secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpendapatan rendah.
6. Konsekuensi yang Tidak Diinginkan: Inflasi, Pembalasan, dan Perlambatan Ekonomi
Tekanan inflasi tarif sudah mulai terlihat. Goldman Sachs merevisi probabilitas resesi AS menjadi 45% jika tarif terus berlanjut, sementara Morgan Stanley memperingatkan risiko resesi global sebesar 60%.
Jamie Dimon dari JPMorgan mencatat tarif "tentu akan memperlambat pertumbuhan," dengan mengutip potensi stagflasi.
Wendy Cutler dari Asia Society Policy Institute memperingatkan "penurunan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi global" karena volume perdagangan menyusut dan bisnis menunda investasi.
7. Membandingkan Solusi Defisit Perdagangan Buffett dengan Pendekatan Trump
Buffett telah lama berpendapat bahwa defisit perdagangan harus diatasi melalui daya saing, bukan proteksionisme. Dalam sebuah penelitian tahun 2000-an, ia mengusulkan “Sertifikat Impor” untuk menyeimbangkan perdagangan tanpa tarif.
Di bawah sistem ini, eksportir AS akan menerima IC yang setara dengan nilai ekspor mereka, yang kemudian perlu dibeli oleh importir untuk membawa barang ke negara tersebut. Mekanisme ini akan membatasi impor pada tingkat ekspor, menciptakan kerangka kerja perdagangan yang menyeimbangkan diri sendiri.
Buffett menekankan bahwa IC berfungsi sebagai “tarif yang disebut dengan nama lain” tetapi menghindari penargetan industri atau negara tertentu. Dengan memberi insentif ekspor dan memungkinkan kekuatan pasar untuk menentukan arus perdagangan, rencana tersebut bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan tanpa memicu tindakan pembalasan.
Namun, Buffett mengakui bahwa IC akan menaikkan harga impor, yang secara efektif bertindak sebagai pajak konsumen—sebuah trade-off yang ia anggap perlu untuk mencegah erosi jangka panjang kedaulatan ekonomi AS melalui utang yang tidak berkelanjutan dan kepemilikan aset asing.
Sebaliknya, tarif timbal balik Trump mengadopsi kerangka kerja zero-sum. Tax Foundation memperkirakan kebijakan ini dapat menghilangkan 605.000 pekerjaan di AS, dengan sektor seperti otomotif dan baja yang paling terpukul.
8. Data di Balik Kerusakan: Kerugian PDB dan Beban Biaya Rumah Tangga
Model ekonomi menggambarkan gambaran yang gamblang. Tax Foundation memproyeksikan tarif Trump akan mengurangi PDB sebesar 0,7%, naik menjadi 0,8% dengan pembalasan.
Rumah tangga menghadapi beban ganda: US$ 1.900 per tahun dari tarif dasar dan US$ 2.100 dari biaya tambahan "Hari Pembebasan" April 2025.
Biaya ini membebani pendapatan yang dapat dibelanjakan, berpotensi mengekang belanja konsumen—landasan pertumbuhan ekonomi AS.
9. Peringatan Misinformasi: Membongkar Klaim Palsu Tentang Sikap Buffett
Pada April 2025, Trump membagikan video yang secara keliru mengklaim Buffett memuji tarifnya sebagai "langkah ekonomi terbaik dalam 50 tahun."
Berkshire Hathaway dengan cepat membantahnya: "Semua laporan tersebut salah."
Sejak Maret, Buffett menghindari komentar publik, membantah narasi viral yang salah menggambarkan kritik ekonomi nonpartisannya.