News Forex, Index & Komoditi ( Jum\\\'at, 18 April 2025 )
News Forex, Index & Komoditi
( Jum'at, 18 April 2025 )
EUR/USD Menguat Setelah ECB Memangkas Suku Bunga 25 bp
Pasangan mata uang EUR/USD menarik beberapa pembeli ke dekat 1,1370 selama awal perdagangan sesi Asia pada hari Jumat. Kekhawatiran terhadap dampak ekonomi dari tarif terus menyeret Dolar AS (USD) lebih rendah terhadap Euro (EUR). Para pedagang akan memantau dengan cermat perkembangan seputar pembicaraan perdagangan AS. Volume perdagangan kemungkinan akan ringan pada Jumat Agung.
Bank Sentral Eropa (ECB) memangkas suku bunga tiga kali tahun ini pada hari Kamis, membawa suku bunga utamanya menjadi 2,25% sebagai respons terhadap perlambatan pertumbuhan dan tarif Presiden AS, Donald Trump. Presiden ECB, Christine Lagarde, mengatakan selama konferensi pers bahwa tarif AS pada barang-barang UE, yang telah meningkat dari rata-rata 3% menjadi 13%, sudah merugikan prospek ekonomi Eropa.
Para analis percaya bahwa pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada bulan Juni masih sangat mungkin dan bahwa hanya pelonggaran besar dalam ketegangan perdagangan yang akan meyakinkan ECB untuk menunda. "Nadanya dovish. Fokus telah bergeser ke melihat risiko penurunan pada prospek pertumbuhan daripada risiko kenaikan pada inflasi," kata Kirstine Kundby-Nielsen, analis Valas (Forex) di Danske Bank. Sikap dovish ECB dapat membebani mata uang bersama dalam jangka pendek.
Di seberang samudra, Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, berubah hawkish, mengatakan bahwa ekonomi lemah dan inflasi tinggi dapat bertentangan dengan tujuan The Fed dan membuat skenario stagflasi menjadi mungkin. Komentarnya mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga The Fed pada bulan Juni, yang mengangkat Dolar AS (USD) terhadap EUR. Para pedagang pasar uang telah memperhitungkan pemangkasan suku bunga The Fed hampir 86 bp pada akhir 2025, dengan pemangkasan pertama diprakirakan terjadi pada bulan Juli, menurut alat FedWatch CME.
Tarif Trump ke China yang Dikerek Lagi Jadi 245% Bikin Bingung, Ini Peringatan China!
Di tengah perang dagang yang menegangkan dengan Tiongkok, pernyataan Gedung Putih bahwa beberapa barang Tiongkok menghadapi tarif 245% menimbulkan kebingungan di Beijing.
Apakah itu eskalasi lain? Tidak. Tarif baru Trump terhadap Tiongkok masih berlaku sebesar 145%.
Namun, Gedung Putih dengan cepat mencoba menjelaskannya, dengan mengatakan angka 245% yang mereka masukkan ke dalam dokumen tanggal 15 April - yang menguraikan konteks perintah eksekutif baru dari Presiden Donald Trump - mewakili semua tarif sebelumnya dan yang baru terhadap beberapa barang Tiongkok yang berlaku sejak pemerintahan Biden dan Trump pertama.
Melansir USA Today, ketika dimintai komentar tentang data dari Gedung Putih, seorang pejabat Tiongkok menanggapi pada tanggal 16 April bahwa terserah kepada pejabat AS untuk memberikan jawaban tentang bagaimana mereka mencapai angka 245%.
"Anda dapat menyampaikan angka ini ke pihak AS untuk mendapatkan jawaban," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian dalam sebuah konferensi pers, menurut media pemerintah Tiongkok.
AS telah mengenakan tarif besar pada beberapa produk China hingga 100% sebelum Trump mulai mengumumkan tarif baru tahun ini. Angka tersebut ditambahkan dengan pungutan 145% dalam tarif baru yang dikenakan Trump pada barang-barang China, sehingga beberapa barang menghadapi tarif 245%.
Kendaraan listrik dan jarum suntik adalah dua produk yang telah menghadapi tarif 100% dari pemerintahan Biden - sebelum Trump mulai mengenakan tarif baru pada barang-barang China tahun ini - dan yang sekarang menjadi penerima tarif 245%, kata Gedung Putih.
AS telah mengenakan tarif antara 7,5% dan 100% pada beberapa barang China sebelum Trump menjabat tahun ini. Trump mengenakan serangkaian tarif baru pada barang-barang China tahun ini yang sekarang mencapai 125%, dan tarif 20% yang ditujukan untuk mendorong negara itu untuk menindak fentanil.
Trump mengatakan pada 15 April bahwa terserah China untuk mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang dagang.
"Bola ada di tangan China. China perlu membuat kesepakatan dengan kita. Kita tidak perlu membuat kesepakatan dengan mereka," kata Trump dalam komentar yang disampaikan oleh Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt.
Kedutaan Besar China di Amerika Serikat tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Peringatan China
China telah memperingatkan Donald Trump untuk "berhenti mengeluh" tentang menjadi korban tarif dalam perang dagang yang meningkat antara kedua negara.
Hal itu terjadi setelah presiden mengklaim AS "menerima ANGKA TERBESAR dalam Tarif," yang membantu memerangi inflasi, setelah ia menaikkan bea masuk pada hampir semua mitra dagang.
Namun, melansir The Independent, Beijing-lah yang menghadapi tindakan paling ketat. AS, yang menaikkan bea masuk pada produk-produk China menjadi 145%, telah memperketat aturan ekspor, dengan raksasa manufaktur chip komputer Nvidia menjadi salah satu di antara perusahaan yang terkena dampaknya.
Terkait lembar fakta yang diterbitkan oleh Gedung Putih yang mengatakan bahwa China "sekarang menghadapi tarif hingga 245%", kementerian luar negeri China mendesak wartawan untuk menanyai pemerintahan Trump mengenai angka tersebut.
Beijing, yang menaikkan tarif pada barang-barang AS menjadi 125%, dilaporkan telah memberi tahu maskapai penerbangan untuk menghentikan pemesanan jet Boeing dan suku cadang pesawat AS lainnya.
Dalam tajuk rencana pada hari Rabu, media pemerintah China Daily mengatakan AS harus berhenti mengeluh tentang dirinya sendiri yang menjadi korban dalam perdagangan global.
Waspadai Dampak Tarif Trump, The Fed Tunggu Data Tambahan Sebelum Ubah Suku Bunga
Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell, menyatakan bahwa bank sentral akan menunggu kejelasan lebih lanjut terkait arah ekonomi sebelum mempertimbangkan perubahan suku bunga.
Ia juga memperingatkan bahwa kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump dapat memicu kenaikan inflasi dan memperburuk kondisi ketenagakerjaan, menjauhkan ekonomi dari sasaran Fed.
Berbicara dalam forum Economic Club of Chicago, Powell menyampaikan bahwa saat ini The Fed berada dalam posisi yang tepat untuk bersikap hati-hati.
"Untuk saat ini, kami berada dalam posisi yang baik untuk menunggu kejelasan yang lebih besar sebelum mempertimbangkan penyesuaian apa pun terhadap sikap kebijakan kami," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan tarif berpotensi menimbulkan tekanan inflasi sekaligus melemahkan pertumbuhan dan pasar tenaga kerja.
Hal ini, menurut Powell, akan menjauhkan ekonomi dari sasaran utama Fed, yakni menjaga inflasi stabil di angka 2% dan memastikan pencapaian lapangan kerja maksimum.
Powell menyebut bahwa kebijakan perdagangan yang dicanangkan pemerintahan Trump merupakan perubahan mendasar yang belum memberi kepastian kepada dunia usaha dan para ekonom.
"Saya pikir kita akan menjauh dari tujuan tersebut, mungkin untuk sisa tahun ini. Atau setidaknya tidak membuat kemajuan apa pun," katanya, seraya menambahkan bahwa dampak tarif sejauh ini melebihi perkiraan terburuk dalam skenario perencanaan Fed.
Mengenai volatilitas pasar keuangan belakangan ini, Powell mengatakan bahwa pasar saham dan obligasi tetap berfungsi secara normal. Ia menilai volatilitas tersebut merupakan respons logis atas perubahan kebijakan pemerintah, bukan indikasi perlunya intervensi bank sentral.
Ketika ditanya soal kemungkinan “Fed put”, intervensi Fed untuk menyelamatkan pasar, Powell menjawab tidak, dan menegaskan bahwa volatilitas merupakan bagian dari ketidakpastian yang sedang dihadapi.
Saham-saham AS sempat melemah lebih lanjut setelah pernyataan Powell. Analis menilai sikap Powell yang tegas dan tidak memberi sinyal dukungan terhadap pasar saham menjadi faktor penyebab penurunan.
Dalam pernyataannya, Powell juga menyinggung isu independensi Fed di tengah proses hukum yang sedang berjalan terkait pemecatan pejabat lembaga independen oleh Presiden Trump.
Ia menegaskan bahwa independensi Fed hanya bisa diubah melalui keputusan Kongres, dan berkomitmen untuk menetapkan kebijakan berdasarkan kondisi ekonomi, bukan tekanan politik.
Lebih lanjut, Powell mengungkapkan bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan terus mengganggu dunia usaha dan masyarakat. Dampaknya terlihat dari penurunan sentimen dan perlambatan belanja konsumen.
Ia menyatakan bahwa meskipun ekonomi AS masih dalam posisi yang kuat, pertumbuhan tampaknya melambat pada kuartal pertama tahun ini, sementara ekspektasi publik terhadap inflasi dapat meningkat akibat kebijakan tarif.
Suku bunga acuan Fed saat ini berada di kisaran 4,25%–4,50% sejak Desember lalu, setelah serangkaian penurunan suku bunga. Namun, kemajuan dalam menurunkan inflasi menuju target 2% melambat. Powell memperingatkan bahwa tarif berpotensi membalikkan kemajuan tersebut dan memicu inflasi yang lebih tinggi.
"Tarif sangat mungkin menghasilkan setidaknya kenaikan sementara dalam inflasi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dampak jangka panjang akan bergantung pada besarnya dan lamanya pengaruh tarif terhadap harga, serta kemampuan menjaga ekspektasi inflasi tetap stabil.
Meski inflasi jangka pendek menunjukkan peningkatan signifikan, Powell menyatakan bahwa ekspektasi inflasi jangka panjang masih selaras dengan sasaran Fed. Ia juga menyebut bahwa pasar tenaga kerja tetap dalam kondisi solid dan mendekati lapangan kerja maksimum.
Namun, jika terjadi kombinasi antara inflasi yang meningkat dan pengangguran yang bertambah, Fed akan mempertimbangkan seberapa besar deviasi dari sasaran dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi ketidakseimbangan tersebut.
Pasar keuangan saat ini semakin yakin bahwa Fed pada akhirnya akan memangkas suku bunga, bahkan hingga satu poin persentase penuh sebelum akhir tahun. Bulan Juni diperkirakan menjadi awal langkah tersebut, dan peluang pemotongan keempat pada akhir tahun kini semakin diperhitungkan.
WTO Pangkas Proyeksi Perdagangan Global 2025, Peringatkan Kemerosotan Lebih Dalam!
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) secara drastis memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan barang global untuk tahun 2025, dari sebelumnya ekspansi 3,0% menjadi kontraksi sebesar 0,2%.
Penurunan ini disebabkan oleh eskalasi kebijakan tarif oleh Amerika Serikat serta dampak limpahan (spillover effects) terhadap perekonomian global, yang berpotensi memicu penurunan perdagangan terparah sejak puncak pandemi COVID-19.
Tarif Tambahan dan Ketegangan AS–China Menjadi Sumber Utama Ketidakpastian
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memberlakukan tarif impor tambahan terhadap baja dan mobil, serta kebijakan tarif menyeluruh terhadap berbagai negara.
Meskipun sempat mengumumkan jeda selama 90 hari terhadap tarif tambahan tersebut, ketegangan dagang dengan Tiongkok justru meningkat. Kedua negara saling membalas dengan tarif di atas 100% terhadap produk impor satu sama lain.
WTO menyampaikan bahwa jika AS mengaktifkan kembali tarif penuh yang sempat dijeda, pertumbuhan perdagangan barang global akan turun sebesar 0,6%. Ditambah dengan dampak tidak langsung dari ketegangan ini terhadap mitra dagang lain, total penurunan bisa mencapai 1,5%, kontraksi terdalam sejak tahun 2020.
"Saya sangat khawatir. Kontraksi dalam pertumbuhan perdagangan barang global adalah perhatian besar. Ketegangan ini dapat merembet ke pertumbuhan PDB global secara keseluruhan," kaya Ngozi Okonjo-Iweala, Direktur Jenderal WTO.
Dampak Sistemik Terhadap PDB Global dan Negara Berkembang
Selain implikasi langsung terhadap perdagangan barang, WTO memperingatkan bahwa tekanan terhadap perdagangan global dapat berdampak negatif pada pasar keuangan, investasi, dan belanja konsumen secara global. Negara berkembang menjadi kelompok yang paling rentan terdampak.
WTO memproyeksikan bahwa jika decoupling ekonomi antara AS dan Tiongkok terus berlanjut, dunia bisa menyaksikan pembentukan dua blok ekonomi besar yang terpisah secara geopolitik. Ini akan menurunkan PDB global jangka panjang hingga 7%, sebuah angka yang disebut WTO sebagai "substansial dan signifikan".
Penurunan Perdagangan Barang AS–China Capai 81%, Potensi Fragmentasi Global Meningkat
WTO mencatat bahwa volume perdagangan barang antara Amerika Serikat dan Tiongkok diperkirakan menurun hingga 81%, dan bisa saja mencapai 91% tanpa adanya pengecualian baru-baru ini untuk produk-produk seperti smartphone.
Fragmentasi ini bisa mengarah pada keruntuhan sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, digantikan oleh model deals-based yang tak menentu dan bergantung pada negosiasi bilateral.
"Sisa-sisa dari sistem perdagangan berbasis aturan yang telah memburuk kini tergantikan oleh kekacauan berbasis kesepakatan. Proyeksi apapun sangat tergantung pada kemampuan negara untuk menegosiasikan kesepakatan dengan pemerintahan Trump," ujar Hector Torres, mantan Direktur Eksekutif IMF.
Perdagangan Jasa Juga Terimbas, Meski Tidak Terkena Tarif Langsung
Meski tidak dikenakan tarif secara langsung, sektor perdagangan jasa ikut terdampak karena keterkaitannya dengan aktivitas perdagangan barang—khususnya transportasi, logistik, serta jasa investasi dan pariwisata.
WTO memprediksi pertumbuhan perdagangan jasa komersial akan melambat menjadi:
4,0% pada 2025
4,1% pada 2026
Angka ini jauh di bawah proyeksi baseline sebelumnya, yakni 5,1% dan 4,8%.
Negara Lain Siap Isi Kekosongan di Pasar AS
Meskipun terjadi pelemahan dalam hubungan dagang AS–Tiongkok, WTO mencatat adanya potensi bagi negara lain untuk mengisi kekosongan dalam pasokan barang ke pasar Amerika Serikat.
Ekspor Tiongkok ke kawasan lain—kecuali Amerika Utara—diproyeksikan meningkat antara 4% hingga 9%. Di sisi lain, negara-negara seperti Vietnam, India, dan Meksiko berpeluang mengisi permintaan AS untuk produk seperti:
Tekstil dan pakaian jadi
Peralatan listrik dan elektronik
Produk baja dan otomotif
Outlook 2026: Pemulihan Moderat, Ketidakpastian Tetap Tinggi
WTO masih berharap akan adanya pemulihan moderat pada tahun 2026 dengan proyeksi:
Pertumbuhan perdagangan barang: +2,5%
Pertumbuhan perdagangan jasa: +4,1%
Ketegangan Memuncak! Perang Dagang AS-China Memasuki Fase Paling Gelap
Dalam babak terbaru perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang secara drastis meningkatkan tarif atas impor dari Tiongkok hingga 245 persen.
Mengutip Unilad, langkah ini dilakukan sebagai bentuk respons atas kebijakan balasan dari Beijing, yang sebelumnya menaikkan tarif atas produk-produk Amerika dari 84 persen menjadi 125 persen.
Pernyataan Singkat dari Beijing: Diplomasi Satu Kalimat
Menanggapi pengumuman terbaru dari Gedung Putih, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Lin Jian, hanya memberikan pernyataan singkat yang dikutip oleh Global Times:
“Silakan tanyakan kepada pihak AS mengenai angka tarif spesifik tersebut.”
Pernyataan ini mencerminkan sikap tenang namun tegas dari Tiongkok, yang selama ini konsisten menanggapi kebijakan proteksionis Washington dengan langkah-langkah strategis, bukan retorika berapi-api.
Rincian Perintah Eksekutif: Langkah-Langkah Ekonomi dan Keamanan Nasional
Presiden Trump, pada tanggal 15 April, tidak hanya menaikkan tarif, tetapi juga meluncurkan penyelidikan resmi terhadap risiko keamanan nasional akibat ketergantungan Amerika terhadap impor produk mineral penting yang telah diproses, serta turunannya. Ini termasuk tembaga, aluminium, baja, kayu, dan produk turunannya.
Dalam laman resmi Gedung Putih, perintah eksekutif tersebut dijelaskan sebagai bagian dari visi "America First Trade Policy", yang disebut-sebut sebagai kebijakan utama sejak hari pertama Trump menjabat.
Eskalasi Tarif hingga 245 Persen: Rinciannya
Menurut dokumen perintah eksekutif:
Tiongkok akan menghadapi tarif hingga 245% untuk produk tertentu, sebagai balasan atas tindakan balasan mereka terhadap tarif AS sebelumnya.
Tarif aluminium akan dinaikkan kembali menjadi 25%, menghapus berbagai celah dan pengecualian yang sebelumnya ada.
Tarif baja juga akan direstorasi ke level asli 25%, untuk “melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan tidak adil.”
Selain itu, Trump juga mengumumkan rencana tarif baru atas pajak layanan digital (DST) yang dikenakan oleh pemerintah asing terhadap perusahaan teknologi Amerika. Ini mencerminkan upaya lebih luas dalam mempertahankan kepentingan strategis AS di bidang inovasi dan teknologi.
Kebijakan "Adil dan Resiprokal" dalam Perdagangan Global
Trump juga meluncurkan inisiatif bernama “Fair and Reciprocal Plan”, yang bertujuan mengakhiri kesenjangan dalam kesepakatan dagang non-resiprokal. Perintah tersebut mempertegas bahwa:
Lebih dari 75 negara telah menghubungi Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Kantor Perwakilan Dagang AS untuk menegosiasikan perjanjian baru.
Tarif terhadap negara-negara selain Tiongkok saat ini ditangguhkan sementara guna membuka ruang dialog, tetapi tarif terhadap Tiongkok tetap berlaku tanpa pengecualian.
Pesan Menohok Xi Jinping dari Malaysia: China Partner yang Lebih Baik dibanding Trump
Presiden Tiongkok Xi Jinping telah tiba di Malaysia sebagai bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara.
Kunjungan Xi tersebut dipandang sebagai penyampaian pesan pribadi bahwa Beijing adalah mitra dagang yang lebih dapat diandalkan daripada Amerika Serikat di tengah perang dagang yang sengit dengan Washington.
Mengutip Al Jazeera, Xi tiba di Kuala Lumpur, pada Selasa malam dalam kunjungan pertamanya ke Malaysia sejak 2013.
Xi terbang dari Vietnam tempat ia menandatangani lusinan perjanjian kerja sama perdagangan di Hanoi dalam berbagai hal mulai dari kecerdasan buatan hingga pengembangan rel kereta api.
Menurut kantor berita resmi Malaysia Bernama, saat mendarat, Xi mengatakan bahwa memperdalam kerja sama strategis tingkat tinggi baik untuk kepentingan bersama Tiongkok dan Malaysia, dan baik untuk perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan dan dunia.
Kunjungan tiga negara Xi dan "pesannya" bahwa Beijing adalah sahabat Asia Tenggara yang lebih baik daripada pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang kejam muncul ketika banyak negara di blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 orang tidak senang dengan perlakuan mereka setelah AS mengenakan tarif besar pada negara-negara di seluruh dunia.
“Ini kunjungan yang sangat penting. Anda dapat memahami banyak hal di dalamnya,” kata Mohamed Nazri Abdul Aziz, mantan duta besar Malaysia untuk AS dan menteri urusan hukum.
Abdul Aziz menambahkan, “Tiongkok memberi tahu kami bahwa mereka adalah mitra dagang yang dapat diandalkan, lebih dari AS. Kami tidak pernah memiliki masalah dalam berurusan dengan mereka.”
“Di bawah PM Anwar, Malaysia menjadi jauh lebih dekat [dengan Tiongkok]. Itu hal yang baik,” tambahnya, seraya mencatat bahwa dalam jangka panjang, pengaruh Washington akan berkurang.
Namun, dengan Tiongkok, hubungan dagang dan hubungan diplomatik semakin kuat dan kedua negara diuntungkan, kata mantan duta besar tersebut.
“Kami sangat fokus pada Tiongkok. Itulah mentalitas kami," katanya.
Washington menghantam Malaysia dengan tarif perdagangan sebesar 24%, menuduhnya mengenakan tarif sebesar 47%pada impor AS, tuduhan yang kemudian ditolak oleh pejabat Malaysia.
Trump baru-baru ini memberlakukan moratorium selama 90 hari pada tarif tertinggi AS yang dikenakan pada negara-negara di seluruh dunia. Sebaliknya, mereka menghadapi tarif sebesar 10% atas barang-barang yang diekspor ke AS. Namun pengecualian untuk China, yang telah dikenai pungutan sebesar 145% atas barang-barangnya.
Xi akan berada di Kuala Lumpur selama tiga hari, di mana ia akan bertemu dengan Raja Malaysia Sultan Ibrahim ibni Iskandar dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim dan menghadiri jamuan makan kenegaraan sebelum menuju ke Kamboja pada hari Kamis.
"Selama kunjungan sebelumnya ke Vietnam, Xi mendesak Hanoi dan China untuk bersama-sama menentang hegemonisme, unilateralisme, dan proteksionisme dan mendorong globalisasi ekonomi yang lebih terbuka, inklusif, seimbang, dan bermanfaat bagi semua,” kata pejabat resmi China kantor berita pemerintah Xinhua melaporkan.
Brand Fashion Dunia Tanggapi Klaim Produk Mewah Dijual Murah dari Pabrik di China
Fenomena video viral dari Tiongkok yang mengklaim bahwa produk fashion mewah bisa dibeli langsung dari pabrik dengan harga yang sangat murah tengah menjadi sorotan.
Mengutip ladbible, sejumlah brand ternama seperti Lululemon dan Adidas pun akhirnya angkat suara untuk membantah klaim tersebut yang telah menyebar luas melalui media sosial, khususnya TikTok.
Tarik-Menarik Perdagangan AS–Tiongkok Memicu Tren Baru
Konteks kemunculan tren ini tidak lepas dari perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dipicu oleh kebijakan tarif tinggi Presiden Donald Trump.
Kebijakan tersebut menaikkan bea masuk hingga 245 persen terhadap sejumlah produk dari Tiongkok, negara yang merupakan pusat manufaktur global. Dampaknya, banyak barang yang biasa dibeli masyarakat AS mengalami lonjakan harga signifikan.
Situasi ini dimanfaatkan oleh para influencer dan pekerja pabrik di Tiongkok untuk menunjukkan bahwa produk-produk ternama, termasuk pakaian olahraga dan fashion, sebenarnya bisa diperoleh jauh lebih murah jika dibeli langsung dari pabrik.
Video Viral: Celana Lululemon Dijual Hanya £4,55?
Sejumlah video memperlihatkan produk yang menyerupai barang-barang dari merek ternama seperti Lululemon, Nike, dan Adidas, dengan klaim bahwa produk tersebut dapat dibeli langsung dari pabrik hanya dengan sebagian kecil dari harga eceran.
Salah satu video menyebutkan bahwa celana yoga Lululemon yang biasanya dijual seharga £76 di toko resmi, bisa diperoleh langsung dari pabrik hanya dengan £4,55. Konten seperti ini dengan cepat menarik perhatian dan telah ditonton jutaan kali.
Namun demikian, merek-merek tersebut segera membantah kebenaran dari klaim-klaim tersebut.
Lululemon dan Adidas Klarifikasi: Produk yang Ditampilkan Adalah Palsu
Perusahaan asal Kanada, Lululemon, menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak bekerja sama dengan produsen yang disebutkan dalam video-video tersebut.
“Lululemon tidak bekerja sama dengan pabrik-pabrik yang diidentifikasi dalam video online tersebut. Kami mendesak konsumen untuk waspada terhadap produk palsu dan informasi yang menyesatkan,” ujar juru bicara perusahaan.
Lebih lanjut, mereka menyarankan masyarakat untuk merujuk pada daftar resmi pemasok yang tersedia di situs mereka guna memastikan keaslian produk.
Adidas, perusahaan asal Jerman, menyatakan hal serupa dengan menegaskan bahwa produk mereka tidak dijual langsung oleh pemasok atau pabrik manufaktur, melainkan hanya tersedia di toko resmi maupun mitra ritel resmi.
“Barang-barang kami hanya dijual melalui jalur distribusi resmi, dan tidak didistribusikan oleh pabrik secara langsung kepada konsumen,” jelas Adidas dalam pernyataannya.
Harga Emas Diprediksi Melonjak 71% pada 2025, Peluang Investasi Menjanjikan?
Harga emas menunjukkan tren kenaikan yang luar biasa pada tahun 2025, mendorong lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs untuk memperbarui proyeksi mereka secara agresif.
Berdasarkan laporan terbaru, Goldman Sachs menaikkan target harga emas menjadi US$3.700 per ounce hingga akhir tahun 2025, yang merupakan revisi ketiga hanya dalam tahun ini.
Bahkan, dalam skenario risiko tinggi, bank investasi ini memperkirakan harga emas dapat mencapai US$4.500 per ounce, mencerminkan potensi kenaikan sebesar 71,5% dibandingkan harga awal tahun sebesar US$2.623.
Kenaikan Drastis Harga Emas Tahun 2025
Mengutip financialexpress, hingga pertengahan April 2025, harga emas telah menembus angka US$3.200, mencatat kenaikan 22% hanya dalam empat bulan. Kenaikan ini bukan semata-mata didorong oleh permintaan spekulatif, namun juga oleh faktor-faktor fundamental ekonomi global yang mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap resesi dan ketidakstabilan geopolitik.
Di India, sebagai salah satu pasar konsumen emas terbesar di dunia, harga logam mulia ini telah melonjak ke ₹93.280 per 10 gram, mempertegas tren global terhadap aset safe haven ini.
Apa yang Mendorong Kenaikan Harga Emas?
1. Ancaman Resesi Amerika Serikat
Kekhawatiran terhadap potensi resesi ekonomi AS menjadi pemicu utama reli harga emas. Ketegangan dagang yang terus meningkat antara Amerika Serikat dan Tiongkok memperburuk situasi, membuat investor global mencari aset yang lebih stabil dan tahan terhadap gejolak ekonomi.
2. Kebijakan Pemangkasan Suku Bunga oleh The Fed
Bank Sentral AS (Federal Reserve) diperkirakan akan memangkas suku bunga secara agresif sepanjang 2025 guna meredam tekanan ekonomi domestik. Penurunan suku bunga biasanya menguntungkan emas, karena logam mulia ini tidak menghasilkan bunga dan menjadi lebih kompetitif dibanding obligasi ketika imbal hasil turun.
3. Penjualan Obligasi Pemerintah AS
Lonjakan penjualan surat utang negara AS menyebabkan imbal hasil obligasi 10 tahun meningkat. Situasi ini mengindikasikan bahwa kepercayaan terhadap keamanan obligasi pemerintah semakin menurun, sehingga investor global mengalihkan dana mereka ke aset yang lebih aman seperti emas.
4. Permintaan dari Bank Sentral
Bank sentral berbagai negara, termasuk Tiongkok, Rusia, dan India, terus meningkatkan cadangan emas mereka sebagai langkah mitigasi terhadap risiko eksternal dan diversifikasi aset valuta asing. Kenaikan permintaan institusional ini turut mendorong harga emas secara signifikan.
5. Lonjakan Permintaan Fisik dan ETF
Permintaan fisik emas dari sektor perhiasan dan industri tetap tinggi, terutama di Asia. Selain itu, lonjakan permintaan melalui exchange-traded funds (ETF) berbasis emas semakin memperkuat tren bullish.
Pemerintahan Trump Ancam Cabut Izin Harvard untuk Terima Mahasiswa Asing
Pemerintahan Presiden Donald Trump mengancam akan mencabut hak Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa asing jika institusi tersebut tidak mematuhi permintaan pemerintah terkait pelaporan informasi visa mahasiswa.
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) melalui Menteri Kristi Noem menyatakan bahwa Harvard harus menyerahkan catatan terkait dugaan “kegiatan ilegal dan kekerasan” oleh pemegang visa mahasiswa asing selambatnya 30 April.
Jika tidak, universitas tersebut akan kehilangan hak istimewa untuk menerima mahasiswa internasional.
Selain itu, Noem mengumumkan penghentian dua hibah DHS kepada Harvard senilai lebih dari US$ 2,7 juta. Ia menyatakan bahwa dengan dana abadi sebesar US$ 53,2 miliar, Harvard dapat membiayai operasionalnya sendiri. Ia juga menuduh universitas tersebut memfasilitasi “ideologi anti-Amerika dan pro-Hamas.”
Pihak Harvard menyatakan telah menerima surat dari DHS terkait pencabutan hibah dan pengawasan terhadap visa mahasiswa asing. Dalam pernyataan resminya, Harvard menegaskan tidak akan menyerahkan independensinya ataupun hak konstitusionalnya, namun tetap akan mematuhi hukum yang berlaku.
Ketegangan antara pemerintah dan Harvard meningkat sejak kampus tersebut menjadi salah satu pusat protes terhadap serangan militer Israel di Gaza pasca serangan Hamas pada Oktober 2023.
Pemerintahan Trump menyebut para pengunjuk rasa sebagai ancaman kebijakan luar negeri, antisemit, dan simpatisan Hamas.
Namun, para demonstran, termasuk kelompok Yahudi, menyatakan bahwa mereka hanya menyuarakan dukungan terhadap hak-hak Palestina dan mengkritik aksi militer Israel.
Sebagai bagian dari respons terhadap protes, pemerintah Trump telah mencabut ratusan visa mahasiswa asing dan berupaya mendeportasi sejumlah pengunjuk rasa.
Pemerintah juga tengah meninjau kontrak dan hibah federal senilai US$ 9 miliar untuk Harvard, serta menyerukan berbagai pembatasan, termasuk larangan pemakaian masker dan penghapusan program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) sebagai syarat pencairan dana.
Pada hari Senin, Harvard menolak tuntutan tersebut, yang dianggap sebagai bentuk penyerahan kendali kepada pemerintah. Sebagai tanggapan, pemerintah membekukan dana sebesar US$ 2,3 miliar.
Presiden Trump juga mengancam akan mencabut status bebas pajak Harvard. Menurut laporan CNN, IRS sedang mempertimbangkan langkah tersebut dan keputusan akhir akan segera diumumkan.
Harvard menilai langkah itu tidak memiliki dasar hukum, belum pernah terjadi sebelumnya, serta berpotensi merugikan mahasiswa dan program riset medis penting.
Pemerintahan Trump juga diketahui telah membekukan atau mencabut pendanaan untuk sejumlah universitas lain, termasuk Columbia, Princeton, Brown, Cornell, dan Northwestern.
Tindakan ini menimbulkan kekhawatiran dari para pembela hak asasi manusia mengenai kebebasan akademik, kebebasan berpendapat, serta potensi Islamofobia dan bias anti-Arab di tengah konflik Israel-Gaza.
Pemerintah hingga kini belum mengumumkan langkah-langkah lanjutan terkait kekhawatiran tersebut.
Israel Rencanakan Serang Iran Awal Mei, Namun Dicegah Donald Trump
Israel dilaporkan merencanakan menyerang fasilitas nuklir Iran pada awal Mei, namun rencana itu dicegah oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump demi berjalannya proses negosiasi agar Teheran mau membatasi program nuklirnya. Informasi itu didapatkan New York Times dari beberapa pejabat resmi AS dalam laporannya, Kamis (17/4/2025).
Trump membuat keputusan mencegah rencana serangan Israel setelah terjadi perdebatan internal di Washington dalam beberapa bulan terakhir terkait apakah AS mengejar jalur diplomasi atau membantu Israel. Pertentangan seperti laporan New York Times terjadi antara pejabat yang dikenal agresif dan pembantu Trump lain yang skeptis aksi militer dapat mengeliminasi sepenuhnya ambisi nuklir Iran tanpa memicu perang yang lebih luas.
Diketahui, negosiasi terkait nuklir Iran telah terjadi antara pejabat Washington dan Teheran di Muscat, Oman pada Sabtu pekan lalu. Perundingan terkait program nuklir Iran tersebut berlangsung di tengah memanasnya kembali ketegangan antara Washington dan Teheran, khususnya sejak Presiden AS Donald Trump kembali menjabat pada Januari lalu.
Trump baru-baru ini mengeluarkan peringatan mengenai kemungkinan tindakan militer dan penambahan tarif jika Iran gagal mencapai kesepakatan dengan AS terkait program nuklirnya -- pernyataan yang langsung mendapat kecaman keras dari pejabat-pejabat Iran. Meskipun Iran menolak melakukan negosiasi langsung dengan AS, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembicaraan tidak langsung yang dimediasi oleh Oman, setelah adanya pertukaran surat antara pemerintah kedua negara.
Italia dilaporkan akan menjadi tuan rumah putaran baru pembicaraan nuklir antara Amerika Serikat dan Iran, demikian diumumkan media setempat pada Senin (14/4/2025). Berbicara dalam ajang World Expo 2025 yang digelar di Kota Osaka, Jepang, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani mengatakan bahwa permintaan untuk menjadi tuan rumah perundingan datang dari “pihak-pihak yang berkepentingan,” dan pemerintah Italia telah memberikan respons positif, menurut laporan kantor berita pemerintah ANSA.
“Kami siap menyambut, seperti biasa, pertemuan-pertemuan yang dapat menghasilkan sesuatu yang positif, dalam hal ini terkait isu nuklir,” ujar Tajani.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa Teheran menolak proposal Washington yang meminta stok uranium Iran dikirim ke negara ketiga. Seperti dilaporkan Reuters, Rabu (16/4/2025), Araghchi menegaskan Iran memiliki hak atas pengayaan uranium dan hal itu bukanlah subjek untuk didiskusikan.
Pernyataan Araghchi itu merespons utusan Washington untuk urusan Timur Tengah, Steve Witkoff, yang mengatakan, Iran harus "menyetop dan mengeliminasi pengayaan nuklir" dalam rangka mencapai kesepakatan dengan Washington. Usai perundingan di Oman pada Sabtu pekan lalu, kedua belah pihak akan menggelar pertemuan kedua di Italia akhir pekan ini.
Menurut laporan media Iran, Araghchi akan menyampaikan pesan dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kepada Vladimir Putin saat kunjungannya ke Rusia pada Kamis (17/4/2025). Pada Selasa (15/4/2025), Kremlin menolak berkomentar soal apakah Rusia siap mengontrol stok uranium Iran sebagai bagian dari kemungkinan kesepakatan antara Iran dan AS.
Berdasarkan laporan The Guardian, Teheran kemungkinan akan menolak proposal negosiasi dari AS. Proposal itu di antaranya berisi tuntutan agar Teheran mengirim stok uraniumnya ke negara ketiga seperti Rusia, sebagai bagian dari upaya AS mengurangi kemampuan program nuklir Iran.